BENARKAH GAM SEBAGAI TERORIS INTERNASIONAL ?

Persoalan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saat ini telah menjadi persoalan pada ranah internasional. Hal ini makin membuktikan akan pentingnya peran hukum internasional dalam persoalan GAM. Terlepas dari efek destruktif yang hanya dirasakan secara nasional oleh Indonesia, tulisan ini ditujukan untuk menyoroti posisi GAM disatu sisi dan Pemerintah Swedia dan Pemerintah Indonesia disisi lain. Untuk itu perlu kita jawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan GAM, misalnya, apakah GAM subjek hukum internasional? Dalam hal ini jika jawabannya ya, maka perlu kita persoalkan apa kewajiban dan haknya sebagai subjek hukum internasional? Dan masih banyak pertanyaan lain yang terkait dengan persoalan ini. Diantara sekian banyak pertanyaan tersebut akan kita coba bahas dibawah.

GAM sebagai Subjek Hukum Internasional?
GAM sebuah organisasi pemberontak atau separatis telah dicoba dikategorikan kedalam beberapa model yang ada. Dari model-model tersebut diantaranya adalah dengan mengelompokannya kedalam teroris, kelompok pembebasan, dan insurgents dan belligerents. Semua ini akan kita bahas satu-persatu. Kelompok pertama yang menggolongkannya kedalam terorisme akan kita uji terlebih dahulu. Setelah melakukan studi exhaustive terhadap seluruh insrumen internasional yang terkait Cassese menyatakan bahwa terorisme sebagai kejahatan internasional dinyatakan memiliki tiga elemen utama sebagai berikut:
(i) Tindakan yang dilakukan haruslah merupakan tindakan yang termasuk kategori kejahatan dalam hukum yang dimiliki oleh mayoritas negara-negara;
(ii) Tindakan haruslah ditujukan untuk menyebarkan teror dengan menggunakan tindakan-tindakan yang destruktif atau ancaman yang ditujukan pada negara, publik, atau terhadap kelompok pribadi-pribadi tertentu;
(iii) Tindakan yang dilakukan haruslah dimotivasi oleh hal-hal yang bersifat ideologis, keagamaan, ataupun politis dan tidak ditujukan untuk kepentingan-kepentingan pribadi.1

GAM walau bisa dimasukkan kedalam kategori diatas tapi akan terkesan dipaksakan, karena GAM lebih sesuai dimasukan kedalam kelompok insurgents dan belligerents. Shaw mengartikan insurgents dan belligerents sebagai entitas yang secara de facto memiliki administrasi terhadap wilayah yang spesifik. Dan GAM memiliki persyaratan utama. Apabila mencoba memasukan GAM kedalam kelompok teroris yang diakui secara internasional maka haruslah terdapat efek yang bersifat trans-nasional.
Disamping itu, GAM pun dapat dinyatakan tergolong kedalam kelompok Pergerakan bagi Pembebasan Bangsa (National Liberation Movement [NLM]) mengingat kemiripan dengan PLO yang juga memilki tujuan untuk mendapatkan kemerdekaan. GAM tergolong ke dalam NLM maka sangat sulit bagi Indonesia secara politis untuk menganggu perjuangan GAM melalui cara-cara represif. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Negara-negara Dunia Ketiga dalam negosiasinya mengenai terorisme berkeras untuk tidak memasukan NLM kedalam kelompok teroris, malah mereka memberi label sebagai freedom fighters. Sehingga, menurut Cassese tindakan-tindakan yang dilakukan oleh freedom fighters walau memenuhi kriteria sebagai tindakan teroris, hal itu dianggap bukan teroris.

GAM dan Self-Determination
Eksistensi GAM tidak bisa dilepaskan dari tuntutan atas hak bagi self-determination masyarakat Aceh yang diwakilinya. Disini pengertian dari self-determination tidak bisa kita lepaskan dari keinginan dari masyarakat Aceh untuk memisahkan diri. Self-determination sebagai sebuah konsep memiliki tingkat ketidakjelasan yang tinggi. Sebagai contoh adalah apakah hak atas self-determination berlangsung terus-menerus atau hanya sekali jadi.
Self-determination sebagai sebuah hak memiliki dua aspek. Aspek-aspek tersebut bersifat internal dan eksternal. Aspek internal adalah aspek yang bersifat terus menerus dan tidak bersifat sekali jadi. Sehingga realisasinya berlanjut terus-menerus. Dan aspek eksternal adalah self-determination sebagai sebuah hak untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing. Aspek ini hanya berlaku sekali. Kedua aspek ini memiliki hubungan erat karena dengan terhentinya aspek eksternal maka aspek internal mulai berlaku.
Self-determination dalam pengertian yang dimiliki oleh aspek eksternal pada saat ini sudah sangat sulit untuk diterapkan karena aspek ini terkait dengan proses dekolonisasi yang pada saat ini dianggap sudah selesai. Jadi, GAM dengan mendasarkan pada argumen self-determination bagi rakyat Aceh secara politis sangat sulit untuk diperjuangkan. Dengan demikian, yang bisa dituntut oleh GAM adalah aspek internal, yakni menuntut supaya Indonesia memberikan liberalisasi bagi pengembangan rakyat Aceh sesuai dengan kehendak yang tentunya tanpa mengesampingkan integritas wilayah Indonesia. Dengan ini dimungkinkan bagi terciptanya keseimbangan antara tuntutan atas self-determination di satu pihak dan doktrin uti possidetis di lain pihak.

Darurat Sipil
Pada umumnya dalam penerapan suatu aturan pada keadaan darurat cenderung memberi peluang yang luas bagi terciptanya pelanggaran HAM. Dalam kaitannya dengan ini instrumen HAM internasional telah memberikan bimbingan dalam diterapkannya keadaan darurat. Pasal 4 the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ditujukan untuk itu. Oleh pasal tersebut dinyatakan apabila pemberlakuan keadaan darurat di suatu wilayah tidaklah boleh melanggar hak-hak individu yang bersifat fundamental, antara lain, hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan memenuhi kontrak perdata, prinsip legalitas, hak untuk diakui sebagai subjek hukum (person) di depan pengadilan, kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. The Human Rights Committee sebagai organ dari ICCPR memperlakukan pasal ini secara ekslusif. Dan dalam beberapa situasi khusus the Committee mempersoalkan tidak hanya pemberlakuan pada saat ini tapi juga penggunaannya pada masa-masa sebelumnya.
Ketentuan yang mirip dapat kita temukan dalam instrumen-instrumen HAM regional. Konvensi HAM Eropa pada pasal 15 ayat (2)-nya menyatakan ‘tiada pengurangan dari pasal 2 (hak hidup), kecuali yang berhubungan dengan kematian sebagai akibat tindakan yang sah, atau dari ketentuan pasal-pasal 3, 4 (1) dan 7 boleh dilakukan menurut ketentuan ini. Sedangkan pasal 27 Konvensi Amerika menyatakan:
(i) Di waktu perang, malapetaka, atau keadaan darurat lain yang mengancam kemerdekaan atau keamanan, suatu negara peserta, boleh mengambil tindakan-tindakan yang melanggar kewajiban-kewajibannya menurut Konvensi ini sampai sejauh untuk jangka waktu yang sepenuhnya diperlukan asalkan tindakan-tindakan tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang lain menurut hukum internasional, dan tidak melibatkan diskriminasi atas alasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
(ii) Ketentuan yang terdahulu tidak mengizinkan penundaan apa pun pasal-pasal berikut: Pasal 3 (hak atas pribadi yuridis); Pasal 4 (hak hidup); Pasal 5 (hak atas perlakuan yang manusiawi; Pasal 6 (bebas dari perbudakan); Pasal 9 (bebas dari UU ex-post facto); Pasal 12 (kebebasan hati nurani dan agama); Pasal 17 (hak-hak keluarga); Pasal 18 (hak atas suatu nama); Pasal 19 (hak-hak anak); Pasal 20 (hak atas kewarganegaraan); dan Pasal 23 (hak untuk turut serta dalam pemerintahan), atau jaminan-jaminan utama dari pengadilan untuk perlindungan hak-hak tersebut.
Kesemua Konvensi tersebut menjelaskan penerapan suatu keadaan darurat haruslah mempertimbangkan realisasi dari hak-hak individu yang fundamental. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu mengkaji kembali apakah ia telah siap dengan konsekuensinya atas penerapan keadaan darurat di Aceh. Mengingat pemberlakuan keadaan darurat bukanlah tindakan yang populer di masyarakat, baik lokal maupun internasional.

Untuk Aceh yang Adil
Prinsip integritas wilayah bersifat supreme terhadap hak atas self-determination selama negara-negara berlaku ‘in compliance with the principle of equal rights and self-determination of peoples as described above and thus possesed of a government representing the whole people belonging to the teritory without distinction as to race, creed, or colour’. Tapi, ketentuan ini tidak boleh dijadikan sebagai keuntungan bagi pemerintah Indonesia. Hal ini malahan sudah seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintah untuk menciptakan keadaan yang lebih adil bagi masyarakat Aceh khususnya.
Untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Aceh, kemerdekaan adalah opsi yang ideal. Akan tetapi bukan jalan keluar yang komprehensif. Pemberian kewenangan yang lebih luas justru jauh memperlihatkan komitmen yang tinggi atas penguatan NKRI untuk lebih demokratis dan adil. Konsekuensinya, sebelum Pemerintah dapat menjadikan rekonsiliasi nasional, yaitu melalui pemaafan (impunity), juga menunjukkan untuk mengadili para pelanggar HAM di Aceh tanpa terkecuali: apakah TNI ataukah GAM. Terakhir adalah mengadakan sebuah upaya bagi terciptanya rekonsiliasi antara tokoh-tokoh lokal yang telah terjerumus dalam sikap dukung-mendukung antara pro Pemerintah dan pro GAM.
Penulis : Jawahir Thontowi SH., PHD
Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************

Leave a comment