TANGGUNGJAWAB NEGARA TERHADAP ADAM AIR

Instruksi Presiden  kepada Tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk mencari Adam Air yang hilang tanpa batas terdengar menggembirakan. Dukungan ini diperkuat oleh Wapres Yusuf Kalla yang akan membantu seluruh kebutuhan akomodasi, kesehatan dan transportasinya keluarga korban yang menunggu di Makasar.

Komitmen tinggi  juga  dibuktikan dengan hadirnya Tim Investigasi dari Amerika Serikat (National Transportation Safety Board) mulai beroperasi sejak tanggal Minggu (7/Januari) di Bandara  Makasar di bawah pimpinan Marsekal Pertama Eddy Suyanto.

Kebijakan Negara ini berarti menepis pernyataan sebelumnya pejabat Tim SAR. Pertama, bahwa manajemen Adam Air akan segera  memulangkan keluarga korban dari Makasar ke Jakarta karena pihak Adam Air memiliki keterbatasan biaya. Kedua, Ketua Tim Basarnas (Badan Search and Rescue Nasional) cabang Makasar dalam rapatnya tanggal 4 Januari, bersama tim ahli dari Singapura memutuskan untuk  menghentikan  upaya pencarian jika pada hari ketujuh (7 Januari)  ternyata tidak memperoleh hasil. Situasi ini tentu berakhir, setelah kepala Negara mengambil sikap tegas dan akan terus berupaya untuk menemukan Adam Air dan penumpangnya.

Persoalan yang timbul dalam konteks  hukum internasional adalah seberapa jauh tanggungjawab Negara yang berdaulat  berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga Negara atau korban. Kemudian, apakah kehadiran Negara-negara lain tergolong intervensi yang mengarungi status kedaulatan Negara RI ?

Dalam pandangan klasik,  Negara berdaulat dipahami sebagai suatu kekuasaan absolut yang dimiliki  oleh pemerintahan tanpa ada kekuatan intervensi dari kekuatan  Negara lain. Secara ekslusif, memiliki hak untuk menjalankan kekuasaan  secara efektif dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif dalam jurisdiksi wilayah masing-masing Negara.

Kedudukan kesatuan wilayah atau teritorial integrity menjadi mutlak bagi suatu Negara atas pelaksanaan penerapan hukum atas suatu pelanggaran dan kejahatan atau bencana baik, yang terjadi di daratan, lautan, dan udara. Karena itu, jika terjadi sesuatu peristiwa hukum seperti bencana, Negara berkewajiban untuk menanggulanginya. Pandangan pertama ini, kedaulatan lebih dimaknai sebagai kedaulatan penguasa (sovereign’s sovereignty)

Pemaknaan kedaulatan seperti itu ternyata tidak dapat bertahan lama oleh karena dalam fakta sejarah begitu mudah diselewengkan. Tidak sedikit Negara berdaulat justru warga Negara telah menjadi korban keganasan kedaulatan Negara untuk penguasan. Lahirnya gerakan Hak Asasi Manusia sungguh menjadi efektif oleh karena prinsip-prinsip fundamental HAM mampu menggerus model kedaulatan  penguasa.

Eksistensi prinsip-prinsip HAM mendorong terjadinya perubahan  konsep kedaulatan secara evolusioner yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (People is the locus of sovereignty). Michael W Reisman, Sovereignty and Human Rights in Contemporary International Law (AJIL 1990:82) mengemukakan bahwa hukum internasional tidaklah melindungi kedaulatan penguasa, melainkan kedaulatan yang utama, yakni rakyat (people sovereignty). Karena itu, korban-korban akibat menghilangnya Adam Air yang sampai hari ini belaum jelas kedudukannya menjadi tanggungjawab pemerintah, sebagaimana dijamin Wapres-YK sudah tepat dan perlu dukungan.

Usulan Roy Suryo, mengenai pentingnya bantuan Satelit intelejen USA juga bukan ususlan yang menjatuhkan harga diri bangsa. Negara-negara  yang memiliki kemampuan teknologi tinggi dalam menggunakan alat deteksi pengindaraan jarak jauh, semacam teknologi remote sensing bukanlah tergolong intervensi yang dapat mengurangi makna kedaulatan negara.

Suatu Komisi Internasional Tentang Internvensi dan Kedaulatan Negara  (the Intrnational Commission on Internvention On and State Sovereignty) yang dipelopori oleh Perdana Menteri Kanada, Jean Chretien, Gareth Evans (Australia) dan Mohammad Sahnoun yang dalam laporannya The Responsibility to Protect, di Ottawa, 2001,  bahwa kedaulatan Negara mengimplikasikan akan adanya tanggungjawab dan tanggungjawab terhadap rakyatnya adalah terletak pada negaranya sendiri. Sebalinya, jika pemerintah RI diam saja dapat dipersalahkan. Ketika Negara gagal dalam mematuhi kewajiban untuk memberikan perlindungan maka kewajiban non-intervensi harus mengalah pada kewajiban internasional untuk ikut campur.

Ketiga, implikasi dari tanggungjawab Negara selain mematuhi kewajiban internasional, termasuk menerima kekuatan asing untuk bantuan kemanusiaan, juga memberi pelajaran akan pentingnya melanjutkan penelitian ilmiah tentang kondisi udara dan laut di wilayah Masalombo.

Implikasi pemberhentian pelacakan adalah juga secara keamanan nasional dan tegaknya integritas nasional membuat loop-whole bagi kekuatan asing. Tidak ada penyelidikan akan meninggalkan fakta tentang missing of action, terputusnya tindakan yang mestinya harus dilakukan pemerintah. Tiadanya hasil investigasi akan berarti bahwa status hilangnya Adam Air dengan penumpangnya adalah unclarified status forever.

Ancaman dalam negeri menjadi sangat nyata jika Negara tidak memiliki kepedulian. Termasuk timbulnya kepercayaan  bahwa wilayah Masalembo memiliki kesamaan dengan Triangle Bermuda di Amerika. Mestinya mengundang kepenasaran bagi ilmuwan-ilmuan untuk mengadakan riset lanjutan. Kepentingannya tidak hanya untuk menguak tabir Adam Air yang hilang baru-baru ini, tapi juga dapat dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Tidak kurang dari tiga pesawat terbang hilang di daerah Masalombo yaitu dua dari perusahaan Garuda, dan satu Helikopter. Pada tahun 1980-an, Kapal Tampomas juga tenggelan di perairan Masalombo. Benarkan bahwa adanya kantong udara (air pocket) yang suka menyedot alat-alat transport udara atau laut dapat dijadikan fakta bagi pembuatan route penerbangan civil yang mengutamakan keselamatan dan keamanan manusia (human security oriented).

Dengan demikian, permohonan bantuan pemerintah AS dan Siangapura untuk melacak pesawat Adam Air tidaklah akan mengurangi kedaulatan Negara RI. Upaya tersebut justru membuktikan bahwa pemerintah RI telah bertanggungjawab untuk melindungi rakyat atau korban, tetapi juga berupaya mencari fakta-fakta ilmiah dalam membagung infrastruktur transport udara yang lebih aman dan menyelamatkan.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

*****

LUMPUR LAPINDO BUKAN TANGGUNG JAWAB NEGARA

Setelah lebih satu tahun (29 Mei 2006) semburan lumpur panas Lapindo belum terlihat ada tanda-tanda berhenti. Dalam prediksi ahli-ahli geologi dari Jepang dan Rusia, semburan lumpur akan berhenti setelah 36 tahun. Hingga awal Maret 2008 kerugian masyarakat maupun negara mencapai kuranglebih Rp. 44.7 Trilyun.

Ancaman bahaya dan kerugian alam, tanah yang produktif atau tidak, sungai-sungai dan rawa semua tertutup lumpur, tak terkecuali, pencemaran air dan udara telah berdampak negatif terhadap makhluk-makhluk hidup lainnya. Dampak negatif juga telah diderita oleh sekitar 25.000 pengungsi dari 10 desa, dan 3 kecamatan (Tanggulangin, Porong, dan Jabon). Duka dan lara masyarakat yang menjadi korban Lapindo, telah mengubah status mereka menjadi pengungsi domestik (Internally Displaced Person). Mereka rentan dari berbagai ancaman penyakit dan gangguan mental dan kejiwaan.

Pertanggung jawaban hukum atas resiko dan kerugian yang ditimbulkan tidak hanya terbatas padaPT. Lapindo semata, tetapi juga negara. Pihak masyarakat yang menjadi korban pertanggung jawaban tersebut juga telah ditujukan. Masyarakat korban telah ambil bagian tanggung jawab yang ditujukan dengan menerima pilihan-pilihan terbatas hasil kesepakatan suatu musyawarah.

Intervensi Negara

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Persoalannya, seberapa jauh kebijakan Presiden tersebut, secara yuridis dan sosiologis antisipatif, apakah dapat dikatakan sebagai solusi yang tepat?

Indikasi campur tangan negara dalam masalah ini telah tampak pada saat diterbitkannya Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 Tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Intinya, membentuk tim nasional penanggulangan semburan lumpur Sidoarjo dengan masa kerja enam bulan.

Dalam konteks ini, pemerintah merasa menghadapi situasi yang serba sulit. Di satu sisi, meluasnya kerusakan akibat bencana lumpur tersebut hingga awal Maret 2007 tidak dapat dihentikan. Saat Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 berakhir, jutaan meter kubik lumpur yang muntah dari sumur banjar panji-1 telah menenggelamkan kawasan pemukiman seluas 200 ribu hektar. Ribuan rumah terbenam, belasan ribu penduduk terpaksa mengungsi dan menganggur kehilangan pekerjaan karena, 20-an pabrik tutup.

Di sisi lain, pemerintah harus menyelamatkan masyarakat Tanggulangin, Porong, dan Jabon dan yang lainnya dari bencana. Untuk sepintas, Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 belum mampu memberi jalan keluar yang adil bagi pemenuhan kebutuhan korban. Sebab kebijakan tersebut sangat bertolak belakang dengan keputusan sebelumnya. Apakah kebijakan tersebut dapat membantu mencari solusi yang tepat ataukah kebijakan tersebut memihak pada kepentingan pengusaha belaka? Khususnya bila ditinjau dari aspek pembiayaan penanganan bencana luapan lumpur.

Titik kontras kebijakan yang telah diambil pemerintah tersebut, memunculkan banyak pertanyaan. Terlepas dari faktor alam, bencana sitengarai berawal dari aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. Lapindo, yang notabene bukan perusahaan milik negara.

Secara moral, intervensi pemerintah dalam masalah luapan lumpur Lapindo dinilai sebagai suatu tindakan yang wajar. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk tidak menelantarkan rakyatnya dari kesengsaraan. Namun demikian, intervensi tersebut terkesan tidak serius. Dalam hal ini Pemerintah SBY, tidak cukup hanya menggelontorkan uang negara untuk menangani bencana ini. Tapi pemerintah juga harus menangani kasus ini dari aspek hukumnya.

Pertanggungjawaban Lapindo

Apabila secara meyakinkan semburan lumpur terbukti merupakan kelalaian kegiatan pengeboran, maka PT. Lapindo  berkewajiban menanggung resiko. Sebab, kedudukan PT. Lapindo sebagai subjek hukum dibebani hak-hak dan kewajiban.

Bukti-bukti yang mengindikasikan adanya kelalaian yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo, cukup jelas. Kealpaan memasang selubung bor (casing) di kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter) saat melakukan pengeboran. Dua orang pimpinan Lapindo telah ditangkap dan diproses secara hukum. Dasar hukum Polisi untuk mengajukan 2 orang tersebut ke meja hijau adalah pelanggaran terhadap ketentuan pasal 187 dan 188 KUHP dan pasal 41 (1) Undang-undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, itu berarti PT. Lapindo telah melakukan kejahatan korporasi. Persoalan lain mulai timbul ketika Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No. 14 tahun 2007 yang dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa.

Pada tanggal 2 Mei 2003 Menteri Sosial, Badan Pegembangan Lumpur Sidoarjo, BPN RI dengan utusan warga dari empat kelurahan saling berdialog. Hal tersebut juga disaksikan oleh PT Mineral Lapindo Brantas. Kesepakatan telah dicapai dan harga, harga tanah disekitar wilayah bencana dihargai Rp. 300 ribu sampai dengan Rp. 500 ribu. Prioritas akan diberikan pada tanah-tanah yang bersertifikat. Sedangkan harga bangunan adalah satu juta rupiah per meter.

Kesepakatan ini telah dibuat berdasarkan pada implementasi hukum tanah menurut Pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Amanah Peraturan Presiden tersebut antara lain menyebutkan bahwa penanganan masalah sosial kemasyarakatan, akan diselesaikan melalui transaksi jual beli tanah. Di satu sisi PT. Lapindo sebagai pembeli tanah dan bangunan dengan masyarakat sebagai korban lumpur Lapindo sebagai penjual, tidak berada dalam konstitusi hukum yang benar.

Persoalan yang timbul dari Peraturan Presiden tersebut adalah apakah konstruksi hukum jual beli tanah dan bangunan antara pihak masyarakat dengan PT. Lapindo Brantas bertentangan dengan aturan hukum? Dilihat dari segi teknis penyelesaian sengketa, khususnya Pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, hal tersebut termasuk prinsip-prinsip Win-Win Solution.

Menjadi cukup mengherankan, ketika Peraturan Presiden tersebut juga telah diperkuat dengan musyawarah untuk mencapai kesepakatan teknis tentang harga dan pembayaran. Model ini berkesesuaian dengan teori yang mengatakan Peace Without Justice. Perdamaian dapat disepakati meski harus mengorbankan keadilan masyarakat. Memaksa penerapan hukum yang adil tapi menghilangkan harmoni sosial sepertinya tidak dapat dihindari. Ada beberapa hal yang menunjukan bahwa Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 itu tidak memihak masyarakat korban.

Pertama, Peraturan Presiden tersebut dipandang tidak sah  karena tidak adanya obyek jual beli yang jelas. Arie Sujanti Hutagalung, Pakar Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan bahwa Pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tersebut bertentangan dengan Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok agraria. Tanah-tanah musnah akibat faktor memaksa ”force major” harus kembali kepada pemilikan negara. Dengan kata lain, tanah-tanah dan gedung-gedung yang tergenang lumpur Lapindo menjadi hak milik negara. Konsep jual beli atas tanah-tanah yang terkena lumpur tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Kedua, Peraturan Presiden dipandang tidak tepat untuk menyelesaikan sengketa hak milik antara PT. Lapindo dengan masyarakat. Semburan lumpur telah menimbulkan kondisi yang tidak normal. Situasi abnormal seperti itu hanya mungkin dapat diselesaikan dengan peraturan hukum yang abnormal pula. Karena itu, substansi Peraturan Presiden menjadi kurang tepat karena tidak menggunakan pertimbangan yuridis atas UU No. 5 Tahun 1960. Keadaan tidak normal tersebut bahkan terkesan bertentangan dengan UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Karenanya, jika dasar penyelesaian sengketa PT. Lapindo dengan masyarakat Sidoarjo menggunakan UU No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 24 Tahun 2007, semestinya PT. Lapindo berkewajiban memberikan kompensasi. Menurut Pasal 5 UU No. 24 Tahun 2007, ditegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana. Lebih khusus, pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penangulangan bencana. Pasal 6 ayat (a) pengurangan resiko bencana, (b) perlindungan masyarakat dari dampak bencana (c) penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum.

Ketiga, konsep transaksi jual beli tanah dan bangunan yang dipergunakan terhadap korban bencana lumpur oleh PT. Lapindo bukan sekedar cacat hukum, tetapi tidak memihak rakyat. Lahan seluruh tanah yang tertutup lumpur menjadi milik PT. Lapindo, meskipun pembayarannya akan dilakukan secara berangsur-angsur. Petugas-petugas yang ditunjuk telah meminta masyarakat korban untuk menyerahkan sertifikat kepada PT. Lapindo. Kebijakan kedua, Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 dipandang tidak adil memberikan dukungan bagi kepentingan PT. Lapindo.

Dengan demikian, pertanggungjawaban hukum PT. Lapindo terhadap korban-korban bencana tanah lumpur di Sidoarjo tidak akan pernah memberikan jaminan yang kuat dan adil. Memang benar bahwa pemerintah SBY telah melakukan intervensi melalui Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 untuk penyelesaian sengketa tersebut. Namun, karena pendekatan kebijakan pemerintah SBY tidak mengacu pada UU No. 5 Tahun 1960 dan UU No. 24 tahun 2007, maka penyelesaian sengketa yang adil tidak dapat dinikmati masyarakat korban.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

***

KEBIJAKAN PEMERINTAH PASKA BENCANA

Meski tindakan tanggap darurat masih jauh dari selesai, tahap reskontruksi dan rehabilitasi sudah harus mulai dibuat secara komprehensif. Tentu saja penyusunan rekonstruksi dan rehabilitasi yang terpadu harus diawali dengan data-data yang kongkrit. Sehingga tidak ada analisis input, proses dan output tanpa sandaran data lapangan yang jelas.

Untuk itu, manajemen penanggulangan bencana alam gempa tektonik DIY di Jawa Tengah paska bencana harus mempertimbangkan sebagai berikut. Pertama, semua lapisan masyarakat termasuk korban, khususnya pemerintah dan pimpinan-pimpinan non formal, seperti ulama dan sejenisnya perlu melakukan terapi spiritual. Gempa tektonik yang terjadi hari Sabtu lalu dengan 5.8 skala rikhter bukan sekedar fenomena alam, tapi secara kosmologis 27 April 2007 ada kaitannya dengan keyakinan tentang takdir Tuhan.

Dalam konteks ini, kita harus memaknai bencana alam sebagai suatu pelajaran atau (‘I’tibar). Oleh sebab itu, semua pihak, korban juga keluarganya, relawan, dan juga masyarakat hendaknya menyamakan persepsi. Bencana dimanapun terjadi bukan tontonan. Kalau memang tidak memiliki niat untuk menjadi relawan, janganlah berduyun-duyun memadati jalan yang mengakibatkan keamcetan lalu lintas. Selain itu, bencana bukan tempat untuk dijadikan arena penjarahan. Bencana bukan situasi di mana setiap korban dapat menjadi peminta-minta. Upaya pertolongan darurat menjadi sangat terganggu. Bahkan, bencana bukan tempat yang dapat dijadikan kampanye organisasi sosial atau politis.

Sejatinya, tempat dan peristiwa bencana harus disadari oleh hati nurani agar kita lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa. Tempat bernaung dimana kesatuan dan keutuhan kita untuk tetap dengan pasrah dan penuh usaha. Situasi dimana korban dan non korban menggunakan kesempatan empati dan uluran tangan. Dengan harapan semua korban dapat segera tertolong, korban yang ada di tempat-tempat terpencil mendapatkan pelayanan memadai.

Kebijakan apa yang seharusnya pemerintah dan masyarakat dapat upayakan agar korban bencana alam tertolong secara optimal. Pertama, aspek keamanan dan ketertiban. Peran Pusat Informasi sangat penting agar rasa aman masyarakat terjamin. Terutama dengan memberikan informasi yang benar dan jelas. Tidak ada salahnya pemerintah, khususnya aparat keamanan meningkatkan pengamanan dan pemantapan ketertiban. Tentu saja, dengan berusaha melibatkan semua unsur masyarakat. Keamanan lingkungan dari tingkat desa, rukun warga dan RT, dan juga pemuda harus dilakukan. Sebab, jika situasi tidak segera dilakukan tindakan tanggap darurat (emergency action) tidak akan segera usai.

Kedua, masa tindak darurat akan segera berakhir. Situasi ini di tandai oleh kembalinya korban luka-luka yang dirawat di rumah sakit mulai kembali ke kampung mereka. Terpenuhinya tempat penampungan bersama tenda umum, dapur umum dan tenda-tenda lainnya merupakan indikator penting.

Karena itu, bilamana program langsung darurat berakhir peran pusat penanggulangan krisis atau Crisis Centre. Idealnya adalah penanganan medis dapat dilakukan bersamaan dengan crisis centre. Pusat krisis ini berfungsi untuk memulihkan kesadaran korban untuk menerima realitas abnormal ini. Ahli-ahli psikologi terapan yang memiliki kemampuan melayani gejala kejiwaan, depresi, stress, dan juga penyimpangan perilaku dapat memberikan pertolongan efektif.

Tidak kalah pentingnya pendampingan dari segi hukum atas status tanah. Baik atas nama hak milik pribadi atau perserikatan. Dalam pengalaman Tsunami di Aceh tanah-tanah yang bangunannya runtuh dan pemiliknya telah tiada sangat mudah menjadi objek penjarahan penjahat. Kerusakan alam daerah Bantul sangatlah berbeda dari Aceh. Namun, bencana gempa dan sengketa pemulihan bangunan di atas tanah-tanah belum memiliki status hukum yang jelas boleh jadi akan timbul. Sengketa ini dapat berbentuk konflik horizontal, yaitu sengketa antar warga yang memiliki kepentingan yang sama. Bahkan juga konflik vertikal yaitu konflik antar pemerintah dengan penduduk dengan pihak aparat pemerintah bukan hal yang mustahil.

Sementara, konflik yang perlu sejak dini di antisipasi yaitu konflik vertikal. Janji Wapres Yusuf Kalla dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Abu Rizal Bakri, amat sensitif bagi masyarakat korban bencana. Di satu pihak, pemerintah menjanjikan kompensasi sebanyak Rp. 30.000.000,00 bagi yang rumahnya hancur. Dan Rp. 20.000.000,00 bagi yang rusak ringan. Protes kritik atas kebijakan pemerintah ini, di lapangan sepertinya kurang mendapatkan kepuasan.

Ada sebagian masyarakat yang meragukan kebijakan untuk rekonstruksi ini sepertinya agak tendensius politis. Pengeluaran dana kurang lebih Rp. 1 trilyun bagi rekonstruksi adalah angka menggiurkan. Abu Rizal dalam wawancaranya (Kedaulatan Rakyat, 31 Mei 2006) mengatakan bahwa program itu harus sudah direalisasikan bulan juni ini. Mengakui keraguan ini tidak akan timbul jika sesuai dengan waktunya.

Akibat pengumuman kebijakan dan kompensasi rumah rusak akibat gempa tektonik Sabtu, 27 Mei 2006 tersebut memang terlalu dini dan menggampangkan persoalan.

Bukankah pencairan kompensasi itu juga harus dilakukan dengan menggunakan data lapangan. Sementara mencari data diwaktu normal sangat tidak mudah. Apalagi pendataan disaat abnormal, bukan saja tidak akan berhasil malah mustahil dapat dilakukan dengan benar. Logistik yang telah diangkut PBB melalui Food Organization Asisstance belum terdistribusi dengan baik. Birokrasi yang di berlakukan dalam pengambilan bahan-bahan pokok mengharuskan korban membawa KTP, surat pengantar dari desa yang diberi stempel. Syarat ini tentu akan mudah dibuat jika kondisi normal. Dalam kondisi abnormal, tuntutan tersebut sangat menyengsarakan korban. Itulah sebabnya, mengapa gejala Civil Society jauh lebih mendapatkan akses yang di terima pihak korban. Prosedur formal ditinggalkan dengan mengutamakan penyelamatan ( safety, secure and proper).

Rentannya konflik vertikal akibat kebijakan kompensasi harus segara diantisipasi mengingat belum adanya parameter yang jelas. Misalnya, Ketua Majelis Ulama, Din Syamsudin mengklaim gempa Bantul ini sebagai bencana Nasional. Memang kerugian material lebih gempa ini bencana nasional perlu parameter yang jelas.

Kasus Aceh dinyatakan bencana nasional disebabkan, (1) telah hancur ratusan ribu rumah dan gedung-gedung pemerintah, (2) lebih dari tiga ratus ribu orang tewas dan dinyatakan hilang, (3) Tsunami juga merupakan peristiwa bencana yang juga terjadi di negara-negara lain. Parameter terakhir, lumpuhnya sistem pemerintahan propinsi, baik karena SDMnya tewas atau hilang, gedung pemerintahan hancur. Situasi ini menuntut pemerintah pusat dan kabinetnya mengambil alih sistem pemerintahan propinsi. Jadi untuk menetapkan keadaan bencana nasional harus disertai parameter pemerintah pusat wajib menuntaskan kondisi darurat atas dasar aturan hukum dengan dukungan masyarakat.

Kompensasi dapat membuktikan konflik karena aspek-aspek keadilan tidak diperhitungkan. Kompensasi Rp.30.000.000,00 akan diberikan pada rumah-rumah yang runtuh dan hancur. Bagaimanapun status hancur itu dapat diidentifikasi.

Rumah-rumah tersebut hancur dalam kenyataan memiliki kualitas yang berbeda. Ada yang rumah tembok, setengah tembok, rumah kayu. Selain itu, ada rumah-rumah pengembangan yang menempel pada rumah induk. Jika pemberian Rp. 30.000.000,00 itu pukul rata, maka gamblang dan jelas ketidakadilan tersebut masyarakat akan menuntut tanpa harus tahu apakah kualitas rumah yang mereka huni berbeda-beda.

Di pihak lain, tidak sedikit korban itu pemegang rumah kredit tetapi belum lunas. Ada Rumah Sehat Sederhana (RSH) adapula realstate. Ada yang telah lunas dan ada pula yang masih kembali harga-harga yang terus mengangsur. Bagi yang telah lunas mengangsur jika ada, kompensasi sangat menguntungkan. Tetapi, bagi korban yang masih punya tagihan kredit uang kompensasi tidak banyak artinya. Mereka masih terikat harus melunasi kontrak meskipun  rumahnya telah musnah.

Pengalaman bencana dan penanganan oleh pemerintah dan kekuatan masyarakat sipil masih tetap carut-marut. situasi ini membuktikan bahwa pengalaman Tsunami Aceh belum cukup menjadi pelajaran (lesson learned). Lebih tragis lagi, berta’ziyah atau berduka dikalangan pejabat sangat kurang etis. Kebijakan pemerintah pusat tentang pemberian kompensasi yang diumumkan masa berkabung, bukan saja tidak etis, melainkan justru dapat membangkitkan kembali korban-korban yang tewas untuk antri dapat jatah kompensasi.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

***********

Paradigma Undang-Undang Pengelolaan Bencana

Akhir-akhir ini, payung hukum tentang pencegahan dan penanggulangan bencana alam telah menjadi tema nasional yang menarik. Pada 24 Januari 2005, anggota-anggota DPR RI, seperti Teras Nanang, dan Ketua DPR RI Agung Laksono menghendaki adanya Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana Alam (RUUPBA) segera dibuat. Tidak ketinggalan, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Menteri Perumahan Rakyat M. Yusuf Asy`ari dalam Seminar Nasional Pemulihan Aceh Pascabencana yang diselenggarakan Ikatan Alumni UII di Yogyakarta menyetujui pentingnya UUPB.

Kebutuhan ini semakin relevan ketika Pulau Nias diguncang gempa dengan 8,7 Skala Richter, 28 Maret beberapa bulan setelah tsunami Aceh, meski tidak sedahsyat korban nestapa di Aceh kalkulasi ribuan korban telah tewas di Nias. Sejak Desember 2004 hingga Maret 2005, tercatat peristiwa bencana terjadi berulang kali, seperti yang terjadi di Nabire, Alor, Aceh, Nias, Bencana banjir di Jawa Timur dan Jakarta, serta tanah longsor di Banten, Garut, Batujajar, Bandung dan Majalengka. Tidak satupun di antara kita mengetahuinya. Karena peristiwa tergolong misteri, tampaknya kita perlu upaya pencegahan untuk meminimalisir timbulnya korban.

RUUPBA dalam Prolegnas

DPR RI telah mendaftarkan sekitar 150 RUU dalam Program Legalisasi Nasional (Prolegnas), secara khusus DPD telah memasukkan RUUPBA sebagai agenda legislasi nasional tahun 2007. Kehadiran Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UUPB) dalam kondisi Indonesia yang kerapkali terancam bencana menjadi sangat bermakna. Sebagai suatu kepedulian khusus, Presiden SBY dan JK telah melakukan pembatalan pergi ke Australia untuk kunjungan kerja balasan. Mengingat bencana Nias begitu besar, tuntutan empati dan political will untuk menyisihkan sejumlah anggaran biaya tertentu untuk mengesahkan RUUPBA sangat penting.

Pakar hukum bencana alam dari Jepang Fujisawa Kazunori, mengingatkan bahwa perlunya biaya yang mahal tidak saja untuk membuat suatu Undang-Undang, melainkan juga biaya pemeliharaan dan penanggulangan yang dilaksanakan secara berkelanjutan.

Setidak-tidaknya terdapat tiga hal yang penting mengapa RUUPBA perlu segera diwujudkan melalui DPR.

Pertama, secara yuridis Keputusan Presiden Nomor 3/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tidak cukup layak untuk mengatur persoalan serius yang mengancam keselamatan umat manusia dalam jumlah besar. Esensi Keppres dipandang sebagai peraturan kebijakan yang hanya dapat digunakan untuk menjawab hal-hal teknis tidak memiliki kapasitas untuk merespon persoalan bencana.

Obyek yang diatur dalam Keppres selama ini mengadnung muatan materi setingkat Undang-Undang. Namun persoalan-persoalan yang timbul begitu besar, serius, mendesak, dan terkait dengan ancaman fisik, psikis, maeriil akibat bencana alam sehingga kebaradaan Keppres menjadi tidak sesuai. Agar tercipta peraturan hukum yang efektif, harus dibuat peraturan hukum yang proses pembuatannya melibatkan wakil-wakil rakyat DPR.

Kelemahan Keppres tampak nyata terutama di tingkat implementasi. Ketika Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, PMI, Kimpraswil,  Departemen Perhubungan, dan kekuatan masyarakat sipil bekerja untuk menolong korban tanpa koordinasi yang memadai. Tiadanya koordinasi yang sistematis di antara instansi pemerintah yang terkait serta tidak adanya jaminan kepastian hukum dari segi Undang-Undang merupakan faktor yang melemahkan implementasi.

Hal ini seperti Bakornas yang diamanahkan Keppres tersebut terbukti tidak dapat cepat merespon dalam mengevakuasi dan tanggap darurat. Wakil Presiden menjadi Koordinator Bakornas yang harus bertanggung jawab kepada Presiden sungguh ironis sebab dalam sistem pemerintahan Presidensil, Wakil Presiden dalam satu paket yang bekerja dengan Presiden. Bakornas acapkali terlambat mengambil keputusan karena strukturs organisasi Bakornas terlalu gemuk.

Siapa yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan, keselamatan, dan melindungi kesejahteraan masyarakat? Jawabannya jelas bahwa negara bertanggung jawab ke dalam (Internal Responsibility). Tugas dan fungsi negara yang penting yaitu menciptakan kebahagiaan masyarakat, sebagai kepentingan umum Bonum Publicum atau Common Good.

Sehingga jika bencana alam dan bencana kemanusiaan merupakan dua kondisi potensial yang mengancam keamanan dan keselamatan umat manusia (Human Security), maka negaralah yang bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan. Dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara indonesia dan seluruh tumpah darah”. Ketentuan tersebut menunjukkan adanya kewajiban negara untuk melindungi segenap masyarakat (State Legal Obligation) termasuk mereka yang menjadi korban bencana.

Ketika dipersoalkan pentingnya UUPB bagi upaya pencegahan korban bencana, maka pertanggungjawaban dapat timbul ketika ada kelalaian dihadapi negara. Bencana alam seperti tanah longsor, banjir, gempa tektonik dan tsunami yang disebabkan oleh pelanggaran atas hukum lingkungan hidup dapat memberikan pertanggungjawaban baik pda negara maupun masyarakat.

Paradigma Baru UUPB

Seberapa jauh Undang-Undang PB mengakomodasi tuntutan masyarakat khususnya korban bencana. Political Will pemerintahan SBY-JK terhadap korban-korban bencana khususnya bencana alam belum dapat dibuktikan secara konkrit. Sebelum Undang-Undang PB tersebut disahkan oleh pemerintah dan DPR, bencana alam terjadi pada 27 Mei 2006 di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gempa Bumi yang menelan korban tewas sekitar tiga ribuan jiwa dan puluhan ribu rumah hancur. Duka dan lara belum sirna, ledakan lumpur Lapindo 29 Mei 2006 di Sidorejo Jawa Timur telah menggenangi pabrik-pabrik, pemukiman dan ribuan hektar sawah-sawah petani. Kepanikan tak terperikan ini membuat pemerintah menjadi kurang stabil.

Dari bencana satu ke bencana yang lain hampir dijumpai persoalan yang sama dan serupa belum terselesaikan. Konflik antara masyarakat sebagai korban bencana dengan pihak pemegang kebijakan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di kedua kasus bencana tersebut tak terelakkan. Di satu pihak, konflik yang sempat menajam di Jawa Tengah dan DIY adalah sekitar janji pemberian ganti rugi sebesar Rp. 30 juta yang sempat spontan diucapkan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di pihak lain, mengingat anggaran yang terbatas mengakibatkan tindakan tersebut tidak mudah dinasionalisasikan. Tarikulur demo dan protes pun turut meramaikan suasana duka.

Sementara itu dalam kasus lumpur PT Mineral Lapindo Brantas konflik timbul ketika itu adalah seputar siapakah yang harus bertanggung jawab atas korban Lumpur Lapindo. Keterlibatan pemerintah dalam kasus Lumpur Lapindo juga begitu intensif. Presiden menerbitkan Keppres tentang pembentukan Tim yang bertugas merumuskan kebijakan penanggulangan dan pencegahan Lumpur Lapindo serta melakukan upaya identifikasi atas kerugian, benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, serta benda-benda lainnya.

Peraturan Presiden Nomor 14 tentang Penyelesaian Lumpur Lapindo secara sepihak telah mengamanahkan kepada PT Mineral Lapindo Brantas untuk melakukan solusi pragmatis dimana tanah-tanah yang tertutup Lumpur Lapindo dijadikan objek jual beli. Suatu kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sebab objek tanah yang tertutup Lumpur Lapindo merupakan objek yang tidak jelas. Sehingga sanksi yang pantas adalah pemberian ganti rugi oleh pemerintah.

Dalam proses tarik ulur persoalan pemulihan bencana kedua bencana tersebut, alhamdulillah DPR bersama pemerintah mengesahkan UUPB. Sejak 26 April 2007, Undang-Undang Nomor 24 tentang Penanggulangan Bencana telah diberlakukan. Namun karena belum diterbitkan peraturan pemerintah tentang kasus Lapindo sehingga tidak dapat direspon oleh Undang-Undang PB.

Terlepas pro-kontra serta kelebihan dan kekurangan Undang-UndangPB, masyarakat Indonesia, khususnya pemerhati masyarakat korban bencana sedikit cukup lega. Keberadaan UUPB telah dengan tegas memberi paradigma baru dimana ketika negara dibebani kewajiban hukum untuk memberikan bantuan kepada korban bencana. Hak-hak masyarakat sebagai korban, termasuk posisi lembaga-lembaga swadaya masyarakat domestik dan asing terlibat dalam bantuan kemanusiaan juga telah diatur.

Tampak jelas mengenai tahapan penanganan tindakan darurat hingga pemulihan pasca bencana dan lembaga mana yang berwenang. Suatu perjalanan sejarah panjang, dimana masyarakat marjinal telah benar-benar dilindungi hak-hak konstitutionalnya. Termasuk penyediaan model musyawarah untuk mufakat antara pihak-pihak bilamana terjadi sengketa telah diatur dalam UUPB.

Sehingga rentang pengambilan keputusan melakukan tindakan gawat darurat dan evakuasi tidak akan lagi terlambat. Keunggulan Undang-UndangPB dalam perspektif kebijakan publik adalah sikap akomodatif DPR dan pemerintah untuk mengamanahkan adanya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Suatu badan mandiri yang diangkat dan bertanggung jawab langsung pada Presiden, namun harapan bahwa UUPB dapat diandalkan sebagai Undang-Undang yang berfungsi mengubah situasi abnormal tampaknya belum tercapai. Sebab ketiga unsur yaitu perasaan gawat darurat (The Sense of Urgency), perasaan krisis (The Sense of Crysis) dan perasaan bertanggung jawab (The Sense of Responsibility) belum diakomodasi dengan optimal.

Meskipun kelahiran UUPB menapaki jalan berliku dan panjang, pemerintahan SBY konsisten memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak korban bencana. Meski belum optimal institusi BNPB diharapkan mampu mendongkrak kiprahnya dalam melakukan pencegahan, mitigasi dan rehabilitasi korban-korban bencana secara lebih cepat dan terpadu.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

*****

Perlakuan Presiden terhadap Bencana Nias

Pernyataan Presiden tentang gempa di Nias 28 Maret 2005 sebagai bencana lokal menuai kemarahan. Khususnya masyarakat berasal dari Nias. Perkumpulan masyarakat Nias di Jakarta, mahasiswa Nias di Yogyakarta menuding pemerintah telah menganak-tirikan korban bencana Nias. Klaim tersebut sukar ditenggarai ketika di lapangan pertolongan dan evakuasi yang terlambat. Banyaknya korban yang belum menerima bantuan, makanan, minuman, dan obat-obatan.

Selain itu, partisipasi masyarakat dan kehadiran relawan di Nias tidak sebanyak saat terjadi bencana tsunami di Aceh. Pertanyaan pun timbul di kalangan masyarakat apakah perlakuan yang berbeda berkaitan dengan terkurasnya biaya untuk korban Aceh? Ataukah banyaknya perhatian pada masyarakat Aceh disebabkan karena daerah tersebut memiliki sumber daya alam yang luar biasa?.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menengarai kontradiksi ada tidaknya diskriminasi penanganan bencana, lebih dari itu akan diarahkan pada upaya melihat tanggung jawab negara dalam penanggulangan bencana.

Benarkah pernyataan Presiden tentang penanggulangan bencana di Nias diskriminatif? Bilamana kita memperhatikan solidaritas, dan kesetiakawanan pemerintah terhadap bencana Nias masih dalam batas kewajaran. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, dan beberapa menteri datang pada hari kedua. Bahkan Presiden telah mengundurkan kunjungan ke Australia untuk menjenguk korban di Nias terlebih dahulu.

Tidak dapat disangkal jika perhatian dan solidaritas kemanusiaan ke Nias memang dirasakan kurang. Seruan Presiden kepada masyarakat Indonesia untuk menaikkan bendera setengah tiang selama tiga hari berturut-turut terhadap bencana Aceh jelas menunjukkan ketidakseimbangan perlakuan. Kesan adanya perbedaan perlakuan tersebut bukan disebabkan oleh kondisi subjektif semata, namun juga karena belum adanya peraturan hukum mengenai penanganan bencana yang memadai. Belum terformulasikan penanganan bencana dalam Undang-undang berakibat pernyataan resmi Presiden dapat dipertanyakan.

Dari segi solidaritas jika bencana tsunami pada 26 Desember 2004 di Aceh dan Nias mengundang perhatian solidaritas yang besar dari relawan asing dan domestk, hal ini dapat dimaklumi. Banyak negara yang juga terkena dampak tsunami India, Srilanka, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Aceh tergolong terparah bila dibanding dengan beberapa tempat di negara lain. Korban meninggal dan hilang kurang lebih 400 ribu, 650 ribu pengungsi, dan ratusan ribu gedung dan perumahan hancur. Situasi inilah yang menggerakkan masyarakat internasional memberikan solidaritas dan empati yang luar biasa pula.

Beberapa kepala negara anggota Dewan keamanan PBB berkunjung, Sekretaris Jendral PBB Kofie Annan dan juga Presiden AS George Bush dan keempat mantan Presiden AS seperti Jimmy Carter, Bill Clinton, George Bush Sr. Turut hadir meninjau situasi Aceh khususnya kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Sehingga tidak salah sekiranya Presiden menetapkan sebagai bencana nasional.

Dari berbagai pertemuan multilateral, negara-negara donor baik Eropa, AS, dan negara-negara di Asia seperti Jepang, Korea, dan China juga turut ambil bagian. Pertemuan bersifat internasional dimaksudkan untuk menggalang dana bagi negara-negara yang terkena bencana tsunami. Beberapa pertemuan tersebut termasuk adanya resolusi yang dibuat oleh PBB di New York dilanjutkan dengan Tsunami Meeting Forum yang diselenggarakan di Jakarta. Pada pertemuan tersebut selain dimaksudkan untuk menentukan negara-negara donor yang siap berkontribusi juga penentuan alokasi dana bagi setiap negara yang terkena bencana.

Penentuan Skala Bencana

Penentuan kategori bencana lokal dan nasional oleh Presiden tanpa parameter yuridis sukup lemah. Pemerintah dituntut membuat kebijakan seperti itu dimaksudkan untuk keperluan memanajemen penanggulangan bencana. Misalnya, kapan sistem peringatan dini diterapkan – evakuasi dan pertolongan darurat harus dilakukan. Komitmen pemerintah terhadap bencana baik di Aceh maupun di Nias harus ditunjukkan dengan tanggung jawab tinggi dalam menyelamatkan korban dan membangun kesejahteraan masyarakat.

Tidak berlebihan bilamana Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas-BP), terdiri dari Menteri Koordinator kesejahteraan Rakyat, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, PU, dan Wakil Presiden telah berpindah kantor ke Banda Aceh selama tiga bulan. Keterlibatan mereka dalam penanggulangan dan penanganan situasi darurat selama tiga bulan memang beban berat yang dipikul pemerintah akibat gempa dan tsunami begitu dahsyat, namun tidak tepat juga jika pemerintah pusat terlalu dominan dalam mencampuri urusan daerah.

Dalam spirit otonomi daerah urusan penanggulangan bencana gempa, evakuasi dan tanggap darurat di Nias diserahkan pada Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) di tingkat provinsi. Gubernur beserta para bupati dan rakyat Nias-lah yang lebih memahami corak kehidupannya.

Berbagai hambatan lapangan seperti infrastruktur dan fasilitas transportasi yang terbatas berakibat penyaluran bantuan kemanusiaan tersendat. Jatuhnya helikopter Australia disertai tewasnya sembialan awak, salah satu sebabnya karena ketidaklayakan fasilitas yang tersedia, karena itu esensi lebih utama dituntut dari pemerintah yaitu terkait tanggung jawab terhadap korban bencana.

Kesadaran Relawan

Mengapa dalam bencana Nias, negara-negara lain tidak mengambil bagian dalam bantuan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan oleh negara-negara belum menjadi norma hukum yang memaksa berakibat derajat kesadaran relawan sangat beraneka ragam. Apalagi campur tangan urusan dalam negeri dalam bantuan kemanusiaan juga dapat dituding intervensi. Dilema bantuan kemanusiaan timbul sering dihadapkan pada persoalan kedaulatan negara dan harga diri masyarakat. Sehingga mekanisme bantuan mestinya dapat dilakukan secara cepat tidak tercapai.

Sejak tahun 1984-an, PBB telah membuat suatu draft konvensi penanggulangan bencana, dilengkapi dengan Kantor Pengendalian dan Pengurangan Akibat Bencana (United Nations for reduction Organization Office). Sayangnya, draft konvensi tersebut sampai saat ini belum menjadi kesepakatan internasional, sehingga kebijakan multi lateral untuk memberikan bantuan dana, seperti pinjaman lunak, dan bantuan hibah (grant) merupakan partisipasi yang belum memadai sehingga tidak jarang jika sifat bantuan tersebut bersifat belas kasihan (Charity Act) dan mengandung utang budi bagi negara donor.

Dengan demikian, sikap pemerintah RI yang terkesan menganak-tirikan bencana Nias benar adanya, sebab kebijakan pemerintah yang menyatukan master plan antara Aceh dengan Nias jelas bertentangan dengan realitas yang ada. Konsep Bappenas menyatukan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Nanggroe Aceh Darrusalam dan Nias, Sumatera Utara adalah bukti yang terlupakan oleh masyarakat.

Dengan demikian, penentuan memang diperlukan dalam kaitannya dengan tahapan-tahapan penanggulangan bencana. Adapun perlakuan pemerintah dan juga relawan kemanusiaan mengalami penurunan perhatian tidak dapat ditafsirkan bahwa pemerintah menganak-tirikan Nias. Kedepan, kesan demikian akan berangsur-angsur hilang jika kebijakan pemerintah tentang skala bencana didukung oleh undang-undang yang legitimit.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

*************

PELECEHAN DIPLOMASI SUTIYOSO DI SYDNEY

Perbuatan tidak terpuji dapat saja terjadi di negeri  modern setingkat Australia. Loyalitas penegak hukum pada kekuasaan tanpa menggunakan akal sehat dan prinsip kehati-hatian ternyata dilakukan oleh dua orang Polisi Federal Australia.  Tanpa izin penghuninya, kedua polisi federal masuk  ke kamar Gubernur DKI, Jakarta Sutiyoso di Hotel Shangri La, Sydney.

Kehadiran mereka bermaksud untuk memohon Sutiyoso menjadi saksi di pengadilan tingkat lokal. Hal ini terkait dengan kasus penyerangan militer Balebo Five di timor Timur, 32 tahun lalu. Terbunuhnya, lima wartawan Australia dipandang ketika itu sebagai Kejahatan Perang sebagamana diatur dalam Den Haag Convention 1948. Juga melanggar Kejahatan Berat Hak Asasi Manusia Berat, khususnya Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity).  Sehingga kelima orang wartawan asing, dan tiga orang dari Australia  tersebut telah menjadi korban kekerasan militer.

Peristiwa yang sungguh memalukan dan mencoreng  pemerintah Australia tersebut, terjadi pada hari Selasa 29 Mei 2007, khususnya bagi pemerintah Negara Bagian New South Wales. Namun, perbuatan kedua polisi telah mencoreng nama baik pemerintah Australia. Kehadiran Sutiyoso, sebagai Gubernur DKI Jakarta sebagai pejabat negara yang hadir dalam rangka memenuhi undangan pemerintah Negara Bagian New South Wales. Gubernur DKI dan Primier New South Wales  telah bersepakat untuk meninjau kembali Perjanjian Kesepahaman atau MoU tentang Sister City mestinya mendapatkan pengawasan.

Akan tetapi, agenda utama pembicaraan memperbaiki langkah kongkrit MoU tersebut batal. Sutiyoso dan rombongan bergegas kembali ke Indonesia. Tidak mengherankan sekiranya suasana ketegangan hubungan diplomtik kedua negara terganggu. Lapisan masyarakat dengan pejabat pemerintah RI, termasuk Presiden SBY dan anggota DPR RI telah memberikan reaksi keras. Bahkan tidak ketinggalan ancaman menuntut pemutusan hubungan diplomatik itupun sempat muncul.

Tidak urung pemerintah Indonesia melalui, Menteri Luar Negeri, Hasan Wirayuda mengirimkan surat protes keras pada pemerintah Australia melalui kantor Kedutaan Besar Australia. Ketegangan hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan Australia,  yang sempat menyeruak pekan, lalu turut sirna. Terutama, setelah Duta Besar Bill Farmer secara resmi meminta maaf secara langsung kepada Sutiyoso, pada 31 Mei 2007 di Jakarta. Namun, tidak berarti bahwa insiden yang sama tidak akan terulang kembali di kemudian hari.

Apakah hikmah dibalik insiden Sutiyoso yang dapat dijadikan pelajaran (lesson learned) berharga agar di suatu ketika tidak terulang kembali? Pertama, tindakan pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri untuk melakukan protes keras dan permohonan maaf  kepada pemerintah Australia merupakan tindakan yang tepat dan signifikan. Penggrebegan terhadap Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso adalah jelas merupakan kesalahan nyata yang tidak dapat ditolerir dalam hubungan diplomatik. Di satu pihak, kesalahan tersebut karena kedua polisi Federal Australia melakukan pelanggaran terhadap Wiena Convention, tentang hubungan diplomatik. Sebagaimana dikemukakan  Luke T Lee, (Consular Law and Practice. Oxford 1991:526) bahwa duta dan kosul dikecualikan dari kewajiban untuk menghadiri undangan menjadi saksi dari pengadilan baik perkara perdata maupun pidana. Dalam pasal 22 Rancangan Penelitian Harvard menyebutkan bahwa negara penerima harus mengecualikan konsul untuk menghadiri perkara keperdataan, baik untuk memberikan kesaksian secara lisan atau tulisan.

Apakah pejabat negara non-diplomatik seperti Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso dalam konteks ini dapat disejajarkan dengan kedudukan Korps Diplomatik? Dalam berbagai ketentuan hukum nasional suatu negara seperti di Inggris, Australia dan juga Amerika Serikat memberlakukan ketentuan bahwa korp diplomatik dikecualikan dari kekuatan saksi. Karena itu, tugas-tugas hubungan antara negara, tidak saja dapat dibebankan kepada anggota misi diplomatik, misi PBB dan organisasi lainnya, da juga beberapa petugas pejebat yang mewakili negara, dikecualikan dari ketentuan tersebut.

Karena itu, kesalahan pemerintah Australia adalah tidak adanya kordinasi antara polisi Federal dengan pemerintah New South Wales di Sydney, merupakan kelalaian yang fatal. Dalam kebijakan hubungan diplomasi di Australia kaidah bahwa kekebalan diplomatik tidak saja dapat diberlakukan bagi korp diplomatik itu sendiri. Tetapi juga, pejabat negara yang menjadi tamu untuk melaksanakan tugas diplomasi memperoleh kekebalan diplomatik.

Lebih ekstrim lagi bahwa pemerintahan Australia mengakui perlakuan anggota LSM untuk dapat memegang amanah konsular. Bahkan beberapa petugas dari  organisasi non-pemerintah dapat dipercayai untuk memerankan tugas dan fungsi konsular (Even officials of non-governmental entities may  be entrusted to perform consular functions). Konsekuensinya, Sutiyoso dan Tim seharusnya dapat memperoleh perlakukan khusus sebagaimana kedudukan korps diplomatik.

Kedua, isu berbau politis hubungan Indonesia dengan pemerintah Australia tidak dapat sepenuhnya melepaskan dirinya dengan warisan sejarah  pemerintahan Orde Baru. Pelanggaran HAM Berat  (Gross  Violation of Human Rights) merupakan isu sensitif seperti, kasus Tanjung Priok 1983,  Pembunuhan Misterius 1983-84, Kasus Warsidi, Lampung 1986, dan kasus di Timor Timor sejak tahun 1975 di Balebo, kasus Dilli November 1991 dan Pro-Integrasi Timtim,1999.

Sederet peristiwa berdarah tersebut, sampai sekarang tidak terhapus dalam daftar pelanggaran HAM di Komisi HAM Internasional. Peristiwa tersebut juga telah menjadi ingatan kolektif sebagian aktifis HAM, khususnya orang-orang Timor Timur yang menjadi warga negara Australia. Sehingga tidak mengherankan jika beberapa pejabat militer yang pernah bertugas di Timtim pada masa orde baru tidak akan pernah terlupakan dalam aktifis HAM internasional.  Asas-asas pemaafan (impunity), dan juga batas lewat waktu (veryaring) terkadang tidak dapat diberlakukan pada pelanggaran HAM.

Situasi ini semakin kuat ketika, Statuta Roma 1998, mengamanahkan adanya yurisdiksi pengadilan yang luas (Extended Jurisdiction) telah diberlakukan secara internasional. Sehingga tidak ada alasan bagi negara-negara yang meratifikasi untuk memproses secara hukum bagi warga negara manapun.Menurut pakar hukum Pidana Internasional,  Bassiouni (Bruce Broomhall. International Justice and the International Criminal Court 2003:111) kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan internasional yang memiliki yurisdiksi universal. ”Suatu atau negara manapun memiliki kewajiban alternatif untuk melakukan penututan atau mengekstradisi. Penuntutan merupakan suatu ketentuan yang didasarkan kepada kesadaran negara semata, tetapi juga pada kemampuan negara tersebut untuk mengadili secara  efektif dan berkeadilan”.

Meskipun pejabat-pejabat RI yang melakukan tugas-tugas kenegaraan keluar negeri memiliki hak kekebalan diplomatik, tidak semua negara dapat merealisasikannya bilamana ada kaitannya dengan pelanggaran HAM. Oleh sebab itu,  pemerintah Indonesia, khususnya aparat keamanan dan juga intelejen RI dan juga Menteri Luar Negeri seyogyanya melakukan konfirmasi ada tidaknya resistensi, khususnya mantan TNI yang akan melakukan kunjungan ke luar negeri.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

***

DIPLOMASI LOKAL DALAM PENYELESAIAN NELAYAN RI DI AUSTRALIA

Penahanan dan pembakaran kapal-kapal milik nelayan-nelayan Indonesia oleh petugas keamanan laut Australia pada tahun 2005 lalu membuat berang pemerintah RI. Padahal pelanggaran nelayan RI di wilayah Australia telah terjadi secara terus menerus, dari tahun ke tahun. Dari segi hubungan  diplomasi, kasus-kasus tersebut  turut menentukan lancar  tidaknya  hubungan  persahabatan antara  kedua negara.

Persoalannya, bukan sekedar terletak pada instrumen hukum semata, melainkan  karena, baik  penyelesaian sepihak oleh  pemerintahan Australia maupun melalui jalur diplomasi, tampaknya  tidak lagi relevan untuk dipertahankan. Substansi  hukum dalam MoU dan  proses penyelesaian diplomatik belum mampu menjawab persoalan yang diperlukan kedua negara, khususnya kebutuhan nelayan. Justru, yang terjadi adalah fakta  penangkapan nelayan Indonesia acapkali  dijadikan isu politik nasional yang oleh  media dijadikan konsumsi   para elit politik, baik  di Jakarta maupun di Canberra.

Penyelesaian Sepihak Merugikan

Penyelesaian sengketa terhadap kedua negara mengenai  nelayan-nelayan Indonesia yang ditangkap di perairan Australia masih memperlihatkan model penyelesaian satu pihak. Sekiranya penggunaan jalur diplomasi dilakukan oleh kedua negara, maka masalah tersebut akan diselesaikan secara serius dan optimal.  Awal April lalu 2005, Presiden SBY berkunjung ke Australia. Selain berunding masalah politik dan keamanan, termasuk persoalan nelayan-nelayan RI yang ditangkap di Australia juga sempat dibicarakan.  Namun,  kunjungan tersebut belum memberikan hasil berarti.

Nyatanya, petugas patroli Australia menangkap dan membiarkan 272 nelayan-nelayan  yang berstatus tahanan dalam kapal mereka. Lebih menyedihkan lagi tanggal seorang nelayan dari Probolinggo mati di Pelabuhan Darwin.

Dari data yang diperoleh terlihat jelas bahwa jumlah nelayan Indonesia ke perairan Australia cukup konstan dan sukar dicegah. Misalnya, pada 1986, dari April-Oktober, tidak kurang dari 1000 awak kapal ditahan. Catatan Departemen Dalam Negeri, menyebutkan dari 1988 – 1890, terdapat 640 awak kapal yang ditangkap. Pada tahun 1999,  Konsul RI di Perth, Australia Barat mencatat 29 perahu dan 224 nelayan tertangkap. Secara acak, sejak Maret hingga April 2005, tidak kurang dari 500 nelayan Indonesia juga telah tertangkap. Fakta ini menunjukan adanya pelanggaran oleh nelayan Indonesia di perairan Australia tidak akan pernah surut.

Penyelesaian sepihak yang dilakukan oleh pemerintah Australia terlihat dominan. Nelayan-nelayan Indonesia yang tertangkap karena pelanggarannya umumnya  di ajukan ke  pengadilan. Bahkan  karena banyaknya, penangkapan dan penahanan, termasuk pemberian hukuman di penjaran-penjara Australia sungguh merugikan pemerintah Australia. James  Fox (Australian Relation With Indonesia: The Case of The Estern Indonesian Fishermen 1995) mengkritik kebijakan pemerintah Australia dan mengusulkan penyelesaian oleh kedua belah pihak. Penangkapan dan penakaran atas  kapal-kapal nelayan Indonesia, bukan saja merugikan masyarakat nelayan Indonesia, melainkan juga pemerintah Australia sendiri.

Petugas keamanan Australia tidak perlu menarik kapal nelayan Indonesia ke pinggir pantai, karantina, dan mengongkosi mereka kembali ke Indonesia. Pengeluaran biaya oleh pemerintah Australia dapat meningkat oleh karena puluhan atau ratusan ribu dollar Australia hanya dipergunakan untuk mengembalikan mereka. Dengan perlakukan seperti itu, bukan saja mereka tidak akan pernah jera, bahkan akan terus kembali lagi secara berbondong-bondong.

Menyoal Efektifitas MoU

Terdapat beberapa alasan mengapa MoU antara kedua negara tidak efektif dalam menghentikan nelayan-nelayan Indonesia di perairan Australia. Sesungguhnya aktivitas nelayan-nelayan Indonesia di perairan Australia telah berlangsung sejak lama. Namun, baru sejak tahun 1974,  nelayan-nelayan tradisional Indonesia diperbolehkan untuk singgah di wilayah perarian Australia.

Agar penyelesaian secara damai  terhadap nelayan-nelayan Indonesia terselenggara, maka kedua negara sepakat untuk menandatangani perjanjian bilateral. Pertama, MoU between the Government of Austrlia and the Government of the Republic of Indonesia Concerning  the Fishermen in Areas of the Australian Execlusive Fishing zone anf Continental Shelf. Kemudian kedua, keluar MoU  1981 Concerning  The Implementation of  A Provisional Fisheries Surveilance and Enforcement Arrangement.

Semacam kesepakatan tentang  kerjasama pengawasan bersama atas  penegakan perundingan yang telah disepakati. Sayangnya, sampai saat ini,  MoU tersebut belum  mampu menyetop nelayan-nelayan Indonesia dalam  melakukan penangkapan ikan secara tidak sah di perairan Australia. Pada dasarnya, MoU 1974 memuat ketentuan bahwa nelayan-nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan di wilayah-wilayah tertentu di perairan Australia. Pasal 2 dan 3 MOU 1974, menyebutkan bahwa pemerintah Australia telah mengijinkan nelayan tradisional Indonesia untuk mengambil ikan di perairan Australia; mendarat guna mengambil air minum. Perizinan singgah misalnya, terbatas di sekitar perairan dekat Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Pulau Datu dan Browse Islet.

Latar belakang lahirnya kesepakatan tersebut bukan tanpa alasan dan argumen yang kuat.  Secara historis,  hubungan persahabatan nelayan-nelayan  Indonesia Timur dengan suku Aborigin di Australia telah berlangsung cukup lama. Diperkirakan sejak abad ke delapan  belas,  suku-suku Bugis dan Makasar, Wajo dan suku Bajoe yang sering melintas di wilayah Australia Utara. Seorang peneliti Australia, Perscott, J.R.V (Australian Maritime Boundaries 1985) mencatat bahwa masyarakat suku Bugis, Makasar dan Bajoe berkunjung ke sana untuk menjadi penyelam dalam menangkap bahan-bahan mutiara.  Antropolog seperti Prof. Bern dan isterinya Chaterine Bern, juga Prof Tonkinson dari The University of  Western Australia, mengakui kebenaran fakta  melalui bukti sejarah seperti, tembikar kuno, beberapa kosa kata Aborigin yang berasal dari suku  Bugis dan Makasar

Namun, tidak lama kemudian kesepakatan formal tersebut terganggu oleh karena pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia  (National Park and Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. Larangan sepihak itu menuntut adanya amandemen terhadap MoU 1974 pada tahun 1986 pemerintah Australia mengusulkan amandemen terhadap MOU 1974. Inti usulan amandemen tersebut antara lain : (1) larangan nelayan-nelayan Indonesia untuk mendarat di Ashmore Reef dan sebagainya ; (2) larangan mencari ikan dan organisme laut yang menetap di Ashmore Reef; (3) sebagai gantinya pemerintah Australia mengusulkan tempat yang lebih luas di wilayah perairan Australia.

Penentuan batas sepihak tersebut dapat ditolak pemerintah Indonesia karena bertentangan dengan pasal 39, Hukum Perjanjian Internasional 1969.  Penentuan batas laut suatu negara harus selalu dilakukan dengan kesepakatan negara-negara tetangga. Tumpang tindih pengaturan tersebut diperparah oleh penetapan Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil. Karena itu, batas yurisdiksi teritorial laut 12 mill dan ZEE di buat menimbulkan ketidakpastian bagi nelayan-nelayan.

Tidak kalah pentingnya, nelayan-nelayan Indonesia Timur tidak menghentikan penagkapan ikan, oleh karena lautan Australia jauh lebih menjanjikan. Andrew Ogilvie dalam tulisan (Sharks, Trochus and and Trouble 1993), menyebutkan bahwa ikan hiyu, tripang, kerang biru, trouchus, dan satwa liar lainnya, seperti telor penyu telah menjadi sasaran nelayan Indonesia. Baru-baru ini, petugas patroli Australia telah menangkap satu kapal nelayan Indonesia yang berisi sirip ikan-ikan hiu bernilai 2 milyard.

Perlunya  Diplomasi Lokal

Lebih dari tiga dekade, (1974-2005) model penyelesaian sengketa nelayan-nelayan Indonesia dengan pemerintah Australia terbukti belum berhasil. Gelombang nelayan ilegal Indonesia  (Indonesian Illegal Fishermen) tersebut menjadi faktor pemicu kurang harmonisnya hubungan kedua negara. Untuk itu, jika saat ini, penyelesaian nelayan-nelayan Indonesia hanya ditangani pemeritah pusat, Jakarta dan Canberra, maka outcome yang diharapkan mustahil tercapai. Karena itu, gagasan diplomasi melalui pemerintah lokal atau daerah harus mulai diwacanakan.

Diplomasi lokal dimaksudkan sebagai  upaya melakukan negosiasi atau perundingan untuk sebagian kewenangan hubungan luar negeri oleh pemerintah pusat, ke pemerintah daerah. Praktek diplomasi yang dilakukan pemerintah daerah atau lokal bukan sesuatu cara yang begitu asing. Presiden Eisenhower tahun 1956 mengusung pentingnya diplomasi di antara masyarakat atau people to the people diplomacy. Tujuannya adalah menjembatani hubungan kerajasama kota  di satu negara dengan masyarakat kota di negara lain dengan lebih cepat dan sederhana.  Konsep kota kembar (Sister/Twin Cities) menjadi relevan untuk dipergunakan dalam kaitannya dengan upaya menjembatani penggunaan diplomasi lokal.

Tidak mengherankan bila diplomasi lokal di Indonesia perlu menjadi pemikiran Presiden SBY, khususnya Deplu. Selain letak Indonesia sebagai negara pulau (Archipilagic State) yang mustahil segala urusan dapat diselesaikan seluruhnya oleh  pemerintah pusat. Juga lonceng sistem kekuasaan yang sentralistik mulai tenggelam sejak reformasi tahun 1997. Keterbukaan dan pemerataaan kekuasaan yang didistribusikan pada masyarakat dan pemerintah daerah diperlukan.

Karena itu, penggunaan diplomasi oleh pemerintah daerah bukan sekedar penting, melainkan telah mendapatkan pembenaran secara yuridis. Pasal 1, UU Hubungan Luar Negeri (HUBLA) No. 37 tahun 1999,  dan juga Undang-Undang No 35 Tahun 2005 (Amandemen UU Otonomi Daerah No 22 Tahun 1999). Pada prinsipnya,  pertama diberikannya hak kepada daerah untuk mengadakan hubungan luar negeri. Kedua, diberikannya hak kepada daerah untuk melakukan pinjaman luar negeri Dengan demikian,  hubungan luar negeri dalam konteks kekinian yaitu setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah. Termasuk lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha,  organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,  atau warga negara Indonesia. Hal ini bertujuan agar hubungan luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah selalu sinergis, maka mekanisme hubungan, koordinatif dan  konsultatif antara  Deplu, Depdagri dengan pemerintah daerah mutlak diperlukan.

Alternatif Bagi Pemerintah

Dalam pelaksanaan diplomasi lokal, seyogyanya pemerintah pusat dan daerah memperhatikan tiga tahapan. Pertama, setiap provinsi di Indonesia Timur perlu didorong untuk pembentukan kota kembar (Sister City) dengan beberapa Negara bagian di Australia. Penentuan provinsi tersebut harus didasarkan kepada pertimbangan wilayah asal nelayan-nelayan ilegal tersebut. Misalnya, suku Bugis, Makasar, Mandar, Bajau, Madura, Buton, Flores, Kupang dan terakhir Jawa Timur.

Kedua, Presiden perlu mengintruksikan Deplu dan Dep-Dagri untuk membicarakan kemungkinan adanya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pemerintah Australia. Status pelaksanaan diplomasi oleh pemerintah daerah tampak jelas mendapatkan landasan hukum yang kuat dari UU No 37/1999 dan juga UU otonomi daerah. Namun, dalam realisasinya sangat tergantung pada kemauan politik Presiden,  dalam merumuskan esensi utama politik luar negeri “bebas aktif”. Termasuk, apakah aspek-aspek penyelesaian secara damai bagi nelayan-nelayan ilegal Indonesia di Australia.

Ketiga, pemerintah pusat perlu segera menetapkan satu provinsi sebagai sister city dengan salah satu kota Australia. Jika pendirian kota kembar lebih dari satu pronvinsi boleh jadi terlalu mahal harganya dan  juga akan menjadi birokratis, maka Presiden dapat menetapkan salah satu provinsi. Misalnya,  Sulawesi Selatan dapat dijadikan salah satu pilihan. Kedudukan dalam pembangunan nasional sebagai Pusat Pembangunan Indonesia Bagian Timur sebagai bahan pertimbangan.

Dengan demikian, pemerintah kedua negara perlu secara serius mempertimbangkan penggunaan diplomasi lokal dalam penyelesaian sengketa nelayan-nelayan  Indonesia di perairan Australia. Kesepakatan melalui MoU dan juga praktek penyelesaian sepihak oleh pemerintah Australia terhadap nelayan-nelayan ilegal Indonesia tidak saja mengganggu hubungan persahabatan kedua negara, melainkan   telah menimbulkan kerugian tidak saja bagi nelayan miskin Indonesia akan kehilangan mata pencahariannya oleh karena  ditangkap dan dibakar kapalnya, melainkan juga    pemerintahan Australia akan terus mengalami kerugian secara finansial. Amat mustahil petugas patroli harus menarik kapal-kapal dan menahan mereka, termasuk mengembalikan mereka ke Indonesia tanpa  disertai pembiayaan.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

***

KERJASAMA INDONESIA – AUSTRALIA

Sejak keterlibatan Australia sebagai pimpinan Penjaga Perdamaian di Timor Timur sampai dengan peristiwa 12 Oktober Bom di Legian Bali, hubungan Indonesia dengan Australia tampak menurun. Perang isu di media massa baik dilakukan aktor politik di Jakarta maupun di Canberra terus memanas. Isu sempat memuncak ketika beberapa tokoh masyarakat termasuk anggota DPR-RI mengusulkan kepada pemerintah agar segera memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia. Namun, tidak berarti bahwa kedua negara tidak pernah akur. Pemerintah koalisi Buruh Australia sewaktu memerintah mengakui bahwa hubungan kedua negara yang paling harmonis terjadi ketika pemerintahan Orde Baru.

Kerentanan munculnya ketegangan hubungan antar negara tersebut berawal dari perasaan inferioritas bangsa Indonesia yang mempersepsikan Australia sebagai bangsa yang superior ataupun sebaliknya. Persepsi atau penilaian yang memposisikan ketidakseimbangan antar kedua negara pada gilirannya menimbulkan sikap dan kebijakan yang tidak sesuai. Dalam kasus Timor-Timur dan terorisme di Bali, persepsi Australia agak berlebihan, sehingga menimbulkan ketersinggungan masyarakat atau yang lebih tepat elite-elite politik dan pemerintah Indonesia. Walaupun dalam aspek ekonomi, politik, dan militer Australia tergolong negara middle power.

Setidak-tidaknya terdapat tiga situasi yang membuat masyarakat Indonesia merasa dilecehkan oleh Australia. Pertama, pemerintah Australia melalui Menteri Pertahanannya mengusulkan agar dibentuk Cabang Intelijen Australia di Jakarta. Tentu saja usul ini amat tidak lazim dalam dunia diplomasi dan  juga bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, khususnya Konvensi Wina tahun 1961 (The Vienna Convention on Diplomatic Relations). Urusan intelijen jelas di luar urusan politik, perdagangan, pendidikan, dan kebudayaan. Walaupun tugas intelijen dimungkinkan untuk dilakukan, itu pun hanya di kantor Kedutaan. Konsekuensinya persona-non-grata, jika kegiatan intelijen dilakukan secara terang-terangan. Kegiatan intelejen di suatu negara bertentangan dengan Muqodimah Piagam PBB 1945 oleh karena dapat memperburuk hubungan persahabatan antara negara yang telah dibangun melalui peran diplomat.

Kedua, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, telah mengeluarkan nota protes dan keprihatinan terhadap pemerintah Australia. Satuan Anti Teroris telah dengan semena-mena menggeledah dan menangkapi sekitar 12 orang WNI yang diduga terlibat JI (Jamaah Islamiyah). Reaksi keras ini timbul. Pertama, tindakan kedaulatan pemerintah Australia dianggap salah karena tidak memberitahu ke Kedutaan Republik Indonesia di Canbera sebelum penggeledahan. Juga tindakan tersebut berbau rasis yang bertentangan dengan Konvensi Diskriminasi Rasial. Menurut Christian Biox, aktifis HAM Australia, pelecehan terhadap wanita muslim semakin meningkat sejak 11 September 2001, dan tentu saja lebih parah lagi ketika tragedi 12 Oktober 2002. Banyaknya korban yang berasal dari Australia pada saat Kasus Bom Legian Bali membuat sebagian masyarakat Australia marah.

Ketiga, negara-negara ASEAN juga merasa tersinggung dengan kebijakan mengenai Travel Warrant atau peringatan bepergian bagi warga negara Australia. Tidak boleh pergi ke nagara-negara yang rentan dengan teror, dan larangan untuk tidak menghadiri tempat-tempat yang ramai termasuk tempat hiburan. Kebijakan yang esensinya bersifat larangan tersebut telah menimbulkan kerugian secara ekonomis.

Atas ketiga hal tersebut, dengan pertimbangan yang luas hendaknya  masyarakat Indonesia tidak perlu serta merta memutusan hubungan diplomatiknya dengan Australia. Melainkan justru pemerintah RI harus menggunakan momen ini sebagai ajang membulatkan tekad bahwa Indonesia tidak inferior.

Menurut hemat penulis, pemerintah Indonesia dengan Australia harus tetap menjalin hubungan bertetangga yang baik, dengan menegakkan prinsip-prinsip saling menghormati kedaulatan negara masing-masing. Ada dua alasan pentingnya tetap menjalin hubungan diplomatik. Pertama, Indonesia dengan Australia sama-sama berada di wilayah bagian Timur dunia ini. Karena itu, tidak ada pilihan bagi kedua negara untuk tetap sebagai tetangga negara yang abadi (Indonesia and Australia are Neighbour Forever). Perbedaan latar belakang sejarah dan budaya serta politik bukan sesuatu yang harus dipertentangkan, melainkan sama-sama dipelajari sehingga kedua negara dapat memperoleh keuntungan dari perbedaan tersebut.

Ketiga, pemerintah Australia dengan Indonesia harus lebih memilih memperbaiki pola dan mekanisme hubungan bilateral dan multilateral dari pada memutuskan hubungan diplomasi. Dilhat dari segi kedaulatan kedua negara, sama-sama memiliki kesetaraan dalam hukum internasional, yang menjadikan PBB sebagai pemerintahan global (global government). Dalam konteks, perimbangan kekuatan, kedua negara juga bukan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Wilayah negara Australia begitu luas karena satu benua hanya dihuni oleh satu negara berdaulat. Penduduknya sekitar 20 juta, padahal sumber Daya alam tersedia begitu banyak. Kemakmuran masyarakat begitu tinggi dan tingkat kesehatan masyarakat terjamin. Ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi setara dengan negara-negara moderen lainnya, seperti Canada, Italia, Inggris, dan Jepang. Kemampuan militer dan teknologi tinggi dari senjata militer termasuk yang diperhitungkan di PBB. Nyatanya, pemerintah Indonesia dengan Australia memiliki perjanjian militer, khususnya bagi militer Indonesia untuk trainning di Australia pada tahun 1996. Terakhir yang menjadikan pemerintah Australia tergolong Middle Power, yaitu eksistensi dari pemerintahan yang bersih (clean government) dan penegakan hukum yang baik.

Apabila pemerintah Australia over-acting dan merasa superior, tidak seharusnya bangsa Indonesia menjadi inferior, melainkan harus terpanggil untuk memperlihatkan integritas sebagai negara yang merdeka dan berperadaban.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

***

EXTRADISI KORUPTOR DARI SINGAPURA

Sikap Perdana Menteri Singapura yang terkesan tidak bersahabat atau non-cooperative terhadap perjanjian extradisi terkesan melecehkan tatakrama diplomasi. Memang tidak salah ketika dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Singapura bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi tergantung pada kondisi internal pemerintah Indonesia dan bukan pada ekstradisi. Sebab, perjanjian ekstradisi merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif hukum dan politik.

Namun, alangkah naifnya jika suatu hubungan bilateral seperti MoU ekstradisi yang akan disepakati  harus berakhir dengan sia-sia. Karena itu, bagaimana sebaiknya kebijakan pemerintah Singapura yang cenderung kurang responsif mestinya harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia. Untuk beberapa kasus perjanjian ektradisi  antara pemerintah Indonesia dengan pemerintahan Pillipina, Thailand, dan Malaysia telah berjalan dengan baik. Namun, untuk kasus terkait antara pemerintah Indonesia dengan Singapura dan  Australia berjalan tidak mulus. Persoalan yang timbul adalah mengapa pemberantasan korupsi melalui perjanjian ekstradisi tidak efektif, dan bagaimana caranya agar upaya tersebut tidak sia-sia.

Ekstradisi Mudah Disimpangi

Dalam hukum internasional, ekstradisi merupakan bentuk penyerahan seorang tersangka atau penjahat secara formal oleh suatu negara terhadap negara pemohon untuk diadili di negaranya (Extradition is the Formal Surrender of Person by a State for Prosecution or Punishment). Karena itu, tidaklah sukar bagi pemerintah Indonesia untuk menjalankan hubungan internasional melalui perjanjian ekstradisi dengan negara lain, termasuk Singapore. Persoalan ekstradisi telah diatur dengan UU No 1 tahun 1979. Isinya memuat ketentuan substansi perjanjian, obyek ekstradisi, impelmentasinya dan juga alasan-asalan pengabulan dan penolakan ekstradisi. Alasan penolakan juga diberikan terkait dengan kasus dimana terdakwanya dihukum mati, dan kejahatan yang bermotifkan  politik.

Meskipun alasan yuridis penolakan telah jelas diatur, pelanggaran tetap saja timbul. Misalnya, sejak 22 April 1992, pemerintah Indonesia dengan Australia telah menandatangani perjanjian extradisi lagi-lagi pemerintah Australia menolak menyerahkan Hendra Rahardja sebagai koruptor terlibat dalam kasus BLBI tahun 2002. Dan ironisnya, tidak ada satupun negara yang dapat mendukung pemerintah Indonesia. Memang hak penolakan tergolong pada persoalan kedaulatan Negara (Sovereign State), namun menjadi tidak demokratis jika kedaulatan tidak bersandar pada kedaulatan rakyat  (People’s Sovereginty).

Mengapa dalam praktek perjanjian ekstradisi bukan saja sulit diterapkan, tapi sangat mudah  disimpangi? Pertama, ekstradisi merupakan perjanjian bilateral yang tidak secara langsung menimbulkan kewajiban internasional sebagaimana peraturan kebiasaan internasional. Kedua, efektifitas perjanjian ekstradisi sangat tergantung pada subyek terkait dengan prinsip-prinsip umum. Misalnya, apakah kejahatan yang serupa tergolong perbuatan yang dapat dihukum oleh kedua negara (that of double criminality). Ketiga, orang-orang yang dapat diserahterimakan untuk diadili harus memperoleh jaminan kedua negara. (Malcolm N Shaw. International Law ;1997:482).

Ketiga alasan teoritis tersebut telah membuka tabir dibalik sikap pemerintah Singapura yang tidak kooperatif. Bahwa perjanjian bilateral, termasuk MoU extradisi bukan merupakan kesepakatan internasional yang mengikat dan bahkan dapat disimpangi. Mengingat perjanjian ekstradisi tidak tergolong kesepakan internasional yang bersifat Law Making Ttreaty (perjanjian membuat hukum), yang dapat dipaksakan secara internasional. Sehingga, bilamana terjadi pelanggaran tidak ada sanksi yang dapat diterapkan. Karena itu, bilamana pemerintahan Singapura menolak penyerahan koruptor setelah menandatangai MoU dapat dimaklumi. Sebab, dengan menyimpangi kesepakatan pemerintah Singapura dapat terbebas sanksi internasional dan hukum internasional.

Alasan lain yang memungkinkan Singapura mengingkari, terletak pada subyek perjanjian ekstradisi akibat adanya ketidak-sebandingan pelaku kejahatan kedua negara. Boleh jadi mencari seorang koruptor Singapura yang berada di Indonesia tidak akan menemukan. Sebaliknya, koruptor Indonesia yang telah membawa “barakah” bagi sistem ekonomi Singapura tak terhitung jumlahnya. Sehingga dapat diduga praktek ekstradisi bagi Singapura akan merugikan kepentingan domestik.  Dengan kata lain, perjanjian ekstradisi tidak merupakan instrument penting, tetapi dalam konteks kejahatan korupsi bukanlah solusi tepat.

Perluasan Yurisdikasi Pengadilan Nasional

Ketika perjanjian ekstradisi dipandang bukan merupakan instrumen hukum yang kuat bagi pemberantasan korupsi. Perluasan yurisdiksi pengadilan nasional sangat diperlukan. Suatu kebijakan hukum yang meniscayakan pentingnya harmonisasi antara sistem hukum internasional, termasuk hukum pidana internasional dengan pengadilan nasional. Korupsi yang semula merupakan kewenangan pengadilan nasional suatu negara. Saat ini justru pemerintah Indonesia dengan Singapura wajib memperbaharui komitmennya terhadap korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan.

Dengan menerima perluasan fungsi pengadilan suatu negara, MoU ekstradisi akan menjadi lebih efektif, setelah meningkatnya kesadaran negara terhadap hukum internasional. Perluasan yurisdiksi pengadilan nasional tersebut dapat ditempuh dengan melakukan ratifikasi terhadap dua konvensi internasional. Pertama, kedua negara perlu meratifikasi The Viena Convention Against Corruption 1 Oktober 2003, yang telah diadopsi oleh 107 negara. Hal ini sangat penting oleh karena paradigma UU korupsi suatu negara harus memuat prinsip-prinsip universal. Pemerintah dan DPR kedua negara harus mengamandemen UU tentang korupsi, dan menempatkan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan dan musuh umat manusia (Common enemy of Humanity). Selain itu, DPR dan pemerintah kedua negara juga wajib menerima asas yurisdiksi universal yang membolehkan koruptor-koruptor Indonesia dapat diadili di negara manapun.

Dengan cara internasionalisasi kejahatan korupsi, negara-negara penyimpan koruptor dapat dipaksakan melalui kekuatan negara-negara luar. Antonio Cassese (International Criminal Law 2003 : 16) menegaskan bahwa kejahatan internasional, termasuk upaya yang memaksa suatu negara melakukan ekstadisi sangat tergantung pada yurisdiksi peradilan suatu negara dalam konteks kejahatan yang dirumuskan dalam hukum internasional. Sehingga peran pengadilan nasional terhadap kejahatan internasional akan jauh lebih efektif bilamana penegakkan hukum pidana internasional juga merupakan kebijakan nasional.

Kedua, kedua negara menjadi penting untuk meratifikasi Statuta Roma 1998 agar celah perjanjian ekstradisi untuk disimpangi semakin sempit. Keterpisahan antara hukum internasional dengan pengadilan nasional akan berakhir dan oleh karenanya kasus-kasus korupsi yang diselesaikan dengan perjanjian ekstradisi akan menjadi efektif. Beberapa orang yang diduga terlibat koruptor, seperti Edy Tansil, Sudjono Timan, Paulina Lumowa, Samadikun Hartono yang tingggal di Singapura, yang saat ini tidak tersentuh oleh hukum (untrachable by law) akan berangsur-angsur mengikat. Terutama ketika pemerintah Singapura mengadopsi Konvensi Internasional yang relevan.

Pilihan yang dibuat pemerintah Indonesia menjadi sangat strategis ketika Menteri Hukum dan HAM dan DPR menyiapkan langkah untuk meratifikasi Konvensi Internasional tentang korupsi. Pemerintah Indonesia akan memiliki posisi tawar yang cukup strategis ketika telah menjadi negara pihak (Third Party) yang mendukung terciptanya pemerintahan yang baik. (Good Governance) dan bersih (Clean Government). Bagi Presiden SBY-JK beserta KIB-nya, peraturan penegakkan hukum dengan mengutamakan pada pemberantasan korupsi melalui institusi hukum adalah peluang emas yang dapat memperkuat kepercayaan masyarakat.

Singkat kata, perjanjian extradisi memang diperlukan bagi pemerintah Indonesia dan Singapura. Namun, instrumen tersebut bukanlah langkah yang efisien bagi pemberantasan korupsi bilamana dibandingkan dengan upaya meratifikasi Konvensi Internasional tentang Korupsi dan Statuta Roma 1998. Dengan menetapkan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan dan memiliki yurisdiksi universal, negara pelindung koruptor tidak akan lama lagi kebal dari daya paksa hukum internasional.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

***

GANGGUAN HUBUNGAN INDONESIA – SINGAPURA

Perjanjian extradisi dan kerjasama pertahanan, Defence Coorperation Agreement (DCA) antara Indonesia dengan Singapura telah menimbulkan silang sengketa.  Disatu pihak, Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono tetap menghendaki agar kedua perjanjian tersebut dapat ditindak lanjuti.  Karena itu, proses negosiasi pembuatan perjanjian pelaksanaan (Impelementing Agreement) yang lebih menguntungkan Indonesia perlu diupayakan. Prinsip dalam berdiplomasi yang baik adalah katakan yang buruk dengan ungkapan yang santun, atau Diplomacy is say the nasty thing with nice words. Dengan kata lain, penolakan atau pembatalan atas perjanjian sebagai sesuatu yang buruk dan pada hakikatnya bukan pekerjaan diplomasi.

Di pihak lain, DPR dan pakar hukum Internasional UI,  Hikamahanto Juwana dan pakar politik, menolak melangsungkan kedua perjanjian tersebut. Mereka memandang proses pembuatan perjanjian tersebut bukan saja tidak fair. Praktek penandatangan perjanjian ekstradisi  oleh Perdana Menteri Singapura ada unsur penekanan. Kesediaan Presiden Indonesia menanda tangani DCA merupakan syarat pemerintah Singapura membubuhkan tanda tangan untuk perjanjian ekstradisi. Mereka juga memandang kedua perjanjian tersebut tidak menguntungkan Indonesia. (Opini Kompas, 19 Juli 2007. Hal 6).

Apa yang salah dari kedua perjanjian tersebut? Dalam perspektif  hukum internasional, penandatanganan perjanjian extradisi dengan pertahanan antar Indonesia dengan Singapura adalah syah dan mengikat. Niat masing-masing negara (Letter  of Intent), pelaksanaan penjajagan, negosiasi draft MoU, dan penandatanganan telah dilakukan sesuai dengan  persyaratan yang diharuskan Vienna Convention on the Law of the Treaty 1963.

Persoalan mulai timbul ketika kedua negara akan melakukan ratifikasi. Adanya perbedaan sistem hukum, yaitu antara Continental Law bagi Indonesia dengan Common Law,  bagi Singapura. Misalnya di Singapura seorang koruptor tidak dapat dengan mudah ditangkap. Atas dasar MoU, sebelumnya harus mendapatkan persetujuan dari pengadilan negeri. Bagi mereka yang tidak setuju adalah sah-sah saja. Hanya saja, penilaian terhadap suatu perjanjian bilateral tidak dapat hanya didasarkan pada sisi kedaulatan hukum nasional suatu negara. Adanya keterkaitan dengan persoalan tatanan dunia yang semakin kompleks dan multidimensi. Akibatnya juga harus menjadi pertimbangan perjanjian bilateral.

Seiring itu, pakar hukum Diplomatik Grant V. McClanohan (Diplomatic Immunity, London 1989: 183) meyakini bahwa masyarakat dunia pada saat ini, memang  lebih beradab (more civilized) dan lebih  canggih (Shopisticated) dan berbahaya.  Bahkan situasi keamanan dan ketertiban dunia menjadi tidak akan mudah terjawab ketika  temuan senjata nuklir, senjata biokimia, dan senjata biologi lainnya dapat  dipergunakan negara-negara oleh berdaulat barangkali ancaman  nyata senjata nuklir  dan sejenisnya menjadi sangat relevan untuk dijadikan alasan penolakan. Namun, bila pelatihan militer di wilayah daratan dan perairan menggunakan bahan-bahan terlarang.

Menyimak  argumen yang diajukan oleh Menteri Pertahanan, untuk mempertahankan keberlangsungan perjanjian bilateral dengan membuka ruang negosiasi dalam Implementasi Agreement sangat relevan untuk didukung.

Pertama, pembatalan  atas kedua  Perjanjian Ektradisi dan  DCA bukan saja telah membuang waktu, tenaga dan biaya serta pemikiran yang bagus. Kredibilitas diplomatik kita akan dipertanyakan banyak pihak. Mustahil Penandatanganan kedua perjanjian itu telah berlangsung. Tidak sama sekali melibatkan wakil-wakil diplomatik, melalui Departmen Luar Negeri tidak realistik, jika perjanjian tersebut tidak sempurna memang benar. Tetapi jika ada tuduhan substansi perjanjian tersebut tidak dibahas secara komperehenshif dan mendalam tidak mungkin tidak realistik.

Misalnya,  konsep kedaulatan teritorial yang dulu sangat rigid dengan batasan fisik, laut dan daratan, saat ini sudah berimbas pada batas  imaginer atau borderless. Sehingga kedaulatan negara yang dulu dikonsepkan sebagai suatu pemilikan, saat ini, sudah berubah menjadi suatu kedaulatan bersama, sehingga batasan teritorial laut yang ribuan mil tersebut. Pemanfaatan sumber daya alam bagi kemanusiaan mustahil dapat diperoleh tanpa kerjasama.

Karena itu, alasan penolakan yang berakibat perjanjian ini tidak menguntungkan Indonesia bukan alasan yang cukup kuat. Bukti dilapangan bahwa  area ”Bravo” di wilayah dekat pulau Natuna disebut sebagai wilayah laut yang kaya sumber daya alamnya akan terganggu. Kerugian lain adalah pelatihan militer bersama antar pihak Indonesia dengan Singapura menimbulkan kerusakan lingkungan baik hayati dan nabati (Kedaulatan Rakyat 19 Juli 2007: 26).

Usulan Singapura, bahwa implimentasi   pelatihan-pelatihan militer berlangsung lima sampai enam kali perlu ditolak. Karena itu, Juwono Sudarsono, mengusulkan agar dua atau empat kali pelatihan di area Bravo dituangkan dalam Implementasi Agreement.

Kedua, konsep perjanjian kedua negara, baik dalam kaitannya dengan ektradisi maupun dalam konteks Pertahanan telah berkesesuaian dengan Hukum Dasar,  konstitusi UUD 1945. Sekiranya ada tudingan bahwa MoU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 11 ayat (1) tidaklah benar. Pasal 11 ayat (1)Presiden dengan persetujuan anggota DPR menyatakan perang membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Pasal 11 ayat (2) persetujuan DPR menjadi wajib dalam perjanjian internasional adalah ketika dampak yang ditimbulkan begitu luas, mendasar, dan cenderung menimbulkan ancaman bagi lingkungan hidup.

Sekiranya, ada yang tidak sepaham, seperti Cipta Lesmana (Kompas, 19 Juli 2007) Pemahaman seperti itu, bukan saja terlalu sumir, melainkan juga terlalu berlebihan. Penilaian terhadap kebijakan kedua negara akan menjadi tidak objektif jika hanya dengan menggunakan kaca mata hukum nasional cenderung tidak objektif

Pendekatan justifikasi hukum nasional UUD 1945 atau UU hukum Internasional, memang benar. Tiga persoalan yang terkait dengan keamanan dan pertahanan,  beban keuangan negara, dan imbas pada  sistem hukum nasional, dan adanya intervensi terhadap ancaman  kedaulatan teritorial negara merupakan syarat-syarat yang mewajibkan suatu perjanjian internasional mendapat persetujuan DPR. Persetujuan DPR umumnya menjadi kewajiban jika terkait dengan perjanjian multilateral. Suatu perjanjian internasional yang disetujui puluhan atau ratusan negara. Menolak ratifikasi oleh pemerintah Indonesia karena imbas pada perubahan sistem hukum, politik, dan keamanan serta pertahanan nasional. Misalnya pemerintrah Indonesia masih menunda ratifikasi perjanjian internasional tentang Mahkamah Internasional (Internasional Convention on Criminal Count, Statuta Roma 1998). Misalnya, persetujuan DPR dalam ratifikasi konvensi Internasional atas hak-hak sipil atau budaya dan politik (Internasional Convention on cultural, and political Rights 1966), juga ada konvensi Internasional tentang tentang hak-hak sosial dan ekonomi.

Jadi penggunaan argumen yuridis pasal 11 ayat (2) sebagai dasar pembatalan perjanjian ekstradisi dan keamanan dengan Singapura ridak tepat. Dampak  yang diakibatkan oleh perjanjian bersifat bilateral hanya terbatas pada segi-segi tertentu dari kepentingan nasional kedua negara.

Ketiga, pandangan Menteri Pertahan Indonesia untuk meneruskan negosiasi Implementing Agremeent dan mengambil manfaat yang besar jauh lebih realistik. Bagi peningkatan kualitas profesional TNI dan pengawasan bersama wilayah laut Indonesia yang amat luas.

Argumentasi realistik itu didasarkan pada tiga hal. Pertama, pembatalan perjanjian pertahanan dengan Singapura akan berarti penundaan profesionalitas SDM TNI. Bukankah setiap rencana anggaran TNI untuk membeli alat-alat persenjataan modern acapkali tidak disetujui DPR? Justru membeli alat TNI modern dengan menggunakan anggaran belanja negara yang tidak memungkinkan. Mengingat alat-alat dan fasilitas militer paling canggih tidak akan menjadi milik TNI, maka tanpa kerjasama dengan Singapura. Upaya peningkatan TNI menjadi tertunda, serta dukungan AS dan Israel atas fasilitas militer modern sangat kuat.

Kedua, pembatalan yang dilakukan pemerintah Indonesia bisa jadi berakibat buruk. Pembelian Alutista (Alat-alat Persenjataan) dengan anggaran belanja RI tipis kemungkinanannya. Apalagi AS dan Eropa masih mengembargo Indonesia dalam penjualan senjata. Karena itu, sekiranya Indonesia memiliki anggaran yang cukup, belum tentu juga dapat membeli Alutista modern walaupun embargo masih diterapkan.

Ketiga, pemilihan tempat di area Bravo dekat dengan wilayah Natuna secara konseptual dan strategi operasional cukup tepat, meski sumber daya alam begitu didasarnya, bukan kondisi yang baru. Satu kondisi yang sama juga dapat dijumpai hampir disetiap wilayah laut teritorial Indonesia. Namun, karena kelemahan modal dan SDM, semua SDA tersebut belum tereksplorasi dengan baik. Kalau toh ada yang mengambil manfaat, hanyalah segelintir oknum yang mengizinkan kapal-kapal asing mengambil SDA secara tidak sah. Bahwa dampak negatif lingkungan akibat latihan militer diakui memang adanya. Tetapi, manfaatnya jauh lebih besar bagi pemerintah Indonesia, khususnya pada situasi Indonesia untuk mempertahankan perjanjian internasional dengan Singapura masih belum mampu keluar dari krisis ekonomi

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

***