Instruksi Presiden kepada Tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk mencari Adam Air yang hilang tanpa batas terdengar menggembirakan. Dukungan ini diperkuat oleh Wapres Yusuf Kalla yang akan membantu seluruh kebutuhan akomodasi, kesehatan dan transportasinya keluarga korban yang menunggu di Makasar.
Komitmen tinggi juga dibuktikan dengan hadirnya Tim Investigasi dari Amerika Serikat (National Transportation Safety Board) mulai beroperasi sejak tanggal Minggu (7/Januari) di Bandara Makasar di bawah pimpinan Marsekal Pertama Eddy Suyanto.
Kebijakan Negara ini berarti menepis pernyataan sebelumnya pejabat Tim SAR. Pertama, bahwa manajemen Adam Air akan segera memulangkan keluarga korban dari Makasar ke Jakarta karena pihak Adam Air memiliki keterbatasan biaya. Kedua, Ketua Tim Basarnas (Badan Search and Rescue Nasional) cabang Makasar dalam rapatnya tanggal 4 Januari, bersama tim ahli dari Singapura memutuskan untuk menghentikan upaya pencarian jika pada hari ketujuh (7 Januari) ternyata tidak memperoleh hasil. Situasi ini tentu berakhir, setelah kepala Negara mengambil sikap tegas dan akan terus berupaya untuk menemukan Adam Air dan penumpangnya.
Persoalan yang timbul dalam konteks hukum internasional adalah seberapa jauh tanggungjawab Negara yang berdaulat berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada warga Negara atau korban. Kemudian, apakah kehadiran Negara-negara lain tergolong intervensi yang mengarungi status kedaulatan Negara RI ?
Dalam pandangan klasik, Negara berdaulat dipahami sebagai suatu kekuasaan absolut yang dimiliki oleh pemerintahan tanpa ada kekuatan intervensi dari kekuatan Negara lain. Secara ekslusif, memiliki hak untuk menjalankan kekuasaan secara efektif dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif dalam jurisdiksi wilayah masing-masing Negara.
Kedudukan kesatuan wilayah atau teritorial integrity menjadi mutlak bagi suatu Negara atas pelaksanaan penerapan hukum atas suatu pelanggaran dan kejahatan atau bencana baik, yang terjadi di daratan, lautan, dan udara. Karena itu, jika terjadi sesuatu peristiwa hukum seperti bencana, Negara berkewajiban untuk menanggulanginya. Pandangan pertama ini, kedaulatan lebih dimaknai sebagai kedaulatan penguasa (sovereign’s sovereignty)
Pemaknaan kedaulatan seperti itu ternyata tidak dapat bertahan lama oleh karena dalam fakta sejarah begitu mudah diselewengkan. Tidak sedikit Negara berdaulat justru warga Negara telah menjadi korban keganasan kedaulatan Negara untuk penguasan. Lahirnya gerakan Hak Asasi Manusia sungguh menjadi efektif oleh karena prinsip-prinsip fundamental HAM mampu menggerus model kedaulatan penguasa.
Eksistensi prinsip-prinsip HAM mendorong terjadinya perubahan konsep kedaulatan secara evolusioner yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (People is the locus of sovereignty). Michael W Reisman, Sovereignty and Human Rights in Contemporary International Law (AJIL 1990:82) mengemukakan bahwa hukum internasional tidaklah melindungi kedaulatan penguasa, melainkan kedaulatan yang utama, yakni rakyat (people sovereignty). Karena itu, korban-korban akibat menghilangnya Adam Air yang sampai hari ini belaum jelas kedudukannya menjadi tanggungjawab pemerintah, sebagaimana dijamin Wapres-YK sudah tepat dan perlu dukungan.
Usulan Roy Suryo, mengenai pentingnya bantuan Satelit intelejen USA juga bukan ususlan yang menjatuhkan harga diri bangsa. Negara-negara yang memiliki kemampuan teknologi tinggi dalam menggunakan alat deteksi pengindaraan jarak jauh, semacam teknologi remote sensing bukanlah tergolong intervensi yang dapat mengurangi makna kedaulatan negara.
Suatu Komisi Internasional Tentang Internvensi dan Kedaulatan Negara (the Intrnational Commission on Internvention On and State Sovereignty) yang dipelopori oleh Perdana Menteri Kanada, Jean Chretien, Gareth Evans (Australia) dan Mohammad Sahnoun yang dalam laporannya The Responsibility to Protect, di Ottawa, 2001, bahwa kedaulatan Negara mengimplikasikan akan adanya tanggungjawab dan tanggungjawab terhadap rakyatnya adalah terletak pada negaranya sendiri. Sebalinya, jika pemerintah RI diam saja dapat dipersalahkan. Ketika Negara gagal dalam mematuhi kewajiban untuk memberikan perlindungan maka kewajiban non-intervensi harus mengalah pada kewajiban internasional untuk ikut campur.
Ketiga, implikasi dari tanggungjawab Negara selain mematuhi kewajiban internasional, termasuk menerima kekuatan asing untuk bantuan kemanusiaan, juga memberi pelajaran akan pentingnya melanjutkan penelitian ilmiah tentang kondisi udara dan laut di wilayah Masalombo.
Implikasi pemberhentian pelacakan adalah juga secara keamanan nasional dan tegaknya integritas nasional membuat loop-whole bagi kekuatan asing. Tidak ada penyelidikan akan meninggalkan fakta tentang missing of action, terputusnya tindakan yang mestinya harus dilakukan pemerintah. Tiadanya hasil investigasi akan berarti bahwa status hilangnya Adam Air dengan penumpangnya adalah unclarified status forever.
Ancaman dalam negeri menjadi sangat nyata jika Negara tidak memiliki kepedulian. Termasuk timbulnya kepercayaan bahwa wilayah Masalembo memiliki kesamaan dengan Triangle Bermuda di Amerika. Mestinya mengundang kepenasaran bagi ilmuwan-ilmuan untuk mengadakan riset lanjutan. Kepentingannya tidak hanya untuk menguak tabir Adam Air yang hilang baru-baru ini, tapi juga dapat dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Tidak kurang dari tiga pesawat terbang hilang di daerah Masalombo yaitu dua dari perusahaan Garuda, dan satu Helikopter. Pada tahun 1980-an, Kapal Tampomas juga tenggelan di perairan Masalombo. Benarkan bahwa adanya kantong udara (air pocket) yang suka menyedot alat-alat transport udara atau laut dapat dijadikan fakta bagi pembuatan route penerbangan civil yang mengutamakan keselamatan dan keamanan manusia (human security oriented).
Dengan demikian, permohonan bantuan pemerintah AS dan Siangapura untuk melacak pesawat Adam Air tidaklah akan mengurangi kedaulatan Negara RI. Upaya tersebut justru membuktikan bahwa pemerintah RI telah bertanggungjawab untuk melindungi rakyat atau korban, tetapi juga berupaya mencari fakta-fakta ilmiah dalam membagung infrastruktur transport udara yang lebih aman dan menyelamatkan.
Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.
Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.
*****