PENYELESAIAN HAM INDONESIA – TIMOR TIMUR

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2005, terkait dengan pelanggaran berat HAM di Timor Leste, paska Jajak Pendapat 1999 merupakan penyelesaian sengketa kontroversial. Meskipun bukan hal sama sekali baru, kesepakatan kedua kepala Negara untuk tidak menggunakan peradilan terkait dengan pelanggaran berat HAM hampir sama dengan model perundingan konflik Gerakan Ceh Merdeka (GAM) dengan RI di Aceh.

Bulan Agustus 2005, pemerintah RI dengan GAM telah menandatangani MoU di Helsinki. Untuk menghentikan kekerasan akibat konflik  bersenjata non-internasional (bukan perang antara dua Negara berdaulat). Pelanggaran berat HAM di Aceh, dikenal sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) terjadi sejak  1988, merupakan alasan utama persetruan GAM dengan RI.

Kedudukan Aceh yang ketika itu berpeluang memisahkan diri (self-determination) dari NKRI menjadi tertutup. Sejak MoU Helsinki ditandatangani, impian kultural masyarakat Aceh yang dulu dicita-citakan, juga  pemberlakuan hukum berdasarkan syariat Islam,  dengan suasana lebih  aman dan damai saat ini telah menjadi kenyataan di Aceh.

Keadilan di Banyak Ruang
Akankah penyelesaian diplomatis,   terkait kasus pelanggaran berat HAM, oleh Presiden SBY dengan Ramos Horta mampu meretas jalan terjal hubungan bilateral Indonesia-Timor Leste  ke depan menjadi lebih baik?

Tentu saja jawaban bukan sekedar adanya klise dapat dan tidak. Berbagai argumen perlu dikedepankan untuk melihat seberapa jauh penyelesaian secara diplomatic telah menjadi kepentingan nasional kedua Negara.   Pernyataan bersama Presiden SBY dengan Ramos Horta, bertumpu pada temuan     laporan KKP  14 Juli lalu di Denpasar, telah sampai pada suatu kesepakatan yang memihak kepentingan nasional tesebut (Jawa Pos,  15 Juli 2008).

Ungkapan penyesalan atas terjadinya pelanggaran berat HAM dan agar peristiwa tersebut     tidak terulang merupakan sikap yang progresif. Seara tersirat, kesepakatan tersebut dapat berarti proses pengadilan menjadi tertutup. Namun, yang menjdi catatan kita adalah bahwa pengaduan atau penuntutan masih dimungkinkan mengingat hak-hak konstitusional korban telah dijamin  dalam UUD 1945.

Terhadap kesepakatan kedua Negara tersebut, yaitu penyelesaian di luar pengadilaan bukan tanpa alasan relevan. Sebab, menurut Mac Gallenther, “perolehan keadilan juga terdapat di luar pengadilan, termasuk memalui jalur perundingan dan diplomasi, atau  Justice is in Many Rooms.

Proses pengadilan, sebagai lembaga kedaulatan hukum suatu  Negara  ternyata bukanlah satu satunya cara umat manusia menyelesaikan konflik secara adil. Karena itu apa yang dikatakan Steve Smith  terkait dengan sikap kompromi dalam suatu penyelesaian diplomatic berkesesuaian. “dunia yang saat ini kita jumpai adalah dunia dimana  kedaulatan negara menjadi kurang relevan dan kurang mampu memecahkan masalah utama kemanusiaan dari pada peran   nilai-nilai masyarakatnya” Intenational
O rder and The Future of Wolrd Politics, 1999:113).

Selain itu, memilih jalur penyelesaian diplomatis untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM, bahwa untuk kasas-kasus tertentu menjadi pilihan. Sebab, sistem hukum nasional dan internasional terkadang tidak dapat diterapkan. Sebab, selain tidak mampu  mengakomodir perbedaan kepentingan kedua Negara, juga pertimbangan kemaslahatan bagi kepentingan nasional menjadi target utama.

Meski kesekapatan kedua kepala Negara tampak lebih merupakan komitmen bilateral,  tampaknya kedua Negara  akan terikat  untuk mematuhi dan menghormatinya atau patuh pada kaidah ” Pacta Sunt Servanda. Sekiranya pemberian kesepakatan bagi pihak pemerintah Timor Leste terdapat unsur  keterpaksaan, melunaknya sikap pemerintah Timor Leste dipastikan ada kaitannya dengan harapan penciptaan hubungan  bertentangga baik (good neigbourhood  relations).

Sipil Menjadi  Korban
Kurangnya respon kritis  publik akhir-akhir ini terhadap hasil KKP, tidak berarti bahwa penyelesaian  diplomatis telah berjalan tanpa cela. Ketidak adilan mulai timbul ketika sebagian pelaku   diputus pengadilan negeri bersalah (found guilty).

Seperti Eurico Guterres, Mantan Pimpinan Milisi Pro-Anti Integrasi, dan Albio Soares, Gubernur Timtim dinyatakan bersalah sebagai pelaku pelanggaran berat HAM. Namun, aparat TNI dan juga Polri yang ketika itu sama memegang tanggung jawa pemerntahan dan keamanan terbebaskan.

Sementara itu, hasil laporan KKP tampak telah menjadi media rekonsiliasi atas kebuntuan komunikasi politik antara Presiden SBY dengan TNI. Sehingga tidak musthil perasaan simpatik dari korp TNI  akan muncul mengingat hasil KKP telah membebaskan pelaku  pelanggar HAM dari pertanggungjawaban. Beberapa nama yang diuntungkan kebijakan SBY antara lain  Mayjen Adam Damiri (Pangdam Udaya),  Brigjen Timbul Silaen (Kapolda Timtim), Brigjen Tono Suratman (Danrem Wira Dharma),  Letkol Noer Moeis (Danrem Wira Dharma), dan Letkol Inf  Sujarwo (Dandim Dilli).

Fakta ini dengan jelas memperlihatkan secara gambling adanya kontradiksi dan perbedaan perlakuan. Sehingga menjadi sangat tidak mudah untuk memupus kesan bahwa korp TNI adalah kebal atau tidak tersentuh hukum (untouchable by the law). Tangkisan Jendral Wiranto bahwa peradilan Adhoc, tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan ada tidaknya anggota TNI  melakukan pelanggaran berat HAM sesungguhnya mengesankan di mata masyarakat internasional  bahwa kekuasaan pengadilan tak akan mampu menerobos dinding imunitas hukum TNI.

Untuk mengantisipasi ketidak mampuan system peradilan nasional, sebagai awal  timbulnya peluang tersangka bebas dari pertangung jawaban hukum, maka wajib diberlakukan asas Universal Jurisdiction untuk jenis kehatan HAM ang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Misalnya, pelanggaran berat HAM  disejajarkan dengan kejahatan perang (war crime), kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity), pembunuhan sstematis atas dasar suku, agama atau ras (genocide), dan bahkan juga pebajakan (piracy).

Pelanggaran berat HAM sebagai akibat Jajak Pendapat di Timor Leste, mewajibkan Negara-negara pihak untuk mematuhi Konvensi Genewa dan Den Haag. Dalam Statuta Roma 1998, tentang Konvensi Mahkamah Pidana Internasional, plangaran berat HAM tidak dapat mengaiakan pentingnya penggunaan pengadilan, baik dalam jurisdiksi nasional maupun internasional.

Sebab, kejahatan berat HAM, tergolong perbuatan  yang dimusuhi umat manusia sejagat (hostis humanis generic). Bruce Broom Hall ( International Justice and The Intenatioal Criminal Court: Between Sovereignty and The Rule of Law.  2003:110).genocide, crime against humanity, and war crime (…  but the Hague law applicable in international arm conflict, as well as crime arising in non-international armed conflict) give rise  to permissive universal jurisdiction at international law

Penyelesaian diplomasi atas kasus  pelanggaran berat HAM di Timur Leste  berdasarkan hasil laporan KKP, bukan merupakan upaya mencari kebenaran dan keadilan bagi pihak korban dan pelaku. Tingkat komitmen atas pemenuhan kewajiban internasional tidak menjad pilihan ketika penyelesaian melalui peradilan nasional atau internasional belum mampu menciptakan terselenggaranya tatanan  sosial, politik, keamanan dan pertahanan  di masa mendatang bagi hubungan timbale balik RI dengan Timor Leste.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., PHD
Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.***

Leave a comment