TANTANGAN DIPLOMASI INDONESIA – MALAYSIA

Suhakam, petugas Komnas HAM Malaysia telah melakukan kunjungan  ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. Kehadiran Suhakam dimaksudkan untuk melakukan inventarisasi atas data pelanggaran HAM Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sikap diplomasi tersebut telah direspon positif Ketua Satgas Perlindungan dan Penanganan WNI (Jawa Pos, 8 September 2007).

Apakah keprihatinan  tersebut akan direspon Komans HAM Indonesia secara berimbang, kita tidak tahu persis. Yang jelas, pencegahan hubungan diplomasi terbukti dapat dilakukan oleh aktor non negara (non-state actor)  semacam Komnas HAM.  Hal ini mengisyaratkan bahwa kedaulatan negara tidak sepenuhnya lagi dapat dipergunakan dalam menjawab problematika hubungan kerjasama di era global ini.

Tantangan Kedua Negara

Terdapat beberapa aspek yang dapat mengganggu hubungan  kedua negara  dan perlu mendapatkan perhatian serius. Pertama, kebutuhan tenaga buruh Malaysia dari Indonesia,  seperti TKI. Tetapi, dalam waktu bersamaan, pelanggaran jual beli manusia (Human Trafficking) acapkali timbul. Ketika pemerintah Malaysia memerlukan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yang berjumlah sekitar 1,5 juta orang, hal itu menjadi mustahil untuk luput dari  masalah.

Sikap dan tindakan tegas Rela, dari Imigrasi Malaysia  yang acapkali menguber TKI  haram karena  tidak memiliki dokumen sah juga tidak luput dari cercaan. Beberapa tokoh HAM Indonesia atau Malaysia  sering mengkritik kebijakan pemerintah, khususnya Dinas Imigrasi Malaysia. Malaysia tergolong negara pengguna TKI dengan jumlah kasus penganiayaan tak terhitung. Bahkan dalam laporan terakhir, TKI Indonesia yang mati sekitar 36 orang merupakan posisi kedua setelah Saudi Arabia. Jika kedua negara tidak mengambil langkah serius, termasuk melibatkan kekuatan organisasi internasional, seperti Komnas HAM, maka tidak mustahil  persoalan tersebut akan dapat dicari jalan keluarnya.

Kedua, tantangan berikutnya dalah persoalan perbatasan yang bilamana  dibiarkan maka akan menimbulkan persoalan sensitif yang mudah mengusik keamanan dan pertahanan negeri masing-masing. Kaburnya batas wilayah kedua negara akibat musnahnya batas-batas fisik di  Sambas,  Kalimantan Barat dengan Serawak, khususnya Ibu kota Kucing di Malaysia merupakan potensi laten timbulnya pertikaian. Situasi ini akan lebih kompleks jika Pintu Gerbang Serawak  Sambas, Kalimantan Barat akan dibuka secara lebih luas.

Sama halnya, persoalan kedaulatan di wilayah perbatasan wilayah laut.    Kasus blok Ambalat yang menyeruak tahun 2005, ke permukaan telah  menimbulkan ketegangan hubungan pemerintah  Indonesia dengan Malaysia. Ancaman ganyang Malaysia itupun timbul. Sengketa tersebut didahului oleh tindakan Angkatan Laut Diraja Malaysia mengusir nelayan-nelayan Indonesia untuk tidak  mencari ikan di wilayah blok Ambalat.   Tindakan kedaulatan itu tidak pada tempatnya mengingat  blok Ambalat merupakan wilayah  teritorial laut Indonesia.

Berkat kesadaran tokoh-tokoh muslim seperti  Din Syamsudin dan rombongannya ketika itu, menghadap secara informal kepada Perdana Menteri Malaysia, Abdullah Badhawi untuk dapat menyudahi sengketa tersebut. Blok Ambalat telah diklaim  UU Malaysia tahun 1979 bagian dari Malaysia. Atas persoalan tersebut, pihak Departemen Luar Negeri membentuk Tim Khusus perundingan, yang sampai saat ini belum terdengar hasilnya.

Diplomasi Bersifat Preventif

Sepertinya menaruh harapan terlalu besar terhadap kekuatan negara untuk menjadi aktor utama dalam hubungan diplomatik,  tak bisa lagi dilakukan.  Akan tetapi, peran yang dimainkannya akan terasa semakin kurang efektif bila dibandingkan dengan persoalan yang semakin kompleks. Misalnya, keterlibatan Din Syamsuddin dalam melakukan kunjungan informal terkait dengan sengketa blok Ambalat merupakan satu kasus bagaimana kekuatan non-negara dapat berperan membantu pemertinah.

Di satu pihak, langkah Suhakam dipandang sebagai bagian dari diplomasi preventif. Suatu model diplomasi yang ditujukan untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih luas (Hasjim Djalal: Preventive Diplomacy in Southeast Asia. 2000:134). Sedangkan pentingnya mengembangkan suatu petunjuk untuk mencari model penyelesaian secara damai dengan mempertimbangkan Piagam PBB dan Perjanjian Kerjasama Persahabatan (Treaty of Amity and Cooperation) yang mempromosikan pengakuan dan penerimaan  dari tujuan perjaniian tersebut. Sedangkankan untuk hukum laut,  penyelesaian diperlukan dengan mengacu pada penguatan deklarasi ASEAN  sesuai dengan deklarasi South  China Sea 1994. Umumnya hanya dilakukan oleh aktor-aktor internasional yang sudah mapan, misalnya, individu, negara, organisasi internasional publik atau pun lembaga swadaya masyarakat internasional (Mingst: 2003).

Bagaimanapun, langkah pro-aktif Suhakam sebagai lembaga non-pemerintahan dalam bidang diplomasi merupakan hal yang inovatif. Sebab, langkah tersebut dapat mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh kegagalan kedua negara dalam menyelesaikan berbagai isu yang melibatkan pelanggaran HAM TKI. Tapi, yang menjadi persoalan utama di sini bagaimana upaya promosi dan perlindungan HAM TKI di luar negeri menjadi lebih efektif.

Pertama-tama, pembiaran (ommission) terhadap berbagai pelanggaran HAM terhadap TKI dapat menimbulkan pertanggungjawaban pidana internasional bagi negara pengirim. Jadi, pelanggaran HAM TKI tidak hanya menimbulkan tanggungjawab pidana bagi negara pelanggar semata. Walau begitu, hukum internasional tidak sebagaimana layaknya hukum nasional yang memiliki daya paksa dari luar. Hukum internasional memiliki arti hanya dikarenakan negara-negara, sebagai subjek utama, memiliki kepentingan untuk itu. Atau dengan kata lain penegakannya hanya didasarkan pada dorongan sukaRela dari dalam negara itu sendiri (Goldsmith dan Posner: 2006).

Karena itu, langkah diplomasi Suhakam sepertinya tidak akan efektif jika kedua pemerintah Malaysia dan Indonesia tidak bersikap pro aktif. Sebab, kewenangan  untuk tunduk atau tidaknya terhadap hukum internasional terletak di tangan negara itu sendiri. Dari sini bisa dikatakan bahwa negaralah yang sangat menentukan penegakannya. Oleh sebab itu, pantaslah apabila kita bersikap skeptis. Sebab, upaya Suhakam hanya sebatas lembaga yang berfungsi sebagai ’conscience of nation’ belaka, sebagaimana Komnas HAM di Indonesia.

Kedua, untuk mendapatkan hasil yang efektif diperlukan sebuah diplomasi yang menyeluruh dari bangsa Indonesia. Pendekatan menyeluruh yang dimaksudkan di sini adalah diplomasi yang tidak hanya dilakukan oleh sebuah departemen belaka tapi juga meliputi perlakuan atas isu dimaksud secara menyeluruh. Dalam bidang HAM, diplomasi ini bisa dikatakan meliputi promosi dan perlindungan. Selama ini, pendekatan atas persoalan ini masih bersifat parsial. Ketiadaan kesamaan persepsi antar departemen yang terkait terhadap TKI, petugas Kedutaan Besar adalah bukti kongkrit. Dalam fakta, persoalan tenaga kerja migran merupakan persoalan lintas-batas negara dan juga lintas departemen. Sehingga, keterlibatan Depnaker, Dephukham sampai Deplu, mutlak diperlukan.

Sehingga terkait dengan isu perlindungan TKI, pemerintah Indonesia tidak hanya melakukan pendekatan yang bilateral. Tapi menggunakan berbagai cara yang memungkinkan dicapainya hasil yang maksimal, yang mana meliputi berbagai fora multilateral.

Ketiga, diplomasi preventif juga tidak akan efektif jika pemerintah Indonesia tidak menunjukan sikap pro-aktif dan kesungguhannya dalam pengembangan rezim hukum perlindungan pekerja migran di tingkat Internasional. Bahkan, sikap Indonesia yang sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi Pekerja Migran PBB adalah kelemahan mendasar. Menjadi negara peserta terhadap Konvensi tersebut merupakan langkah awal yang menunjukan keseriusan Indonesia. Selanjutnya, Indonesia harus mampu mengarahkan ASEAN sebagai organisasi terdepan dalam bidang perlindungan pekerja Migran. Ini tidak bisa dilepaskan dari fakta yang menunjukan apabila dua negara terbesar dalam pengiriman tenaga kerja migran ada di Asia Tenggara.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

***

2 thoughts on “TANTANGAN DIPLOMASI INDONESIA – MALAYSIA

  1. Malaysia negara yang tidak bisa menghargai negara lain, nagapain kita harus takut.
    Indonesia bukan negara yang memble ==> ayo menlu dan presiden tunjukan sikap yg tegas

  2. Pingback: Hubungan Indonesia-Malaysia Di Bidang Kebudayaan « OSEAFAS [ The Oracle of Southeast Asia Faith and Studies ]

Leave a reply to esusilowati Cancel reply