Selamat datang presiden dan wakil presiden terpilih

Jakarta (ANTARA News) – Terjawab sudah polemik pasangan siapa yang akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu 9 Juli 2014.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada rapat pleno terbuka di Jakarta, Selasa (22/7) malam telah menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan menetapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Pasangan capres dan cawapres nomor urut 1, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, mengantongi 62.576.444 atau 46,85 persen dari suara sah sebanyak 133.574.277 sedangkan pasangan nomor urut 2, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, meraih 70.997.833 atau 53,15 persen dari suara sah nasional. 

Dari 33 provinsi di Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla unggul 23 provinsi yakni di Sumut dengan memperoleh 3.494.835 suara (Prabowo-Hatta 2.831.514 suara), di Jambi 897.787 suara (Prabowo-Hatta 871.316), di Bengkulu 523.669 suara (Prabowo-Hatta 433.173 suara), di Lampung 2.299.889 (Prabowo-Hatta 2.033.924 suara), di Bangka Belitung 412.359 suara (Prabowo-Hatta 200.706 suara), di Kepulauan Riau 491.819 (Prabowo-Hatta 332.908 suara), DKI Jakarta 2.859.894 suara (Prabowo-Hatta 2.528.064 suara), di Jateng 12.959.540 suara (Prabowo-Hatta 6.485.720 suara), di DI Yogyakarta 1.234.249 suara (Prabowo-Hatta 977.342 suara), di Jatim 11.669.313 suara (Prabowo-Hatta 10.277.088 suara).

Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla juga unggul di Bali dengan mengantongi 1.535.110 suara (Prabowo-Hatta 614.241 suara), di NTT 1.488.076 suara (Prabowo-Hatta 769.391 suara), di Kalbar 1.573.046 suara (Prabowo-Hatta 1.032.354 suara), di Kalteng 696.199 suara (Prabowo-Hatta 468.277 suara), di Kaltim 1.190.156 suara (Prabowo-Hatta 687.734 suara).

Kemudian, di Sulut 724.553 (Prabowo-Hatta 620.095 suara), di Sulteng 767.151 suara (Prabowo-Hatta 632.009 suara), di Sulsel 3.037.026 suara (Prabowo-Hatta 1.214.857 suara), di Sultra 622.217 suara (Prabowo-Hatta 511.134 suara), di Sulbar 456.021 suara (Prabowo-Hatta 165.494 suara), di Maluku 443.040 suara (Prabowo-Hatta 433.981 suara), di Papua 2.026.735 suara (Prabowo-Hatta 769.132 suara), di Papua Barat 360.379 suara (Prabowo Hatta 172.528 suara).

Sementara Prabowo-Hatta menang di 10 provinsi yakni di Aceh dengan merebut 1.089.290 suara (Jokowi-JK 913.309 suara), di Sumbar 1.797.505 (Jokowi-JK 539.308 suara), di Riau 1.349.338 suara (Jokowi-JK 1.342.817 suara), di Sumsel 2.132.163 (Jokowi-JK 2.027.049 suara), di Jabar 14.167.381 suara (9.530.315 suara), di Banten 3.192.671 suara (Jokowi-JK 2.398.631 suara), di NTB 1.844.178 suara (Jokowi-JK 701.238 suara).

Sementara itu, di Kalsel 941.809 (Jokowi-JK 939.748 suara), di Gorontalo 378.735 suara (Jokowi-JK 221.497 suara), di Maluku Utara 306.792 suara (Jokowi-JK 256.601 suara), 

Sedangkan dari Panitia Pemilihan Luar Negeri, pasangan Jokowi-JK juga unggul dengan perolehan suara sebanyak 364.257 suara dibandingkan dengan Prabowo-Hatta yang meraih 313.600 suara.

Meskipun Prabowo-Hatta menarik diri dari proses penetapan rekapitulasi perolehan suara nasional itu, tidak membatalkan penetapan perolehan suara nasional dan penetapan Presiden dan Wapres terpilih.

“Tidak ada implikasi hukum, justru Prabowo memberikan anugerah kepada pasangan Jokowi-JK dengan pernyataan menarik diri itu,” kata pakar hukum tata negara Said Isra dalam wawancara dengan stasiun televisi swasta.

Sementara Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta Jawahir Thontowi mengatakan secara demokrasi prosedural, KPU, Bawaslu dan institusi pemerintahan dari tingkat pusat dan daerah telah melaksanakan tugas menyelenggarakan Pilpres dengan jujur, rahasia, dan berkeadilan dengan dilandaskan pada asas keterbukaan, kinerja terukur, keseimbangan dan keadilan, dan bertanggung jawab.

Terima kasih

Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputeri mengucapkan terima kasih kepada KPU dan seluruh rakyat Indonesia.

“KPU sudah bekerja dengan baik melakukan rekapitulasi suara pemilu presiden dan akan segera menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu presiden 2014,” kata Megawati Soekarnoputri yang menjabat Presiden RI pada 2001-2004. 

Calon Presiden pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 itu mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk melupakan persaingan yang telah berlalu dan saatnya untuk bersatu guna membangun bangsa dan negara Indonesia.

“Segala sesuatu yang terjadi selama proses pemilu presiden agar segera diakhiri dan segera bersatu kembali sebagai bangsa Indonesia yang utuh,” katanya.

Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar yang juga pengukung Prabowo-Hatta menyatakan bahwa siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih adalah pemimpin bersama seluruh rakyat Indonesia.

“Yang jelas presiden terpilih ini adalah presiden kita bersama,” kata Deddy di Gedung Sate, Bandung. 

Ia menuturkan, hasil pilpres yang diputuskan oleh lembaga resmi yakni KPU harus diterima oleh semua pihak.

Menurut dia, proses demokrasi merupakan ibadah, dan hasilnya pemimpin yang terpilih merupakan pilihan yang terbaik bagi bangsa Indonesia.

“Proses pemilihan demokrasi itu ibadah,” kata aktor dan sutradara itu.

Menurut dia, pemimpin Indonesia ke tujuh sudah tertulis dalam takdir Tuhan sedangkan manusia hanya dapat berikhtiar untuk meraih menjadi pemimpin.

Cara meraih jabatan presiden itu, kata dia, ada yang dengan kebaikan atau cara yang salah.

“Ini yang menghasilkan amal atau dosa, ikhtiarnya dengan cara tidak baik itu kan dosa, kalau dengan kebaikan itu berkah,” kata Deddy.

Sementara Gubernur Sumsel Alex Noerdin yang juga pendukung Prabowo-Hatta mengatakan, presiden terpilih harus didukung bersama apalagi itu sesuai keputusan KPU, jadi semua harus mendukung dan pemenang Pemilu Presiden harus dihormati. 

“Mari bersama-sama menciptakan suasana nyaman dan tertib seperti yang telah terjalin sekarang ini. Hal ini karena tugas besar dalam pembangunan dimasa mendatang berjalan lancar,” kata Alex Noerdin yang pernah kalah dari Jokowi saat bersaing dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2012 lalu.

Selamat datang Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

(B009/A011)

Editor: Ruslan Burhani

Sumber: http://www.antaranews.com/berita/445326/selamat-datang-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih

Selasa, 22 Juli 2014 22:34 WIB Oleh Budi Setiawanto

Presiden Terima 14 Nama Calon Komisioner KY

JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima 14 nama calon komisioner Komisi Yudisial dari Panitia Seleksi Komisi Yudisial di kantor presiden. Kamis (23/9). Selanjutnya, Presiden akan menyerahkan nama-nama calon pilihannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sebanyak 14 nama itu diperoleh melalui beberapa seleksi dan tahapan. “Perpaduan antara kualitas, integritas, dan rekam jejak,” kata Ketua

Pansel Harkristuti Harkrisnowo bersama anggota pansel lainnya setelah bertemu Presiden. Dia mengatakan, Presiden berpesan agar semua bekerja lebih baik lagi di masa depan.

Keempat belas calon itu adalah Prof Jawahir Thontowi PhD. Dr Suparman Marzuki MSi. Dr Ibrahim LLM, Dr Mangsa Manurung MKn. dan Dr Hermansyah MHum.

Calon lainnya adalah Iman Anshori Saleh MHum, H Abbas Said SH, Dr Taufiqurrohman MH. Prof Dr H Eman Suparman, Dr Hasanuddin MM, Abdul Rear Hadjar MH, Dr JMT Simatupang MH, Dr Jaja Ahmad Jayus Mhum, dan Sumali MH.

m ikhsan s

Source: Click Here

Perlakuan Presiden terhadap Bencana Nias

Pernyataan Presiden tentang gempa di Nias 28 Maret 2005 sebagai bencana lokal menuai kemarahan. Khususnya masyarakat berasal dari Nias. Perkumpulan masyarakat Nias di Jakarta, mahasiswa Nias di Yogyakarta menuding pemerintah telah menganak-tirikan korban bencana Nias. Klaim tersebut sukar ditenggarai ketika di lapangan pertolongan dan evakuasi yang terlambat. Banyaknya korban yang belum menerima bantuan, makanan, minuman, dan obat-obatan.

Selain itu, partisipasi masyarakat dan kehadiran relawan di Nias tidak sebanyak saat terjadi bencana tsunami di Aceh. Pertanyaan pun timbul di kalangan masyarakat apakah perlakuan yang berbeda berkaitan dengan terkurasnya biaya untuk korban Aceh? Ataukah banyaknya perhatian pada masyarakat Aceh disebabkan karena daerah tersebut memiliki sumber daya alam yang luar biasa?.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menengarai kontradiksi ada tidaknya diskriminasi penanganan bencana, lebih dari itu akan diarahkan pada upaya melihat tanggung jawab negara dalam penanggulangan bencana.

Benarkah pernyataan Presiden tentang penanggulangan bencana di Nias diskriminatif? Bilamana kita memperhatikan solidaritas, dan kesetiakawanan pemerintah terhadap bencana Nias masih dalam batas kewajaran. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, dan beberapa menteri datang pada hari kedua. Bahkan Presiden telah mengundurkan kunjungan ke Australia untuk menjenguk korban di Nias terlebih dahulu.

Tidak dapat disangkal jika perhatian dan solidaritas kemanusiaan ke Nias memang dirasakan kurang. Seruan Presiden kepada masyarakat Indonesia untuk menaikkan bendera setengah tiang selama tiga hari berturut-turut terhadap bencana Aceh jelas menunjukkan ketidakseimbangan perlakuan. Kesan adanya perbedaan perlakuan tersebut bukan disebabkan oleh kondisi subjektif semata, namun juga karena belum adanya peraturan hukum mengenai penanganan bencana yang memadai. Belum terformulasikan penanganan bencana dalam Undang-undang berakibat pernyataan resmi Presiden dapat dipertanyakan.

Dari segi solidaritas jika bencana tsunami pada 26 Desember 2004 di Aceh dan Nias mengundang perhatian solidaritas yang besar dari relawan asing dan domestk, hal ini dapat dimaklumi. Banyak negara yang juga terkena dampak tsunami India, Srilanka, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Aceh tergolong terparah bila dibanding dengan beberapa tempat di negara lain. Korban meninggal dan hilang kurang lebih 400 ribu, 650 ribu pengungsi, dan ratusan ribu gedung dan perumahan hancur. Situasi inilah yang menggerakkan masyarakat internasional memberikan solidaritas dan empati yang luar biasa pula.

Beberapa kepala negara anggota Dewan keamanan PBB berkunjung, Sekretaris Jendral PBB Kofie Annan dan juga Presiden AS George Bush dan keempat mantan Presiden AS seperti Jimmy Carter, Bill Clinton, George Bush Sr. Turut hadir meninjau situasi Aceh khususnya kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Sehingga tidak salah sekiranya Presiden menetapkan sebagai bencana nasional.

Dari berbagai pertemuan multilateral, negara-negara donor baik Eropa, AS, dan negara-negara di Asia seperti Jepang, Korea, dan China juga turut ambil bagian. Pertemuan bersifat internasional dimaksudkan untuk menggalang dana bagi negara-negara yang terkena bencana tsunami. Beberapa pertemuan tersebut termasuk adanya resolusi yang dibuat oleh PBB di New York dilanjutkan dengan Tsunami Meeting Forum yang diselenggarakan di Jakarta. Pada pertemuan tersebut selain dimaksudkan untuk menentukan negara-negara donor yang siap berkontribusi juga penentuan alokasi dana bagi setiap negara yang terkena bencana.

Penentuan Skala Bencana

Penentuan kategori bencana lokal dan nasional oleh Presiden tanpa parameter yuridis sukup lemah. Pemerintah dituntut membuat kebijakan seperti itu dimaksudkan untuk keperluan memanajemen penanggulangan bencana. Misalnya, kapan sistem peringatan dini diterapkan – evakuasi dan pertolongan darurat harus dilakukan. Komitmen pemerintah terhadap bencana baik di Aceh maupun di Nias harus ditunjukkan dengan tanggung jawab tinggi dalam menyelamatkan korban dan membangun kesejahteraan masyarakat.

Tidak berlebihan bilamana Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas-BP), terdiri dari Menteri Koordinator kesejahteraan Rakyat, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, PU, dan Wakil Presiden telah berpindah kantor ke Banda Aceh selama tiga bulan. Keterlibatan mereka dalam penanggulangan dan penanganan situasi darurat selama tiga bulan memang beban berat yang dipikul pemerintah akibat gempa dan tsunami begitu dahsyat, namun tidak tepat juga jika pemerintah pusat terlalu dominan dalam mencampuri urusan daerah.

Dalam spirit otonomi daerah urusan penanggulangan bencana gempa, evakuasi dan tanggap darurat di Nias diserahkan pada Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) di tingkat provinsi. Gubernur beserta para bupati dan rakyat Nias-lah yang lebih memahami corak kehidupannya.

Berbagai hambatan lapangan seperti infrastruktur dan fasilitas transportasi yang terbatas berakibat penyaluran bantuan kemanusiaan tersendat. Jatuhnya helikopter Australia disertai tewasnya sembialan awak, salah satu sebabnya karena ketidaklayakan fasilitas yang tersedia, karena itu esensi lebih utama dituntut dari pemerintah yaitu terkait tanggung jawab terhadap korban bencana.

Kesadaran Relawan

Mengapa dalam bencana Nias, negara-negara lain tidak mengambil bagian dalam bantuan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan oleh negara-negara belum menjadi norma hukum yang memaksa berakibat derajat kesadaran relawan sangat beraneka ragam. Apalagi campur tangan urusan dalam negeri dalam bantuan kemanusiaan juga dapat dituding intervensi. Dilema bantuan kemanusiaan timbul sering dihadapkan pada persoalan kedaulatan negara dan harga diri masyarakat. Sehingga mekanisme bantuan mestinya dapat dilakukan secara cepat tidak tercapai.

Sejak tahun 1984-an, PBB telah membuat suatu draft konvensi penanggulangan bencana, dilengkapi dengan Kantor Pengendalian dan Pengurangan Akibat Bencana (United Nations for reduction Organization Office). Sayangnya, draft konvensi tersebut sampai saat ini belum menjadi kesepakatan internasional, sehingga kebijakan multi lateral untuk memberikan bantuan dana, seperti pinjaman lunak, dan bantuan hibah (grant) merupakan partisipasi yang belum memadai sehingga tidak jarang jika sifat bantuan tersebut bersifat belas kasihan (Charity Act) dan mengandung utang budi bagi negara donor.

Dengan demikian, sikap pemerintah RI yang terkesan menganak-tirikan bencana Nias benar adanya, sebab kebijakan pemerintah yang menyatukan master plan antara Aceh dengan Nias jelas bertentangan dengan realitas yang ada. Konsep Bappenas menyatukan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Nanggroe Aceh Darrusalam dan Nias, Sumatera Utara adalah bukti yang terlupakan oleh masyarakat.

Dengan demikian, penentuan memang diperlukan dalam kaitannya dengan tahapan-tahapan penanggulangan bencana. Adapun perlakuan pemerintah dan juga relawan kemanusiaan mengalami penurunan perhatian tidak dapat ditafsirkan bahwa pemerintah menganak-tirikan Nias. Kedepan, kesan demikian akan berangsur-angsur hilang jika kebijakan pemerintah tentang skala bencana didukung oleh undang-undang yang legitimit.

Penulis ; Jawahir Thontowi, SH., Ph.D.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta.

*************

CALON PRESIDEN PEDULI TERORISME

Genderang ‘perang’ para calon presiden telah berlangsung. Begitu banyak nama muncul. Selain incumbent Presiden SBY. Jusuf Kalla juga telah muncul nama Megawati, Prabowo Subianto, Wiranto, Sutiyoso, Sri Sultan Hamengku Buwono X, belum lagi nama lain yang akan muncul kelak.
Terlepas dari kesamaan dan perbedaan latar belakang capres, ada harapan tinggi masyarakat terhadap terselenggarannya stabilitas politik dan keamanan umat manusia (human security approach). Sebagian masyarakat Indonesia mengakui, peran Presiden SBY mampu memelihara kondisi keamanan lebih kondusif tanpa kebijakan negara yang represif dan intimidatif. Sebagian masyarakat menduga, kemampuan menekan timbulnya kejahatan terorisme tentu tak lepas dari latar belakang TNI.
Lepas dari latar belakang itu, siapapun pemimpin bangsa harus selalu waspada akan bahaya terorisme. Pertama, capres harus memiliki keberanian memelihara integritas diri sebagai negara berdaulat dalam pemberantasan kejahatan teroris. Pemberlakuan UU No.15/2003 tentang Tindak Pidana Teorisme, cukup efektif di Indonesia. Jaminan kepastian hukum bukan sekedar adanya UU tersebut dengan aparat penegak hukum khususnya Densos 88, Tim Anti-Teroris terdiri dari Polri dan TNI.
Lebih dari itu, pemerintah Indonesia mampu menepis campur tangan negara lain. Sehingga Densos 88 dalam memberantas kejahatan terorisme tidak memerlukan hadirnya UU Keamanan Dalam Negeri (internal security act).
Sebagaimana halnya kondisi penegakan hukum terorisme di Malaysia, Singapura dan juga Amerika Serikat. Penolakan terhadap UU keamanan dalam negeri terjadi ketika itu dikhawatirkan timbulnya kembali kekuasaan represif terhadap warga negara.
Pada era presiden SBY, tanpa UU Keamanan Dalam Negeri, kehandalan aparat penegak hukum dan Densos 88 telah berdampak positif. Secara berkesinambungan, aparat keamanan dan penegak hukum mampu menangkap dan memenjarakan teroris. Juga menekan ruang gerak teroris di berbagai daerah lebih sempit. Sehingga suasana keamanan dan ketertiban secara nasional berangsur-angsur menjadi lebih baik.
Kedua, kepedulian capres terhadap bahaya teroris adalah melakukan peningkatan monitoring dan evaluasi berkelanjutan. Terutama terhadap ruang ketidakadilan yang menjadi akar dasar timbulnya kekerasan terorisme yang dipergunakan oleh sebagian masyarakat yang merasa tertindas. Memikirkan agenda strategis tidak hanya mengendalikan fungsi penegakannya (law end-forcement). Tetapi penting untuk melihat pendekatan kultural. Praktek dan tradisi penggunaan kekerasan yang tidak sejalan dengan kerangka kehidupan masyarakat modern perlu diantisipasi.
Lahirnya perjanjian masyarakat (social contract) sebagai peraturan hukum tertulis dalam masyarakat modern, juga berangkat dari asumsi ”kehidupan manusia ibarat srigala yang saling menerkam (hommo homuni lupus)”. Karena itu, bukan sesuatu yang aneh jika penggunaan kekerasan masih dijumpai dalam tradisi lokal Indonesia. Praktek tradisi Carok di Madura, tradisi ”Siri”, atau mengembalikan harga diri (appaenteng siri) di Sulawesi Selatan atau tumpes kelor, dalam tradisi Jawa masih berlangsung sebagai motif mempertahankan harga diri.
Dalam konteks lebih luas, pertahanan harga diri bangsa melalui peperangan merupakan bentuk pengggunaan kekerasan yang legitimit. Seperti Afganistan dan Irak, atas nama harga diri dan martabat bangsa, mereka tidak mau patuh pada hukum internasional. Perintah untuk menyerahkan Osama bin Laden pelaku teroris ditolaknya. Mereka memilih, kehancuran fisik dan kultural dengan menghadapi agresi militer DK PBB daripada mengorbankan harga diri bangsa untuk diperlakukan tidak adil bangsa lain.
Ketiga, capres-capres perlu meningkatkan perlakuan seksama karena pelaku-pelaku teroris benar-benar semula nir-kriminal. Fakta menunjukkan bahwa Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra, yang telah dieksekusi mati, pelaku teoris tidak pernah dijumpai melakukan pencurian, pembunuhan, pemalsuan, pemerkosaan dan perampokan (ordinary crime). Mereka justru orang-orang idiologis sangat kuat dan patuh pada ajaran-ajaran agamanya.
Akan tetapi, dalam mereka dijumpai menutup diri dari kelaziman masyarakat. Pemikiran dan sikap yang sempit, nekat dan gila (crazy), kurang rasa kemanusiaan (uncivilized) dan sangat tidak masuk akal. Tempat keramaian, kantor pemerintahan/kedutaan asing, pusat perbelanjaan (public place or government office/diplomatict aganecies) menjadi target sasaran. Berapa korban harta kekayaan seperti gedung dan korban bisa pelaku (suicide bombing) dan orang-orang biasa tidak berdosa tanpa ada perasaan iba dan kasihan.
Namun, target teroris acapkali dikaitkan dengan status sosial ekonomi pelaku tak menentu, struktur sosial kepemimpinan paternalistik merupakan fakta-fakta dugaan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia dan Israel sebagai penyebab ketidakadilan dunia dapat dipahami, jika mereka dengan mudah terkilir pemikiran dan perbuatannya menjadi a-moral dan a-susila. Ini mengisyaratkan capres RI 2009 waspada dan bijak dalam mengadapi bahaya laten kejahatan teroris.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., PHD
Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************