Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI: Sama Dalam Hak dan Kewajiban

JOGJA — Sosialisasi UU Kewarganegaraan RI yang digelar Institut Kewarganegaraan Indonesia, Sabtu (12/8) sore di Grand Pacific lalu mendapat sambutan antusias dari masyarakat Tionghoa di Jogja. Tidak kurang 1200 warga hadir dalam sosialisasi tersebut. Demikian pula diskusi untuk menjaring kritik dan masukan atas UU Kewarganegaraan 2006 yang digelar Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) DIY malam harinya di Restoran Pacific berlangsung dalam suasana dialog yang sejuk.

Sosialisasi yang digelar Institut Kewarganegaraan Indonesia menampilkan Drs H Slamet Effendy Yusuf MSc (DPR RI), Murdaya Widyawimarta Poo (DPR RI), Dr Benny Kabur Harman (DPR RI), Anak Agung Oka Mahendra SH (Dephukham RI), Drs H Lukman Hakim Saifuddin (DPR RI), Hadi Surya (DPR RI), Olbert Lyman (DPR RI).      Selaku Ketua Pansus RUU Kewarganegaraan RI Drs H Slamet Effendy Yusuf MSc dari DPR RI menegaskan UU 12/2006 ini tidak mengenal diskriminasi. “Sudah 61 tahun kita dibagi dan dipecah-pecah agar tidak menjadi bangsa yang besar, UU 12/2006 mengandung semangat kemerdekaan RI, setiap warga negara adalah sama tidak membedakan, suku, ras, agama,” paparnya.

Slamet, Benny, Oka Mahendra SH, H Lukman Hakim Saifuddin (DPR RI) berharap dengan semangat UU 12/2006 yang menolak diskriminasi, warga Tionghoa yang telah menjadi WNI akan semakin cinta tanah air. “Hak tentu saja disertai dengan kewajiban, WNI Keturunan diharapkan bisa menyumbangkan bagi bangsa dan tanah air Indonesia,” katanya

Murdaya Widyawimarta Poo mengatakan dengan sosialisi UU 12/2006 di Jogja diharapkan pelaksanaan di daerah tidak melanggar UU Kewarganegaraan dan bisa berjalan harmonis  sebagai elemen bangsa Indonesia. “UU Kewarganegaraan ini memang kita susun dengan semangat persatuan dan kesatuan, dengan asas non diskriminatif,” jelasnya.

Sedangkan Hadi Surya dan Olbert Lyman, maupun Moerdaya, anggota DPR yang juga pengusaha keturunan Tionghoa ini mengatakan bahwa sebagai WNI keturunan mereka sudah merasa benar-benar sebagai bangsa Indonesia. Dengan kemampuan yang mereka miliki sebagai pengusaha mereka telah membuka lowongan pekerjaan masing-masing membawahi lebih dari 50.000 karyawan dengan tidak membedakan suku, ras, agama saat merekrut tenaga kerja.

Dalam sosialisasi ini mengemuka juga, suasana diskriminasi di Jogja di mana warga Tionghoa tidak bisa memiliki hak milik atas tanah, dipersulit dalam kepengurusan paspor, akta lahir berbeda. “Dengan UU Kewarganegaraan 12/2006 ini kita berharap warga Tionghoa selain tidak didiskriminasi, juga mendapat perlakuan yang sama di depan hukum,” ujar seorang peserta sosialisasi.

Sementara diskusi yang digelar INTI Pengda DIY menampilkan narasumber Prof DR DRA MG Endang Sumiarni SH M Hum (INTI), Dr Jawahir Thantowi SH LLm (FH UII), B Hestu Cipto Handoyo SH MHum (FH UAJY), Thomas Santoso SH (Notaris & PPAT) dengan moderator  OJB Ohim Sindudisastra SH MHum. Diskusi berlangsung dalam suasana sejuk dan dialogis.

“Lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru ini merupakan terobosan yang progresif dan konstruktif namun tidak secara otomatis dapat diterapkan secara konsisten jika tidak dilengkapi dengan instrumen hukum seperti peraturan pemerintah dan sumber daya manusia dan kesadaran masyarakat secara luas maka pendampingan, pengawalan atas pemberlakuan UU ini mutlak dilakukan,” tegas Jawahir Thontowi.

Endang Sumiarni mengatakan pengesahan UU Kewarganegaraan ini revolusioner dan ditanggapi penuh optimisme seera rasa suka cita berkenaan dengan berbagai persoalan seperti perkawinan campuran, diskriminasi atas etnis Tionghoa, persamaan jender, serta kewarganegaraan anak. “Implikasi UU Kewrganegaraan 2006 adalah dampak terhadap peraturan perundang-undangan yang masih diskriminasi di segala bidang seyogyanya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” tegasnya.

Sedangkan B Hestu Cipto Handoyo mengatakan  UU Kewarganegaraan ini sudah menghapus banyak diskriminasi, walau belum semuanya. “Sekarang tinggal melihat diskriminasi yang tersisa. Sebagai manusia yang hidup bermasyarakat dan bernegara harus terus belajar, yang penting adalah belajar menghilangkan stigma pribumi dan non pribumi. Belajar untuk tidak saling curiga,” katanya. (vin)

Sumber: Berita Nasional – http://www.bernas.co.id

Sumber: Click Here

Leave a comment