PEMEKARAN BELUM MENSEJAHTERAKAN MASYARAKAT

Pemekaran daerah berlangsung sejak tahun 1999 bagaikan cendawan di musim hujan. Tiga pintu inisiatif pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah dapat dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri (Pemerintah), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tidak kurang dari 179 daerah terbentuk yang terdiri dari 7 provinsi, dan 31 kota, dan 141 kabupaten. Memasuki tahun 2008 tidak kurang dari 15 RUU pembentukan daerah baru diusulkan pemerintah (Kompas, 30 Januari 2008, 26 Februari 2008, Hal:2,3).

Semula tujuan utama pemekaran yaitu terselenggaranyua kesejahteraan dan kemakmuran secara sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa Negara menjamin keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Hak ini sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak  Ekonomi, Sosial, dan Budaya sebagaimana diatur dalam UU No 11 tahun 2005, dan UU No 12 tahun 2005 Kovenan InternasionalTentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Namun, tujuan pemekaran ini belum tercapai. Kecurigaan utama bahwa pemekaran daerah dinilai masyarakat sebagai komoditas yang menguntungkan elit politik tertentu tidaklah dapat disembunyikan. Hasil  survey Kompas 11 Februari 2008: 5, data 1034, sekitar 60,5 membenarkan kecurigaan ini. Responden mengaku belum banyak manfaat yang dirasakan masyarakat dari pemekaran. Karena itu gelombang pemekaran daerah yang hanya menguntungkan elit tertentu dan tidak membuat rentang pelayanan pada masyarakat menjadi lebih dekat dan karena itu grand strategy yang lebih tepat sangat diperlukan.[1]

Usulan penundaan (moratorium) oleh wakil ketua DPD RI. Laode Ida, telah mendapatkan tanggapan serius pemerintah. Namun, pemerintahan tetap mengusung RUU pemekaran telah disampaikan pada DPR (Kompas, 26 Februari 2008 Hal 3). Suatu langkah berani diambil oleh pemerintahan SBY untuk kepentingan politik lokal.

Untuk melihat kontroversi isi pemekaran dapat ditinjau dari segi hukum dan budaya. Pendekatan hukum atas judicial approach menjadi sangat penting dipergunakan ketika instrumen hukum dijadikan alat perubahan untuk mencapai sasaran. Persoalan ketimpangan tersebut dapat dijelaskan dari segi apakah peraturan pemerintah tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah telah berkesesuaian dengan amanah konstitusi dan UU.

Sedangkan pendekatan budaya dimaknai sebagai suatu pendekatan dengan menggunakan sumber materiel di luar norma hukum, seperti system nilai, keyakinan dan kepercayaan, adat istiadat, opini dan persepsi masyarakat, dan juga praktek sehari-hari masyarakat. Bahkan budaya hukum dapat menjadi faktor pendorong atau penghambat implementasi peratukan hukum dalam kehidupan masyarakat. Apakah peraturan hukum terkait dengan pembentukan melalui pemekaran dan penggabungan daerah tersebut telah berkesesuaian dengan baju hukum Peraturan Pemerintah ?

Perlu UU bukan PP

Jika asumsi Pembentukan Daerah, melalui prosedur pemekaran dan penggabungan  dipandang sebagai masalah teknis, tidaklah keliru jika pemerintah sejak tahun 1999 menggunakan instrumen hukum Peraturan Pemerintah.  Misalnya, PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Di dalam PP tersebut  hanya membuat VI Bab dan terdiri dari 18 pasal. Dipandang dari segi arti dan fungsi, PP adalah merupakan terjemahan rinci dari UU No 22/1999 belum memadai terkait dengan pelaksanaan Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan, terkait tatacara atau prosedur teknis.

Dalam PP ini dengan jelas disebutkan tujuan pemekaran (BAB II, pasal 2)  yaitu peningkatan pelayanan pada masyarakat, percepataan pertumbuhan kehidupan demokrasi. Percepatan pelaksana pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban, dan peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah. Dari segi teknis legal drafting, muatan materi ini lebih berkesesuaian sebagai muatan materi UU. Masalah wilayah, penduduk, pemerintahan dan potensi kemampuan daerah untuk melaksanakan pemerintahan secara otonom merupakan persoalan fundamental UU. Karena itu, PP ini menjadi tidak konsisten ketika menyebutkan tujuannya yang sifatnya umum dan abstrak padahal yang dituntut PP harusnya norma konkrit dan rinci.

Kedua, syarat-syarat sebagaimana tersebut dalam pasal 4, 5, 6, 7 dan 8 dari UU No 32/2004 tentang Otonomi Daerah telah dijabarkan dalam PP BAB III dari pasal 3 sd pasal 12.  Dalam teori konstitusi, Robert Siedman, menegaskan bahwa aturan hukum yang ditransfer aneka ragam cenderung disalahgunakan (abuse of power). Misalnya, pasal 3 PP/129/2000, daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

Dalam situasi inilah, penyalahgunaan kewenangan pemerintah begitu terbuka dan pengawasan oleh legislatif tidak dapat dilakukan sejajar dengan diskresi, kebijakan pemerintah (government discretion). Sebab, PP sebagai terjemahan dari UU lebih merupakan kebijakan pemerintah di luar produk hukum legislatif. Sehingga peluang interpretasi bukan saja tampak terbuka juga dapat menyulitkan pihak parlemen, DPR melakukan pengawasan. Ketika Depdagri, DPR dan DPD RI sama-sama memiliki hak mengusulkan pemekaran daerah maka fungsi pengawasan DPR jelas akan mandul.

Faktanya Presiden SBY melalui Departemen Dalam Negeri tetap mengajukan  15 RUU pemekaran ke DPR untuk dibahas pada tahun 2008 meskipun belum masuk Program Legislasi Nasional. Kehadiran PP tersebut sesungguhnya merupakan kesepakatan tersembunyi (silent agreement) untuk ketiga lembaga memperoleh pembenaran hukum.

Jika hal ini, dikembalikan ke dalam status peraturan hukum, baik sebagai UU maupun PP, maka lembaga DPR dan DPD sesungguhnya dilema karena dari segi aturan hukum ketiga institusi memiliki hak yang sama dalam konteks pemekaran. Sehingga semua pihak (Presiden, DPR, DPD) harus mematuhi dan menghormati kesepakatan atau Pacta Sunt Servanda. Oleh karena itu, meskipun BAB IV, menyediakan autran tehnis parameter, prosedur dengan Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan, boleh jadi pemerintah tidak pernah melakukan penghapusan daerah. Justru yang terjadi pembentukan dan pemekaran sebab kepentingan politik bagi elit jauh lebih menguntungkan.

Ketiga, pembentukan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memang telah berkesesuaian dengan amanah UU 22/1999, juncto 32/2004. Namun, status, tugas dan fungsi serta kemandiriannya tidaknya batas dari kepentingan tertentu. Putusan awal untuk menerima atau menolak usulan pemekaran, penghapusan dan pembentukan terletak pada Depdagri, atas saran dan usul tertulis dari anggota-anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tentu saja, atas usulan Depdagri sesuai syarat-syarat dan prosedur formal dan materiel, akan menjadi bahan pertimbangan Presiden untuk kemudian diajukan kepada DPR.

Keempat, PP No 129/2000 menjadi tidak terkendali  efektif ketika proses seleksi dan pengujian antara keharusan normatif sebagaimana diatur UU tidak memiliki parameter terukut. Sebab, selama penerapan pemekaran, penghapusan dan penggabungan tidak disertai oleh standar evaluasi. Sebab, adanya PP No 6 tahun 2008, Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, baru  lahir sejak dilakukan perubahan  atas PP No 129/2000, menjadi PP 78 tahun 2007, tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah belum berfungsi efektif.

Apakah  keberadaan dan legitimasi PP  No 78/2007  dapat dipandang lebih efektif dalam mengerem  gelombang usulan pemekaran dan pembentukan daerah baru?  Tentu saja PP ini dapat diuji validitasnya di lapangan oleh karena belum dapat diterapkan mengingat waktu yang terlalu pendek. Bilamana dibandingkan dengan PP yang lama, maka kelebihannya adalah selain lebih lengkap dan juga dalam persyaratan pembentukan lebih berat. Misalnya, pembentukan Propinsi menjadi 5 kabupaten, pembentukan kabupaten harus 5 kecamatan, pembentukan kota 4 kecamatan (pasal 8). Bab VI tentang Pembinaan pasal 24 bagian yang lebih lengkap. Sehingga PP baru terdiri dari IX BAB, dan 37 Pasal terbaca merupakan I’tikad baik peningkatan pemerintah termasuk adanya keharusan pembinaan dari pemerintah induk.

Dengan demikian, PP lama maupun yang baru sesungguhnya masih menyisakan permasalahan mendasar terutama dalam tiga hal: kontaminasi obyek atau muatan materi UU  bercampur baur antara norma umum abstrak atau overlapping dengan isi PP, PP tersebut lebih dominant berfungsi bukan sebagai terjemahan UU, tetapi lebih merupakan kesepakatan tersembunyi (silent agreement) yang sama-sama dapat dipergunakan sebagai instrument bersama mencapai tujuan elit dan bukan kepentingan rakyat. Termasuk, keberadaan DPD yang lebih merupakan kepanjangan dari kekuasaan Presiden bukti nyata pemerintah berkuasa lebih memiliki peluang untuk melakukan pemekaran daerah ketimbang DPR dan DPD.

Pendekatan Budaya Hukum

Pada umumnya actor-aktor pembentuk UU tidak menyadari bahwa peraturan hukum dibentuk dikodifikasikan terlepas dari spirit sejarah (spirit of history). Kali ini semangat otonomi daerah, peraturan-peraturan hukum lokal itupun bermunculan (local law), yang dibentuk melalui proses administrasi hukum modern yang legitmit dalam proses legislasi daerah.

Dalam konteks inilah kemudian melihat instrument hukum pemekaran dan pembentukan daerah, perlu ada aspek lain selain pendekatan juridis. Pendekatan non-juridis atau budaya hukum akan diorientasikan melalui analisis terhadap aspek-aspek wilayah (territory), penduduk yang tetap (permanent population), pemerintahan yang stabil (stable government), dan kemampuan unutk melakukan hubungan ke dalam dan keluar.

Dari pendekatan budaya hukum, penempatan wilayah sebagai bagian dari PP tidak tepat wilayah terdiri dari tanah, air, dan udara dalam pandangan adat, merupakan kesatuan kornologis. Sehingga, jika tidak hati-hati, justru aturan hukum memisahkan penduduk akan berakibat fatal. Sebab, tanah dan air dalam pandangan masyarakat adat sebagai budaya suci atau magis religius. Tanah dan air tempat darimana asal usul kehidupan berawal. Sehingga hampir di semua tradisi, masyarakat tidak segan-segan untuk bertikai dan mengalirkan darah akibat sengketa tanah. Sedumuk watuk senyai bumi lan darah taruhane.

Pertimbangan tanah atau wilayah selain sumber ekonomi atau sumber kehidupan tetapi juga seumber konflik manakala tanah-tanah yang mereka duduki tersebut, mengandung Sumber Daya Alam, yang memberikan harapan. Situasi budaya atau kepercayaan ini sangat relevan dengan adanya jaminan terhadap eksistensi pasal 33 UUD 1945 dalam hal Negara mengatur dan mengendalikan hajat hidup manusia.

Aspek pendekatan budaya hukum menjadi relevan untuk dipertimbangkan, mengingat penduduk adalah subjek pembangunan. Dalam pendekatan antropologi budaya, manusia adalah sumber utama yang tidak dapat dikesampingkan. Ketika pembuat UU inilah dana dat istiadat yang telah berlangsung lama diyakini kebenarannya, pemekaran daerah yang menjadi sumber sengekta kemanusiaan. Bencana kemanusiaan akibat pemekaran seperti di Sulawesi Barat adalah bukti kelalaian actor pembuat hukum untuk mempertimbangkan aspek keterbatasan.

Kasus sengketa wilayah perbatasan di Maluku Tengah dengan Seram Bagian Barat membuat hubungan harmonis antara penduduk di Kecamatan Elpa Putih. Hal ini timbul sebagai akibat dari lahirnya UU No 40 tahun 2003 tentang pemekaran Seram Bagian Barat di Seram Bagian Utara dan Maluku Tengah. Salah satu kelemahan yang dijumpai dalam UU ini adalah adanya inkonsistensi antara pasal batang tubuh pasal 7 ayat 2 dengan lampiran 2 peta perbatasan kedua wilayah yang mengandung ketidakpastian.

Terputusnya wilayah mereka dengan adanya pembentukan dan pemekaran daerah juga dapat berarti pemutusan hubungan kekerabatan, suku dan kerabat juga alokasi anggaran daerah di kabupaten induk Maluku Tengah menjadi berkurang. Oleh sebab itu, ke depan system kekerabatan, kesukuan tidak dapat dipandang enteng dalam proses pembuatan aturan melalui PP  tetapi mestinya menggunakan UU.

Penutup

Upaya pemerintah dalam merealisasikan pemekaran di daerah syah awal prosesnya memang diakui sebagai goodwill meningkatkan kesejahteraan social dan ekonomi rakyat. Namun, karena kelemahan peraturan hukum PP 129/2000 dan perubahannya memang cukup kompleks overloping banyak ruang kosong PP membuat menyalahgunaan kewenangan terbuka. Akhirnya, elit-elit politik local memang berhasil menduduki posisi tertentu. Masyarakat bukan saja belum memperoleh kesejahteraan sebagaimana diinginkan. Tetapi, justru konflik-konflik kekerabatan terus menuai nestapa social dalam masyarakat lokal yang belum terjawab solusinya.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************


[1] Lihat Arief Roesman Effendi,Summary Report. Pemekaran Wilayahn kabupaten/Kota. USAID from The America People. DrSP (Democrative Reform Support Program) Tanpa Tahun, Hal 8

PILIH BOEDIONO KORBANKAN KOALISI

Koalisi merupakan tradisi politik antara parpol yang memiliki kesamaan visi atau platform, dan program yang saling mendukung  dan membagi kekuasaan (power sharing) antara parpol pemenang pemilu.  Meski peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara rinci, tidak berarti kebiasaan parpol berkoalisi terbebas aturan hukum. Norma-norma kesopanan dan kode etika berpolitik  nilai-nilai moralitas lainnya sangat penting dijadikan rujukan berkoalisi.

Sejak pencontrengan pemilu legislatif  dilakukan dan perhitungan cepat, Quick Count lembaga survey 19 April, terlihat jelas parpol mana yang keluar menjadi pemenang. Faktanya dengan jelas posisi tawar Partai Demokrat (PD) memperoleh  jumlah suara terbanyak (di atas 21 %), Golkar pemenang peringkat dua (15%) dan PDI-P (14%) pemenang peringkat ketiga. Sangat disayangkan dalam pemilu kali ini terdapat  43 juta  WNI tidak menggunakan hak politiknya suatu pengabaian terhadap Kovenan Internasional  tentang hak-hak sipil dan politik.

Kemenangan suara terbanyak tingkat nasional menjadi sangat signifikan bagi PD mengusulkan SBY. Meskipun praktek koalisi parpol bukanlah kewajiban hukum (legal obligation), PD tetap memerlukan  koalisi untuk terciptanya keseimbangan  kekuatan di  DPR dan dalam pemeritahan. Kehadiran kompetitor Kalla-Wiranto, dan Megawati-Prabowo  dalam pilpres kali ini, meniscayakan PD untuk berkoalisi dengan parpol lain.

Itulah sebabnya mengapa koalisi menjadi sangat penting untuk dilakukan  secara terencana dan sistematis. Justru bagi pemikiran kritis, penundaan membuat deklarasi penentuan cawapres mengundang banyak pertanyaan. Secara substantif dalam koalisi tidaklah gampang.  Dalam koalisi terdapat tiga tahapan yang harus dilalui yaitu kesepakatan, kesamaan visi, idiologi, dan platform. Kesepakatan pembagian pos-pos kekuasaan dalam kabinet. Terakhir kesepakatan alokasi sumber daya dan biaya pemenangan pilpres.

Persoalan yang menjadi perdebatan sampai kini adalah  pantas dan tidaknya tindakan SBY tidak mengkomunikasikan beberapa putusan politiknya dengan pihak partai koalisi, seperti  PAN, PBB, PPP, PKB dan khususnya PKS.  Sebagai partai koalisi  dan pendukung setia SBY, mereka merasa praktek koalisi  menuju pada perkawinan parpol tidak terlepas ‘perselingkuhan’.  Peran Hatta Rajasa untuk melakukan melobi PDI-P sepertinya dipandang sebagai  bukti perselingkuhan mengingat koalisi besar parpol akan  menghadang pencalonan SBY dari PD.

Sekalipun, maneuver-manuver elit-elit PD pada parpol non-koalisi  PDI-P benar adanya,  dalam komunikasi politik dipandang tidak  melanggar peraturan hukum. Koalisi atau lobi-lobi untuk menyatukan satu kekuatan  untuk suatu kemenangan bukanlah suatu gentlement agreement mengikat.  Tetapi harus dicegah praktek koalisi sebagai praktek politik dagang sapi, membagi-bagikan kekuasaan untuk kepentingan golongan.

Agar pratek koalisi tidak terjebak pada kerangka pemikiran legalistik formal menyesatkan menjadi penting untuk  memperhatikan  nilai-nilai budaya, dan agama,  kearifan lokal, kepantasan dan keselarasan sebagai wujud budaya adiluhung praktek koalisi.

Pertama, meskipun elit-elit politik dalam berkoalisi bukan merupakan kewajiban hukum,  tidaklah berarti bahwa parpol dapat mengabaikan kewajiban moral dan etika.  Bila selama ini dengan entengnya elit  elit politik  mengatakan bahwa kepastian  adalah ketidak pastian itu sendiri mestinya harus mulai ditinggalkan. Sebab, sikap politik demikian ini  mengindikasikan praktek koalisi menjadi bebas nilai (free value) yang sejatinya  bertentangan dengan dasar idiologis bangsa.

Peran parpol secara politis dan idiologis bertanggung jawab atas kesamaan tujuan bangsa Negara membuktikan bahwa pola berpikir dan bertindak sesungguhnya memihak pada kepentingan mensejahterakan masyarakat. Sikap politik ini juga dijumpai  ketika parpol-parpol Islam melakukan koalisi dengan PD  dan tak satupun ada yang dilirik SBY. Kubu Amien Rais memutuskan Hatta Rajasa sebagai calon wapres dari PAN disandingkan SBY. Juga PAN  mencalonkan Soetrisno Bahir  sebagai cawapres dengan SBY. Sikap ambivalensi juga tergambar ketika, PKS mengusulkan Hidayat Nurwahid, Ketua MPR, Tifatul Sembiring, Presdien PKS.

Meski praktek koalisi parpol tidak persis sama sebagaimana digambarkan di atas, sopan santun berpolitik  (patsoen politic) mengacu pada nilai-nilai moralitas dank kode  diyakini kebenarannya secara lokal dan universal.  Nilai-nilai lokal masyarakat Makasar dan Bugis, satu kata dan perbuatan harus ditegakan dan dilarang  berlaku tidak adil (lempu getteng adat tongeng tamma pasilaineng). Menurut ajaran Al-Qur’an bahwa Tuhan sangat murka pada orang-orang  yang mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan.

Kedua, kegagalan koalisi parpol-parpol berbasis Islam  tampak  semakin jelas terjadi kemerosotan  mendasar dalam kuantitas dan kualitas. Hasil  pemilu legislatif, yang diperoleh parpl-parpol Islam ternyata semakin termarjinakan. Bilaman digabungkan keempat parpol Islam akan tetap tidak memenuhi persyaratan untuk mengajukan calon presiden. Lebih menyakitkan ketika SBY memilih Budiono sebagai calon wakil presiden RI. Logikanya mudah ditebak, kenapa aspirasi kekuatan Islam tidak dipertimbangkan oleh SBY lebih didasarkan kepada obyektifitas SBY. Asas meritocracy, kesederajatan, kompetensi dan profesionalisme jauh lebih diprioritaskan SBY.

Hikmah dibalik putusan tersebut, dapat manjadi pelajaran berharga bagi parpol Islam ke depan. Mengingat kompetensi, indikator kinerja, integritas dan juga tingkat resistensi dari kekuatan  masyarakat sungguh harus menjadi perhatian utama.  Dengan demikian politik identitas, semakin tidak memperoleh tempat signifikan ketika kader-kader parpol Islam belum dapat peluang menjadi aspirator kekuatan politik di tingkat kekuasaan. Pertimbangan seketarianisme tampaknya juga tidak dapat dilupakan terutama ketika figur-figur parpol Islam tampaknya masih belum menjadi Muslim meng-Indonesia. Isu Wahabi dan poligami kerap kali dijadikan argumentasi penolakan aspiratif Islam.

Ketiga, kegagalan koalisi parpol dapat dengan mudah menimbulkan komunikasi politik  intimidatif  ketika putusan tidak mengakomodir isu-isu sennsitif agama, suku, politik aliran dapat dipergunakan sebagai bahan black campaign.  Misalnya, ketika SBY diusulkan sebagai capres  tahun 2004, isu sensitif keagamaan dimunculkan bahwa Ibu Any bukan Muslim.

Upaya mencegat pencalonan SBY-Boediono juga secara diam-diam muncul.  Ia  didiskreditkan sebagai non-Muslim dan jawa sentris merupakan fitnah yang dipergunakan untuk black campaign. Kita tahu persis, pak Boediono  seorang akademisi yang juga birokrat berhasil pada masa pemerintahan Ibu Megawati dan juga SBY. Dalam jajaran akademik, kebetulan saja sealmamater dengan penulis. Beliau studi di Faculty Econmics and Business di the Universty of  Western Australia, tahun 1967-an.  Sedangkan sebagai orang Yogya, beliau  seorang Muslim yang teramat sederhana yang bertetangga dengan Lutfhi Hasan, Ketua badan Wakaf UII. Karena itu, cara-cara  tipu muslihat, memfitnah untuk  dipergunakan sebagai argument menjegal pencalonan SBY-Boediono sangat bertenrangan dengan kaidah moral dan ajaran agama.

Dengan demikian, mari kita sambut dengan tangan terbuka dan penuh kejujuran atas pencalonan  Kalla-Wiranto, Megawati-Prabowo, dan SBY-Boediono dalam pilpres 9 Juli. Dari kepentingan politik identitas, tidak masuknya usulan parpol parpol Islam  dalam cawapres, secara sosiologis tidak memutus  mata rantai kaderisasi elit-elit parpol Islam. Justru koalisi parpol Islam harus tetap dilanjutkan dengan melakukan kontrak politik menteri, peluang besar menjadi capres atau cawapres terbuka lebar. Bukan saja karena pak SBY, sebagai ikon langka PD akan terhenti tahun 2013,  justru siapa saja kader bangsa dan negarawan yang pantas dapat menduduki kursi kepresidenan sebagaimana pak SBY sebagai mantan Menteri dapat mengalahkan Ibu Megawa, sebagai incumbent. Meski praktek koalisi tidak diatur, kepatuhan elit-elit politik di Indonesia wajib tidak saja menjunjung tinggi peraturan hukum, tapi juga nilai-nilai moralitas yang lahir dan terpuji. Selamat pengikuti Pilpres.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************

RESHUFFLE VERSUS KABINET RESOLVABLE

Secara teologis, menteri-menteri yang tidak terpakai lagi mestinya mengucapkan syukur alhamdulillah atas tugas yang telah diembannya Sebaliknya mereka yang terpilih menjadi menteri untuk salah satu departemen selain bersyukur, dalam waktu yang sama pula mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Jabatan merupakan musibah atau ujian bilamana tidak dilaksanakan secara baik, benar dan adil. Bencana sekalipun tidak dapat dicegah jika penempatannya tidak berdasarkan kompetensi, keahlian dan kemahiran.

Karena itu, bagi menteri-menteri yang terpilih, peganglah amanat dan janji sebaik mungkin, agar hasil pergantian jabatan (reshuffle) di tengah jalan dapat memberikan jalan keluar (resolvable) yang memihak kepentingan bangsa. Tidak terkecuali rasa penghormatan kepada Presiden SBY dan wakilnya yang telah berani melakukan tindakan reshuffle meski belum tentu resolvable.

Problematika yang dihadapi pada masa lalu, sejatinya bukan sekedar orang (person) yang menjabat dalam suatu departemen. Tetapi, lebih ditentukan oleh desain besar sistem KIB yang dalam penentuan menteri diintervensi partai politik. Sehingga kemandirian Presiden dalam Sistem Presidensial untuk menempatkan menteri-menteri sebagai pembantunya tidak memenuhi tuntutan profesionalisme. Tarik ulur kepentingan partai politik yang harus diakomodasi oleh Presiden menghasilkan kabinet pelangi yang kontra produktif.

Timbulnya KIB yang berspektrum pelangi menandakan kompromi antara Presiden dengan partai politik begitu kental. Sementara prinsip Zaken Kabinet sebagai konsekuensi dari sistem Presidential tidak dimplementasikan. Maklumlah, Presiden memperoleh legitimasi kuat dari rakyat (67%). Tetapi, tidak didukung partai besar di parlemen atau DPR. Persoalannya adalah apakah tindakan Presiden SBY melakukan reshuffle akan berdampak pada posisi kabinet yang resolvable?

Ujian terberat keberanian Presiden SBY yang dipertaruhkan dalam 2,5 tahun masa kepemimpinannya adalah membangun citra yang baik dalam pergantian posisi tersebut. Dalam konteks penegakan hukum, pergantian posisi kabinet SBY akan dirasa resolvable, atau memecahkan persoalan, jika isu-isu besar hukum, politik dan ekonomi yang terus menjadi sasaran publik dan mendesak dapat terpenuhi.

Pertama, pergantian kabinet yang dimaknai sebagai resolvable yaitu mengganti pejabat-pejabat yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau perbuatan melawan hukum. Beberapa pejabat Negara yang terlibat dalam pencairan uang Tommy yang ada di bank Inggris yang notabene “uang haram”, dicurigai atau patut diduga mengandung unsur kesengajaan membantu dalam melakukan tindak kejahatan. Karena secara hukum, membantu seseorang dalam melakukan tindak kejahatan dianggap sebagai suatu perbuatan pidana. Pemberhentian mereka juga sangat tepat, sebab membiarkan mereka tetap bercokol dalam jajaran KIB akan mencederai citra dan kinerja KIB.

Hasrat kekuasaan KIB untuk membangun pemerintah yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government) akan tercapai jika “lidi sapu kekuasaan” tidak kotor dan juga tidak sombong dengan ke”cerdikan”nya. Mereka diibaratkan penumpang kapal karam yang dengan sengaja membiarkan air masuk dengan derasnya supaya kapal segera tenggelam. Bangsa kita yang sedang terancam bencana kejahatan korupsi yang harus segera diselamatkan, agar tangan-tangan jahil, tidak menenggelamkan negeri ini ditengah derasnya globalisasi.

Tidak kalah pentingnya, pergantian menteri juga ditujukan pada menteri-menteri yang tidak memperlihatkan geliat reformasi. Begitu besar jumlah anggaran kemiskinan periode SBY-JK telah dianggarkan sebesar 320 trilyun, tetapi jumlah kemiskinan masih berkisar 32 juta jiwa (Kedaulatan Rakyat: 6 Mei 2007). Angka tersebut menunjukkan kegagalan KIB menekan angka kemiskinan. Sementara alokasi anggaran untuk kenaikan tunjangan pejabat dan fasilitas lainnya juga tidak dapat dikendalikan.

Kedua, pergantian posisi kabinet akan bermakna resolvable jika beban yang diderita puluhan ribu masyarakat di Porong Sidoarjo Jawa Timur segera terjawab. Setidaknya bagi masyarakat di kelurahan Siring, Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo, dll yang menderita akibat bencana luapan lumpur Lapindo. Memang tidak salah jika PT Lapindo Berantas Inc, selama ini sebagai subjek hukum yang dimintai pertanggung jawaban hukum untuk mengganti kerugian yang diderita masyarakat, baik materiil maupun imateriil. Namun pemerintah SBY-JK, secara moral dan politik, juga dapat dipandang salah manakala reaksi negatif dari korban yang telah melakukan tindakan-tindakan mengganggu ketertiban umum dibiarkan.

Sebagai badan hukum, PT Lapindo secara teknologis melakukan kelalaian dalam pemasangan pipa dan penggalian melebihi batas yang tidak diperkenankan Ini sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Namun, apakah pantas bencana yang tidak dapat diramalkan akibatnya, seluruh kerugian masyarakat dapat dibebankan pada PT Lapindo?

Adanya keterkaitan penyebab antara kelalaian PT Lapindo dengan force mayor atau keadaan memaksa, seperti bencana alam, mestinya secara yuridis dapat menghilangkan tanggung jawab. Perselisihan antar masyarakat korban Lapindo dengan pengusaha di satu pihak, dan tim penanggulangan bencana Lapindo dan pemerintah di pihak lain, akan selalu mengancam kepentingan dan ketertiban umum jika Presiden SBY-JK gagal dalam menjawab persoalan keselamatan dan keamanan masyarakat Porong.

Intervensi Presiden SBY-JK terhadap kasus Porong bukan sekedar mendesak untuk dibuat kebijakan darurat. Tetapi, juga merupakan kewajiban moril (moral obligation) untuk dilakukan. Hanya dengan kemauan  politik yang tinggi (high political will) pemerintah, persoalan korban bencana, evakuasi pemukiman kembali (resettlement), kompensasi akan meredam sengketa untuk sementara, meskipun bencana tersebut akan berlangsung sekitar 36 tahun ke depan. Karena itu, sudah sepantasnya kehadiran UU Penanggulangan Bencana menjadi instrumen yuridis bagi Menteri Sosial untuk menjawab bagian potensial krisis Lapindo tersebut.

Ketiga, pergantian posisi kabinet akan berimbas pada proses pencitraan kembali KIB, sekiranya SBY menempatkan SDM yang berani, bersih dan kompeten dalam penegakan hukum. Secara khusus, aroma tebang pilih atas penegakan hukum kejahatan HAM dan Korupsi  yang diskriminatif masih dirasakan pada 2 tahun lalu.

Misalnya, kejahatan HAM berat terkait dengan kasus trisakti 1998 tidak pernah tersentuh. Bahkan DPR RI dalam keputusannya menyatakan kasus Tri-Sakti bukan termasuk kejahatan HAM. Penghilangan nyawa aktifis HAM, almarhum Munir yang tidak terlepas dengan kasus kejahatan politik, aktor intelektual, the actual culprit sepertinya dapat lari dari tanggung jawab hukum. Upaya untuk menutupi oknum oknum aparat BIN yang terlibat tidak tersentuh hukum (untouchable by law) telah tampak jelas ketika Indra Setiawan dan Nurheini Ainil atau mantan pejabat negara dijadikan tersangka baru.

Tidak kalah pentingnya, keragu-raguan akan realisasi perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Bali. Upaya-upaya yang kongkrit untuk mengembalikan tersangka atau penjahat ekonomi negara seperti koruptor adalah bagian penting dari tuntutan reformasi.

Itulah sebabnya, selain posisi perjanjian ekstradisi yang penuh kejanggalan, mengingat perlunya ratifikasi oleh kedua negara, bukankah justru setelah ratifikasi dilakukan, objek perjanjian ekstradisi sudah sebagian tidak dapat dipenuhi? Mengingat koruptor-koruptor Indonesia kelas kakap yang berada di Singapura (seperti Bambang Sutrisno, Adrian Kiki Ariawan, Sudjiono Timan dan Samadikun Hartono) telah melarikan diri ke negara-negara lain.

Kelemahan inilah yang mestinya harus segera dilakukan oleh Presiden untuk antisipasi dan segera meninstruksikan agar Jaksa Agung yang baru, Polri, dan juga Meteri Luar Negeri dapat melakukan negosiasi agar tersengka-tersangka koruptor buronan Indonesia dapat dicekal di Singapura. Tentu saja syarat kredibilitas dan daya tawar diplomasi pemerintah Indonesia mutlak di perlukan. Termasuk parlemen kedua negara segera meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut.

Bilamana ketiga tuntutan di atas dapat terpenuhi dalam konteks reshuffle menuju resolvable, maka ucapan yang patut dikemukakan adalah salut dan selamat atas keberanian SBY. Dengan catatan, bahwa SBY dan seluruh jajaran birokrasi pemerintahan dan DPR – DPD RI sejak melakukan reshuffle mampu merespon isu-isu fundamental penegakan hukum yang memihak pada kepentingan umum (public interest), Terutama terhadap isu-isu kasus Lapindo, korupsi, dan pelanggaran HAM sebagai kejahatan luar biasa.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************

SBY DAN POLITIK HUTANG BUDI

Polemik seputar anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) berakhir sejak Presiden SBY melantiknya, Selasa 23 Otkober, lewat Surat Keputusan Presiden Nomor 101 P/2007.  Pelantikan telah  dilakukan tanpa  kehadiran anggota KPU terpilih, Syamsul Bahri. Pasalnya, ia diduga terlibat dalam kejahatan korupsi di Malang. Meskipun begitu, kita berdoa semoga keenam anggota KPU dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan khusnul khotimah.

Harapan ini dikemukakan agar KPU kali ini dapat memetik pelajaran berharga.  KPU lama yang   berakhir masa kerjanya Oktober,  2007 telah menyisakan pengalaman pahit. Khususnya, bagi Nazaruddin Syamsuddin, dan Mulyana Kusumah  beserta keluarganya. Beruntung Mulyana oleh karena beberapa hari sebelum KPU lama berakhir ia telah dapat menghiruk udara bebas. Waktu empat tahun dirasakan tidaklah terlalu lama jika hidup dilalui dalam  kondisi normal. Tetapi, bagi Nazaruddin yang menjalaninya, penantian untuk bebas dari penghuni penjara adalah penderitaan teramat panjang.

Senyum kegembiraan dan kecemasan keenam anggota- anggota KPU yang baru, KPU lama telah terbebas  beban moral dan politis. Mereka   kembali ke  habitatnya masing-masing seperti ke kampus dan ke LSM lainnya. Namun, semua peristiwa selama lima tahun di KPU dengan hiruk pikuk politik yang tidak etis dan bahkan anarkis dengan prilaku partai politik yang ada tidaklah mudah untuk dilupakan. Ketua KPU, Prof Nazaruddin yang masih harus menetap di penjara  merupakan korban  ongkos politik kemenangan SBY-Kalla termahal.

Tidaklah berlebihan sekiranya ada sebagian masyarakat yang menyesalkan akan sikap  kurang apresiatif dan penghargaan Presiden SBY  terhadap anngota KPU. Padahal,  merekalah kelompok pertama yang berjasa,  di negeri  yang dilanda krisis ini. Secara, all out dengan instrumen hukum dan politik kebijakan yang amat darurat, ketika itu, mereka telah berhasil menguji cobakan pemilihan pemilihan Presiden secara langsung tahun 2004.

Dalam  situasi yang dilematis ketika itu,  tekad kita bersama adalah Pemilu harus tetap berlangsung dan tidak boleh tertunda. Kebanyakan pemimpin legislatif dan eksekutif, elit elit politik dan para pakar setuju dan mendorong pimpinan KPU melakukan diskresi, semacam kebijakan terobosan  penyelamatan dengan  harapan Pemilu harus sukses. Namun, terobosan tersebut tak pelak,  menyerempet  wilayah terlarang.  Proses pengadilan secara transparan dan terbuka telah memutuskan Nazaruddin dan Mulyana Kusuma  dinyatakan bersalah karena menerima suap dan hadiah lainnya.

Tanggungjawab pidana akibat kelalain tersebut  akhirya dijatuhkan. Mereka   dan seluruh keluarganya,  dengan berat hati, mengikhlaskan tokoh-tokoh di KPU tersebut segera masuk untuk menjalani kehidupan penjara. Sekelumit fakta dan cerita kelalaian tokoh-tokoh KPU yang lalu seyogyanya dipahami oleh tidak saja oleh akal sehat melainkan juga harus menggunakan  hati nurani terdalam. Sehingga, baik Pak SBY maupun kabinet lainnya, sungguh pantas, layak  dan adil sekiranya tokoh KPU yang masih tersisa di penjara dapat dimaafkan dan keluar dari sekap terali besi itu.

Kemauan politik SBY untuk memaafkan tokoh KPU, dan memberikan penghargaan, di suatu saat,  cukup beralasan. Terutama, secara  politis, kita harus mengakui  bahwa kita   telah berhutang budi atas kerja keras mensukses Pemilu dan menghantarkan kemenangan SBY-Kalla,  Kabinet Indonesia Bersatu dan kemenangan  masyarakat Indonesia.

Dalam konteks itu, hubungan timbal-balik yang   melahirkan kemenangan secara sosial, ekonomi dan  politik dalam suatu kekuasaan  dimaknai sebagai ”Politik Hutang Budi”.  Pada zaman penjajahan Belanda, kebijakan politik etis (ethico politics) dapat dimaknai dengan politik hutang budi. Misalnya, Pemeritah Belanda menjanjikan masyarakat Indonesia  pemberian kemerdekaan.  Volskraad,  lembaga legislatif, semacam DPR kini ketika itu juga dibentuk. Politik etis pemerintahan Belanda, dimaksudkan  agar   masyarakat pribumi menghentikan model perlawanan kekerasan fisik dengan menggunakan diplomasi.

Tentu saja, praktek politik hutang budi  selain dapat menimbulkan kohesi sosial, semacam solidaritas dan loyalitas kollektif. Tetapi, justru politik hutang budi dapat merupakan ancaman berbahaya sekiranya jasa dan kebaikan disemai hanya pada kekuatan pendukung semata. Tidak mustahil, sekecil apapun sikap permusuhan dan kebencian akan menimbulkan kontra-produktif yang mengancam kepemimpinan di masa mendatang jika SBY tidak mampu mengelola politik hutang budi secara harmonis.

Persoalannya adalah,  praktek politik hutang budi manakah sebagai ancaman kepemimpinan SBY ke depan?   Politik hutang budi yang cenderung dapat mengurangi citra SBY  terkait dengan pengisian komisaris BUMN yang mengandung pundi-pundi keuangan . Harian ini (Kedaulatan Rakyat, Selasa, 30 Otkobet 2007) telah mengangkat  fakta yang jelas. Orang-orang berjasa pada  SBY telah menjadi komisaris.   Menteri BUMN, Syofyan Djalil  sepertinya berang ketika isu ini diangkat. Meskipun demikian ia  mengakui, bahwa ada satu dua yang ditarik dari tim sukses, tetapi lebih karena kompetensinya (Tempo: 28 Oktober 2007:43).

Pernyataan tersebut tentu saja tidak sepenuhnya dapat kita amini. Kecurigaan  banyak pihak, sebagaimana dilansir media masa pekan lalu cukup beralasan. Sehingga tak mengherankan jika politik pencitraan SBY untuk dua tahun ke depan cenderung tidak menggembirakan. Lagi pula,  isu-isu pengisian jabatan komisaris yang dipandang tidak profesional dapat menjadi Target Clack Campaign.

Setidaknya terdapat dua hal penting yang perlu digaris bawahi mengapa pengisian komisaris  BUMN dipandang sebagai politik hutang budi yang kontra-produktif bagi politik pencitraan Presiden SBY secara tidak langsung.

Pertama, dalam era reformasi dengan tuntutan Good Governance and Clean government, profesionalisme  dan competency, keterbukaan  dan kepatuhan pada rule of law menjadi bagian mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar. Karena itu, melihat fakta dari proses pengisian komisaris yang dilakukan Menteri BUMN tidak konsisten dengan asas-asa pemerintahan yang baik dan bersih.  Memang tidaklsalah jika argumen bahwa Menteri memiliki hak verogatif untuk mengangkat komisaris dalam BUMN. Namun, akan menjadi bumerang jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi.

Terdapat sebelas BUMN yang diidentifikasi Majalah TEMPO dijabat oleh mantan tim sukses SBY, baik berlatar belakang sipil maupun TNI. Komisaris Jasa Marga, Pertamina, Dewan Pengawas TVRI, PTP Lampung, PT Pos, PTP Sumatra Utara, PT Kareta Api, Pelindo,  Indosat, TVRI, dan Komisaris Bulog. Hampir semua BUMN yang diduduki  tersebut memiliki daya tawar tinggi untuk meraup dana, baik untuk kepentingan pribadi pejabat maupun kepentingan organisasi.

Sejujurnya diakui publik bahwa terdapat beberapa komisaris yang diangkat lebih pada menebus hutang budi dan mengabaikan profesionalisme. Misalnya, Yahya Ombara adalah  Sarjana Hukum, memiliki latar belakang bisnis Wartel. Publik ragu karena ia sama sekali tidak berpengalaman dalam  transportasi, per-Kereta Apian. Andi Arif, anggota Tim Khusus di PT Pos, mantan aktifis yang diculik pada masa Orde Baru tetapi aktif di pergerakan dan LSM. Sama halnya dengan Heri Sebayang lebih berpengalaman di bidang organisasi pergerakan.

Mereka semua tidak terdengar memiliki pengalaman profesional dan latar belakang keilmuan yang kompeten. Sekecil bukti ini menuai dugaan pengangkatan komisaris BUMN tidak transparan  dan berbau nepotisme. Meskipun pengangkatan tidak langsung oleh SBY, peran Menteri telah cukup bukti bahwa pengangkatan komisaris di BUMN bentuk  hutang budi yang menimbulkan hutang yang harus dibayar oleh penerima. Setidak-tidaknya, motivasi kepentingan bersama dapat dibangun dengan posisi mereka di berbagai BUMN.

Kedua, pengangkatan komisaris-komisaris bagi BUMN, khususnya di Perbankan, Indosat, dan Bulog  dipastikan membawa keberuntungan dengan resiko hukum yang minimalis. Secara internasional, dimanapun,  UU PT atau BHD,  tidak membebankan resiko hukum. Seorang komisaris dapat terlepas dari tanggungjawab hukum jika kerugian suatu perusahaan  bukan disebabkan kelalaian  dirinya. Kecuali, direktur dan komisaris secara bersama-sama, melakukan perbuatan lalai maka mereka dapat dituntut, baik secara perdata dan pidana.

Jika  pengangkatan komisaris di BUMN dipandang kurang profesional, dan  lebih merupakan  budi baik Menteri terhadap penyedia dukungan, maka tidak mustahil yang akan timbul adalah pelanggaran terhadap  penyalah gunaan kewenangan (abuse of  power) Di satu pihak, sebutan komisaris dalam kenyataannya nanti  difungsikan sebagai mediator, yang dapat menjembatani tercapainya tujuan kekuasaan. Sebab, hutang budi bagi penerima jabatan bukan berarti harus membayar kebaikan  atasan (to repay back the gratitude of indebtedness ) dengan membagikan  gaji-gaji mereka fifty-fifty.

Di pihak lain, Tetapi, dimungkinkan akan lebih berfungsi sebagai channel terselubung dalam mengumpulkan pembiayaan penggalangan kepemimpinan nasional 2009. Tak mengherankan jika model  ini  adalah turunan kebijakan politik ekonomi privatisasi, dimasa Laksaman Sukardi menjadi Menteri BUMN,  dimana aset-aset negara diperjualbelikan pada investor asing.

Politik hutang budi bertumpu  pada nilai-nilai budaya yang berlaku sesuai tuntutan politik dan kekuasaan kontektual. Bagi SBY, politik pencitraan yang penuh  tebar pesona adalah kemenangan sementara. Tetapi,  popularitas SBY tidak dijamin konstan ketika politik hutang budi ini tidak menjadi kepedulian.  Sikap Presiden untuk mengampuni Ketua KPU yang masih di LP mungkin dapat memupus pribahasa ”air susu dibalas air tuba”  mengingat jasa baiknya. Sebaliknya, disadari ataupun tidak, pengangkatan  komisaris-komisaris oleh BUMN bentuk politik hutang budi. Tetapi karena  caranya kurang  profesional dan proporsional, maka tidak saja yang terbaca sebagai penggalangan kekuatan, lebih dari itu adalah bentuk penyalah gunaan kekuasaan yang tidak berbeda dengan kejahatan korupsi.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************

SBY Menantang Hak Interpelasi DPR

Tak  satupun fungsi DPR, secara konstitusional    mengamanahkan  adanya hak untuk memakjulkan (impeachmen)  kedudukan  Presiden. Fungsi DPR terdiri dari kewenangan perundang-undangan (legislasi), penganggaran (budgeting) dan pengawasan (controling) lebih menekankan pada fungsi check and balances terhadap Presiden. Terutama dalam merealisasikan kewenangannya, baik di  dalam negeri maupun kebijakan  luar negerinya.  Kedudukan DPR dan Presiden sebagai lembaga negara adalah sejajar (neben) dan sama kuat mengingat  kedua lembaga ini dipilih  rakyat. Sehingga secara konstitusional pula, baik Presiden maupun DPR tidak dapat saling menjatuhkan.

Namun,  jangan lupa bahwa secara umum fungsi pengawasan juga dimiliki oleh lembaga selain DPR. Dewasa ini, kedaulatan negara  juga dipengaruhi  oleh kedaulatan  rakyat (People’s Sovereignty). Sehingga  pengawasan oleh kekuatan  civil society seperti yang dilakukan LSM, LBH, ICW menjadi sangat lumrah dan terkadang lebih efektif. Hubungan fungsional kedua lembaga negara dapat saja terganggu manakala kesalahpahaman tidak segera diselesaikan. Bahkan Presiden tidak mustahil dapat terpelanting jika ada pemicu politik yang timbul di luar kewenangan DPR.

Terhadap hak interpletasi tersebut,  semestinya Presiden bukan sekedar merespon hak interpelasi DPR  atas  persetujuan resolusi No 1747 DK PBB terhadap sanksi Iran semata. Melainkan, Presiden juga perlu mengambil langkah strategis dan cepat. Isu penerimaan dana non bajeter dari  Rochmin Dahuri, Departement Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk kepentingan Tim Sukses SBY-Kalla 2004 cukup sensitif.

Penepisan yang disampaikan di  berbagai media, baik oleh Andi Mallarangeng, maupun  Sudi Silalahi, dan/atau Wapres Yusuf Kalla juga presiden SBY bahwa apa yang disampaikan Amien Rais tentang penerimaan  uang DKP oleh Tim Sukses SBY Kalla dinilai  sebagai ”tudingan dan fitnah” (Kedaulatan Rakyat, 26 Mei 2007:1). Respon reaktif dan emosional tersebut sesungguhnya tidak terlalu diperlukan bagi Presiden. Lebih penting dari itu, justru bagaimana  Presiden SBY dapat mengajukan bukti bahwa Tim Suksesnya benar-benar menggunakan  uang halal. Kita sering  mendengar  pemeo di dalam masyarakat Indonesia, uang haram saja sulit dicari apalagi memperoleh uang yang halal untuk tujuan politik. Malah menjadi aneh sekarang ini jika kampanye pengisian kepemimpinan, sama sekali terbebas dari politi uang.

Apakah implikasi  hukum dan politik  bagi  Presiden SBY ketika  penggunaan   hak interpelasi  DPR atas resolusi DK PBB dan isu penerimaan dana non-bajeter  DKP tidak mendapatkan jawaban yang cukup memuaskan?

Meskipun hak interpelasi DPR tidak secara langsung mengindikasikan adanya  pemakjulan,  ketidak mampuan SBY dan Tim Suksesnya membuktikan penggunaan uang halal dalam kampanyenya amat rentan dengan ancaman kejahatan korupsi.  Pertama, penggunaan uang haram berimbas pada situasi ketatanegaraan  di bawah kabinet SBY. Terutama ketika DPR menggunakan hak-hak konstitusionalnya.

Dalam pasal 20 A ayat (2) bahwa DPR memiliki hak memohon penjelasan (interpelasi), hak bertanya (angket) dan hak berpedapat terhadap  kebijakan Presiden yang telah dilakukan. Badan Musyawarah DPR, Kamis lalu, 24 Mei 2007 memutuskan tanggal 5 Juni,  mengundang  Presiden untuk meminta penjelasan mengenai  persetujuan Presiden  terhadap Resolusi No 1747, Dewan Keamanan PBB yang berisi perluasan sanksi atas Iran. Semestinya, hak interpelasi DPR tersebut sebagai hak hukum, tanpa terlalu khawatir yang berlebihan. Isu politik dan hubungan internasional bukan merupakan isu domistik yang dapat dengan mudah memicu ketegangan yang serius.

Keputusan yang telah diberikan Presiden terhadap resolusi DK PBB adalah urusan keseharian kebijakan luar negeri, atau day to day foreign policy yang biasanya merupakan urusan politik elit. John M. Owen dalam International Law and the Liberal Peace (Gregory H Fox, 2000: 357) menegaskan bahwa warga negara, pada umumnya, tidak mau ambil pusing dengan  urusan luar negeri ketika hubungan luar negeri tidak memiliki dampak negatif terhadap kepentingan warga negara. Karena itu, dalam membuat kebijakan luar negeri, pengaruh utama yang timbul secara domestik hanyalah pada  elit-elit politik yang berkedudukan di dalam lembaga perwakilan”.

Sekiranya Presiden SBY dan kabinetnya mempercayai pandangan John M Owen, bahwa hak interpelasi DPR tidak menimbulkan kewajiban bagi Presiden untuk menghadirinya memang cukup relevan. Urusan hubungan luar negeri, termasuk persetujuan  terhadap DK PBB untuk memberikan perluasan sanksi terhadap Iran tidak terkait dengan persoalan kebutuhan dasar warga negaranya. Sehingga menjadi amat wajar bila, komitmen pemerintah Indonesia terhadap pemerintah Iran tidak memeprlihatkan kesetiaan tinggi. Termasuk, pemerintah Indonesia merasa tidak berdosa untuk menyimpangi kesepakatan diplomatik dengan pemerintah Iran.

Penyimpangan gentlement agreement oleh pemerintah Indonesia memang tidak terkait dengan kepentingan warga negara memang secara faktual benar. Tapi, secara sosio – psikologis tidak demikian. mengingat elit-elit politik di DPR telah memohonkan interpelasi. Sama halnya, organisasi-organisasi sosial dan masa, umat Islam tidak ketinggalan untuk menyampaikan ketidak puasannya kepada pemerintah. Kekompakan antara elit-elit politik dan DPR dengan cendekiawan muslim dan sebagian masyarakatnya tidak dapat diabaikan begitu saja.

Karena itu, atas kelalaian penggunaan celah hubungan diplomatik di DK PBB beberapa waktu lalu, Presiden SBY sebaiknya merespon positif undangan interpelasi DPR tanggal 5 Juni tersebut. Dengan harapan, interpelasi sebagai forum tabayun, klarifikasi, yang dapat mengendorkan ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Adapun argumentasi mengapa kehadiran  Presiden SBY dalam acara interpelasi menjadi sangat urgen.

Pertama, memang benar bahwa undangan DPR sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPR, khususnya pasal 174 ayat (1,2, dan 3) tidak mengisyarakatkan adanya suatu kewajiban bagi Presiden untuk hadir dalam memberikan penjelasan secara langsung. Tidak berlebihan jika Menteri Luar Negeri sebagai wakilnya yang diutus untuk menjelaskan. Dan hak interpelasi DPR tidak dapat dibendung, meskipun dalam beberapa waktu lalu Menlu Hasan Wira Yuda telah menjelaskannya.

Namun, dalam logika hukum ada asumsi bahwa,  jika di satu pihak diberi hak, seperti hak interpelasi DPR diatur dalam Pasal 20 A ayat (2) UUD 1945. Konsekuensinya,  pihak lain,  akan timbul adanya  kewajiban.  Artinya, hak interpelasi DPR menimbulkan kewajiban bagi Presiden. Dalam konteks ini, kewajiban seperti itu lebih bersifat kewajiban komplementatif, bukan kewajiban fakultatif.

Karena itu, meskipun kehadiran langsung dalam hak interpelasi tidak wajib, mestinya Presiden harus memandang hak interpelasi sebagai sesuatu yang penting dan serius perlu jawaban. Komisi I DPR merasa tergerak untuk meminta penjelasan karena perbedaan tafsiran penggunaan hubungan luar negeri yang bebas aktif. Menempatkan Indonesia sebagai negeri yang cinta damai, anti penjajahan, dan akan selalu ikut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia yang abadi sesuai pesan Pembukaan UUD 1945 tidak dilaksanakan ketika di depan mata ada kasus yang perlu dibela dan diperjuangkan.

Kedua, terlepas benar dan tidaknya argumen Komisi I DPR RI  tentang kebijakan persetujuan DPR terhadap Resolusi DK PBB, kehadiran Presiden lebih merupakan wujud  kepatuhan terhadap etika dan moral politik bangsa. Presiden SBY seyogyanya mempertimbangkan undangan tersebut mengingat hak interpelasi telah ditanda tangani 280 anggota DPR. Maknanya, undangan tersebut mewakili puluhan juta rakyat Indonesia  jika setiap kursi dihargai ratusan ribu suara.

Ketiga, sekiranya Presiden juga tidak hadir karena jumlah anggota 280 DPR juga belum merasa terpanggil, Presiden mestinya menengok nilai manfaat hak interpelasi sebagai forum musyawarah. Terdapat peluang bagi Presiden untuk menjadi tauladan dalam mengamalkan ajaran pancasila. Permusyawaratan dan hikmah kebijaksanaan dalam sistem perwakilan sebagaimana sila empat Pancasila perlu dikedepankan. Krisis moralitas dan tauladan saat ini salah satunya disebabkan meredupnya nilai-nilai kebangsaan termasuk rendahnya pemahaman atas ideologi negara, Pancasila.

Dari segi pandangan teologi islam, kehadiran Presiden dalam hak interpelasi sangat terpuji. Dalam sebuah hadits ditegaskan bahwa hak-hak Muslim atas yang lain adalah,  apabila ketemu satu sama lain mengucapkan salam, dan apabila kamu diundang, maka  ia wajib hadir (Waidza laqitahu fasallim alaihi, Waida Da’aka Fa-ajibhu). Jadi, telah cukup argumentasi bagi presiden untuk tidak dapat mengelak untuk hadir di DPR.

Sebaliknya, sekiranya Presiden SBY tidak  menghadiri  undangan  interpelasi DPR  Selasa, 5 Juni, di argumentasikan pada tidak adanya kewajiban konstitusional, maka isu konfrontatif sekitar dana non-bajeter DKP melawan tokoh Reformasi, Amien Rais tidak mustahil akan berakibat kontra-produktif kekuasaan SBY  tergelincir di tengah jalan.

Sesungguhnya, Prof. Amien Rais, Ph.D sebagai salah satu seorang kandidat Presiden dalam Pemilihan Umum 2004 mengaku menerima aliran dana dari DKP sebesar Rp. 200 juta. Pejuang anti korupsi, seperti Denny Indrayana dan juga Eddy OS Hiariej sepakat untuk menindaklanjuti proses hukum keterlibatan calon-calon Presiden. Indikasi adanya perbuatan pidana sebagaimana dimaksud UU Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden telah memenuhi syarat penuntutan dalam kejahatan korupsi (Kompas, Jumat 23 Mei 2007: 6).

Arah impechment dari hak interpelasi bukan hal mustahil dalam perspektif hukum pidana dan kejahatan korupsi. Penerimaan uang sebagaimana diakui Pak Amien adalah jelas fakta hukum yang bertentangan dengan UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Celakanya perbuatan ini bukan sekedar pelanggaran, melainkan kejahatan politik uang. Pasal 45 ayat (1) poin C, Pasangan calon diduga menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari pemerintah BUMN dan BUMD.

Konstruksi pasal 45 ayat (1) huruf C tersebut di atas akan menjadi sangat efektif menggiring pejabat negara, manakala dikaitkan dengan kejahatan korupsi. Posisi Yusuf Kalla sebelum menjadi wakil presiden dan juga SBY sebelum menjadi Presiden adalah pejabat negara atau setidak-tidaknya Ketua-Ketua Partai Politik. Kedudukan mereka amat rentang dan karenanya tidak kebal dari hukum.

Untuk dapat diproses melalui peradilan, pengakuan Amien Rais cukup jelas merupakan pelanggaran pemilu dan dugaan kejahatan terhadap UU Tindak Pidana Korupsi. Keterkaitannya, dengan kejahatan konstitusional tidak terlalu jauh. Jika dalam proses peradilan terbukti, maka kejahatan money politics oleh pejabat negara, sesungguhnya merupakan kejahatan terhadap UUD 1945, dimana peluang impeachment terbuka lebar setelah diajukan DPR ke Mahkamah Konstitusi. Persoalannya, apakah penggunaan dana non-bujeter DKP ini isu politik yang sengaja dibuat untuk meluruhkan reputasi Presiden SBY 2007 ataukah memang murni kehendak penegak hukum yang berani dan berkeadilan. Pilihan kedua memang mulia, dan memerlukan proses pengadilan yang kredibel dan berwawasan kenegaraan yang mendalam. Prof. Satjipto Raharjo dengan tegas mengusulkan agar proses hukum diberlakukan.

Kehadiran Presiden SBY dalam acara interpelasi DPR tanggal 5 Juni sangat diharapkan. Agar forum ini dipergunakan sebagai musyawarah untuk meminimalisir perbedaan pemahaman antara DPR dengan Presiden tentang persetujuan resolusi DK PBB. Memang implikasi hukum dan politik interpelasi tidaklah berakibat impeachment, kecuali jika isu DKP, Rohmin Dakhuri dapat diselidiki oleh Kejaksaan Agung dan KPK sebagai kejahatan korupsi. Akankah KPK dan Kejagung berani membawa Pak Amien ke Pengadilan yang nyata-nyata berimbas pada penerima DKP lainnya?

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

.

******************

MASYARAKAT MARJINAL PERBATASAN DI KALIMANTAN BARAT

Kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis dan vital dalam konstelasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara geografis kawasan perbatasan, umumnya memiliki potensi sumber daya alam dan peluang pasar karena kedekatan jaraknya dengan Negara tetangga. Adapun keadaan vital menunjukkan fakta secara geopolitik bahwa kawasan perbatasan berkaitan dengan aspek kedaulatan Negara, pertahanan dan keamanan, rasa kebangsaan, ideology social, ekonomi dan politik.

Namun, tuntutan ideal seperti dialami Indonesia ternyata berbeda. Hampir semua wilayah perbatasan darat, antara Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dengan Timor Leste, dan Indonesia dengan Papua Nugini berada dalam masyarakat terbelakang (Marginalized Society). Kurangnya sarana-prasarana jalan, keterbatasan transportasi, komunikasi, pos-pos pengamanan daerah perbatasan dan aparat keamanan di perbatasan bukti nyata pemerintah Indonesia khususnya Departemen Pencepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Continue reading

RESPON SBY TERHADAP UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI

Gelombang protes dan demontrasi menolak  pengesyahan Rancangan Undang Undang Pornografi (RUUP) tak terbantahkan.  Kebebasan berpendapat untuk menolak RUUP  merupakan hak hak sipil warga negara yang tidak dapat dikurangi (non-diregoble rights). Sebagian elit politik, baik  di DPR maupun di tingkat Propinsi Bali, Propinsi Papua dan Batam yang menetang RUUP perlu perhatian kritis.

Jika Pansus DPR RUUP cukup cermat dan kredibel, justru protes dan demo akan  membuahkah UUP yang lejitimit. Pada waktunya, kesepakatan politik (political consensus), dimana  suara mayoritas (majority vote)  pemenang, maupun  suara minoritas (minority vote) wajib untuk mematuhinya sejak  UUP disyahkan DPR dan Pemerintah.

Sikap demikian  timbul bukan karena penulis setuju RUUP, melainkan karena argumentasi  kedua belah pihak, yang muncul di  berbagai media cetak  dan elektronik tampak penuh  emosional, dan agitatif. Unsur  romantisme penuh curiga terhadap kekuatan Islam, tidak dapat disembunyikan. Akibatnya, isu isu utama yang menjadi bahan perdebatan seputar RUUP tampak di permukaan tidak tersentuh.

Pornografi, Karya Seni dan  Tradisi

Bagaimana konseptualisasi pornografi seharusnya dirumuskan dalam RUUP agar tidak mengancam kebebasan ekspresi seni dan tradisi sebagian masyarakat?

Negara sebagai subyek hukum abstrak atau non-perorangan, sepertinya terlepas dari  keberpihakan nilai  (value free), akan tetapi dalam prakteknya    mustahil Negara membiarkan tuntutan kepentingan publik tanpa intervensi. Pansus DPR mewakili Negara dalam kekuasaan legislatif, mengemban tugas untuk mengakomodir berbagai keluhan kelompok penentang atas obyek dan cakupan UUP.

Hasil uji publik, kritik dan masukan masyarakat yang selama ini telah telah berdampak pada Pansus untuk h mengakmodir secara proporsional. Fakta perubahan pada  penamaan judul RUU. Semula disebut Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP). Saat ini   kata Anti dan Pornoaksi telah dihilangkan. Karena itu, kata anti dan pornoaksi yang semula dipandang menimbulkan perbedaan tajam dan menimbulkan  penafsiran luas menjadi menimalis.

Diakui bahwa kelompok penenatang RUUP  dijumpai pengajuan argumentasi  kurang tepat.  Bukan saja argumentasi yang mereka ajukan terlalu berlebihan dengan perasaan takut dan khawatir. Mereka  juga  tidak berhasil mendefiniskan konsep pornografi yang berbeda dari nilai kreasi seni (fine art) dan tradisi suatu masyarakat.

Bernard William, Ketua Sensor Filem Inggris,  mendefisikan pornografi sebagai suatu penggambaran atau  suatu ceritra tentang sex yang  melibatkan dua karakter yaitu (1) penggambaran seksual secara eksplisit (sexual explisitness) dan (2) dimaksudkan sebagai upaya membangkitkan gairah seksual  (intent to arousal sexually).    Misalnya,

mengedarkan dan menjual, barang-barang seperti  tulisan cetakan, buku ceritra, majalah, gambar atau foto, tayangan filem atau video,  yang mempertontonkan bagian atau keseluruhan tubuh laki-laki  atau perempuan, alat alat vital,  hubungan sex bertentangan dengan  kesusilaan  (Iwao Hoshii,The World of Sex: Sex in ethics and Law 1987: 47).

Jika definisi di atas dijadikan  referensi, maka    argumentasi bahwa  pengesyahan  UUP akan berimbas pada pemasungan kebebasan kreasi dan inovasi tidak benar. Program dan aktifitas  wisata untuk wisatawan asing di pulau dewata Bali, khususnya di pantai Kute tidak terlarang. Mbok-mbok di Yogya yang hanya pakai kutang ’kemben’, dan sebagian perempuan di beberapa suku Papua membiarkan dadanya terbuka bukanlah  obyek pornografi. Lukisan wanita cantik Monalissa, karya besar Ficasso   yang saat ini tersipmpan di meusium dipandang bukan sebagai pornografi.

Tradisi mandi bersama di sumur atau di sungai sungai, (siangang jenne’) bagi perempuan di suku Bugis, Makasar dan juga di Kalimantan sudah lumrah dan memiliki kesamaan dengan tradisi di beberap tempat di Indonesia. Disengaja ataupun tidak, bila  laki-laki sempat melihat bagian tubuh perempuan dan membuat perempuan merasa dipermalukan atau Siri’ , sejak saat itu timbul pelanggaran adat. (Jawahir Thontowi, Hukum, Kekerasan dan Kearifan Lokal di Sulawesi Selatan. 2007).  Kalau keadaannya demikian mestinya, masyarakat Bugis dan Makasar sama-sama dengan masyarakat Bali dan Papua yang  juga menolak pengesyahan RUUP.

Negara Melindungi Kepentingan Publik

Bagaimana seharusnya Negara bersikap atas sebagian masyarakat  yang menolak RUUP, padahal sejatinya sebagian masyarakat Indonesia menghendakinya?

Sebagaimana di atas telah dikemukakan bahwa batasan pornografi dengan non-pornografi tampak jelas berbeda. Namun, perbedaan tersebut menuntut Pansus RUUP membuat rumusan juridis yang pasti. Sebagian masyarakat yang tidak setuju akan merasa mendapatkan jaminan keadilan dalam prolehan hak-hak sosial dan budayanya.

Tak pelak jika ada sebagian masyarakat yang menyoal sikap Presiden Susilo Bambang Yudoyono terhadap RUUP ini. Sampai saat ini, meski Presiden SBY tidak memberikan komtentar, tidak berarti menolak. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meuthia Hatta dengan jelas mewakili Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Kehendak Ibu Menteri agar UUP segera disyahkan “mengingat dampak buruk pornografi sangat memprihatinkan”. Meski harus arif dan bijak, dukungan Menteri Pemberdayaan Perempuan terhadap proses pengesyahan RUUP oleh DPR dan pemerintah tampak semakin dekat mengingat adanya upaya mengakomodir aspirasi masyarakat. Penting untuk dicatat pandangan Robbert B. Seidman, bahwa semua keluhan, yang diajukan oleh perorangan, atau  kelompok masyarakat harus menjadi bahan pertimbangan oleh institusi pembuat undang-undang yang berwewenang or to be considered by the law making-authorities ( Law, Order and Power 1971: 57).

Hak dan kewajiban negara terkait dengan RUUP hendaknya berfungsi mencegah timbulnya penyalah gunaan sex bagi anak-anak (Sexual Abuse of Children). RUUP juga mencegah praktek diskrimasi dan eksploitasi atas wanita wanita yang cenderung  dijadikan obyek bisnis seks terselubung. Secara sosiologis, sebagian besar masyarakat Indonesia, RUUP sebagai kebutuhan yang tidak dapat ditunda mengingat ancaman bahaya sungguh nyata.

Ancaman tersebut dibuktikan oleh survey, Yayasan Kita dan Buah Hati, bahwa 80% anak usia belum dewasa (9-12 th) di Jabodetabek telah mengakses materi porno. Selain itu, kebanyakan ponsel dimiliki anak SD berisi potongan filem porno, foto bugil. Centre for Human Resources Fisip Unair secara signifikan menujukan hasil penelitiannya  bahwa remaja usia 15-19 tahun telah menonton film porno (Republika, Kamis 18 September 2008). Data ini  mestinya harus  mengilhami spirit akan pentingnya UUP sebagai upaya melindungi generaasi muda.

Misalnya, pakar  Psikolog  Universitas Arizona, Amrika Serikat, Douglas T. Kenrick, menyebutkan, pornografi berdampak negatif pada lelaki/suami karena mereka dapat dengan mudah meninggalkan pasangannya untuk mencari wanita pasangan lain.  Ekses negatif pornografi juga selain dapat menimbulkan  prilaku sek menyimpang seperti tindakan pidana pemerkosaan. Juga mengancam runtuhnya lembaga perkawinan,  sebagai akibat terbukanya hubungan seks bebas di luar pernikakahan (extra marital sex) berkorealsi positif dengan fenomena pornografi.

Dari perspektif keagamaan juga sama menolak pornografi. Ajaran Islam  yang mengilhami kebanyakan penduduk Indonesia dengan tegas menutup aurat (bagian dari tubuh wanita) dengan menutupnya dengan kerudung agar hormatan dan keindahan terjaga merupakan kewajiban agama (An-Nur: 30-31 ). Segala bentuk pergaulan yang mengarah pada hubungan  seks di luar  nikah merupakan kejahatan atau jarimah dalam Islam.

Kepastian Hukum Untuk  Keadilan

Benarkah kehadiran  UUP dapat mengisi kekosongan fungsi hukum pengaturan pornografi dalam KUHP dan bagaimana implikasinya terhadap penegak hukum ketika dihadapkan pada kejahatan maya saat ini ?

Kejahatan maya (cyber crime)  melalui internet menjadi salah satu fenomena yang kompleks. Imbas tekhnologi informasi yang dipergunakan untuk fitur-fitur pornografi dan berbagai penayangan hubungan sex yang menyimpang. Warung internet (warnet) dan pengembangan TI dapat dengan mudah diakses melalui jaringan telepon ke rumah-rumah.

KUHP yang selama ini dijadikan sumber argumentasi sebagian masyarakat tidak setuju UUP, luput dari realitas kejahatan maya begitu canggih dan kompleks. KUHP telah mengatur dalam dalam pasal 281 KUHP, pasal 282 (terdiri dari 3 ayat), dan pasal 283 (dengan 3 ayat). Kelemahannya bukan saja istilah kesesilaan bersifat umum dan sarat dengan nilai-nilai kehidupan kolonilaisme Belanda. Sanksi hukuman terlalu ringan dan murah. Dalam pasal 281 menyebutkan bahwa penjara paling lama dua tahun delapan bulan (2.8) atau denda paling banyak empat ribu rupiah. Sehingga sanksi hukuman dan denda yang murah bukan saja tidak akan membuat jera.

Seberapa jauh UUP dapat memberi kepuasan bagi sebagian besar warga negara “The greatest happines for the greater member” merupakan parameter ada tidaknya keadilan. Karena itu, jika upaya mengakomodir keadilan terdapat benturan antara kekuatan mayoritas dan minoritas, maka Negara dapat memastikan keadilan mayoritas harus diprioritaskan. Menurut John Rawl, suatu toleransi ketidak adilan hanya dapat  dipergunakan untuk mencegah timbulnya ketidak adilan yang lebih besar, or an injustice is tolerable only when it is necessary to avoid an even  greater injustice (A Theory of Justice 1976:4).

Intervensi Negara  untuk mengesyahkan RUUP, oleh DPR dengan Presiden SBY, melalui Menteri Pemberdayaan Wanita, merupakan kontribusi signifikan bagi masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat yang tidak setuju RUUP pada akhirnya harus legowo ketika DPR dan Pemerintah,  dengan landasan filosofis, sosiologis, juridis, dan nilai-nilai keagamaan  mengesyahkannya.   untuk tegaknya keadilan sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebab selain, tujuan UUP untuk melindungi kepentingan  moral publik, termasuk  anak-anak dan perempuan jauh lebih diutamakan mengingat kelemahan KUHP tidak responsif terhadap realitas pornografi. Juga, UUP merupakan sumber hukum yang diperlukan demi kepastian dalam membatasi maraknya pornografi di era kejahatan maya semakin canggih.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************

Kewajiban Moral Dalam MoU Helsinki

Pro-kontra disekitar materi kesepakatan MoU antara GAM dengan RI, 15 Agustus di Helsinki masih tetap bergulir. Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah dengan DPR jelas tidak dapat disembunyikan. Fraksi PDIP bersikukuh menuduh bahwa penandatanganan MoU tersebut telah melanggar konstitusi.

Butir-butir kesepakatan antara lain bendera dan hymne sebagai symbol cultural Aceh, parta local, dan sistem pemerintahan Aceh diklaim sebagai bukti pelanggaran tersebut. Tidak kalah agresif, Amin Rais menuding bahwa pemerintah yang melakukan penandatanganan MoU di Helsinki, tanpa ada kesepakatan dengan DPR/MPR, diibaratkan tindakan pukul dahulu urusan kemudian, sebagai pertanda kekalahan pemerintah RI terhadap GAM.

Tidak berlebihan jika respon baik fraksi PDIP maupun Amin Rais mestinya harus disikapi bijak, arief, dan penuh kenegarawan. Dalam konteks penandatanganan MoU antara GAM dengan RI, sejak awal harus disasari bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah ada kesamaan persepsi. Keanekaragaman persepsi telah menimbulkan implikasi dilematis, sejak setelah MoU tersebut ditandatangani.

Kenyataan bahwa penolakan penyelesaian damai secara internasional (internationalization) telah ditentang oleh banyak pihak, terbukti tidak menyurutkan usaha Management Crisis Center, Mantan Presiden Findlandia, Ahtisari pada akhirnya tidak dapat ditolak. Namun, perlu kita ketahui mengapa internasionalisasi itu ditolak. Hal ini terkait dalam Pemerintah Indonesia umumnya menganggap bahwa GAM itu bukan subjek hokum internasional. Sehingga menjadi tidak pantas jika kedudukan GAM dengan RI menjadi sejajar. Pandangan sepihak inilah yang menimbulkan dari sikap ignorance, pemerintah terhadap hukum internasional. Padahal dalam perspektif hukum internasional teori kedaulatan Negara telah berubah begitu substansial. Kekuatan global termasuk Civil-Society, tidak lagi dapat dipisahkan secara hitam putih sehingga factor lain itupun turut menentukan.

Misalnya apakah masih relevan bilamana GAM dipandang sebagai separatis atau musuh Negara. Tentu saja tidak demikian. Sebab, ketika nilai-nilai HAM diterima sebagai prinsip yang dapat membimbing kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka GAM mestinya harus diakui sebagai entitas politik yang diakui kedudukannya sebagai subjek hukum internasional. Atas dasar pengakuan tersebut, jika tidak pemerintah RI ketika itu menerima konsep GAM itu sebagai kelompok belligerensi atau insergency. Sungguh tidaklah akan menurunkan martabat RI ataukah juga mengangkat martabat GAM.

Dari praktek penandatanganan MoU antara GAM dengan RI di Helsinki tersebut, bukan saja pandangan terhadap GAM itu bukan subjek HI tidak relevan, juga telah menunjukkan bahwa pada penyelesaian sengketa dalam negeri melalui mekanisme internasional kali ini cukup berhasil dan efektif. Efektif hasil perundingan MoU Helsinki didukung oleh beberapa faktor. Pertama, faktor kemauan politik (Political Will) dari Pimpinan Nasional. Meskipun dalam parktek prosedural negoisasi itu diragukan mengingat perundingan tersebut tidak dilakukan oleh Presiden. Namun, mengingat sistem pemerintahan Indonesia Presidentil, maka perbuatan Wakil Presiden sebenarnya juga mewakili Presiden. Soal mengapa tidak Menteri Luar Negeri sebagai pelaku yang menandatangani memang agak menyamping di luar kelaziman, sekaligus merupakan ruang yang lemah. Sebab, mekanisme lobi negosiasi termasuk delegasi untuk perjanjian bilateral secara umum, Menlu memilki surat kepercayaan penuh dari kepala Negara Letters of Credence. Bagaimana peran Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informasi memiliki mandate ini tentang praktek yang sungguh baru. Fakta, dimana Menteri Hukum dan HAM tersebut dalam negoisasi ini mengundang ruang yang sensitive, terutama bilamana ada pihak-pihak yang tidak mau patuh pada MoU tersebut. Tokoh Yusuf Kalla dan Hamid Awaludin adalah legendaris era reformasi dalam memediasi konflik di Poso dan Ambon adalah modal yang tidak disanksikan ketegasan mereka untuk tetap mempertahankan NKRI sebagai sesuatu yang final adalah patut dibanggakan.

Kedua, kesadaran masyarakat Eropa yang terdiri AMM, Monitoring Mission mendorong tokoh-tokoh GAM yang ada di Eropa turut peduli mendukung perdamaian. Tokoh Hasan Tiro, Malik Mahmood, Dr. Dahlan Zaeni, dan tokoh lainnya tidak menentangnya. Kedudukan Mantan Presiden Ahtisari, menanamkan peranan kharismatik. Sehingga modal utama keberhasilan perundingan adalah terletak pada full frast. Kepercayaan penuh diberikan untuk GAM maupun RI. Menumbuhkan modal kepercayaan  ini sungguh tidak mudah. Sehingga kesepakatan yang dibuat itupun menjadi kuat, ketika AMM juga turut mengawasi proses negosiasi dan juga realisasi teknis di lapangan.

Kondisi psikologis lapangan, yakni Aceh yang baru saja didera bencana Tsunami merambat masyarakat Eropa dan Barat menaruh perhatian dan iba hati. No more War, let the People of Aceh line in Peace.

Ketiga, masyarakat Aceh tanpa disanksikan i’tikad mereka akan kebutuhan hidup yang damai. Secara seremonial berbagai acara telah diselenggarakan dalam menyambut perdamaian abadi tanpa ragu dengan NKRI. Situasi ini sungguh menjadi lebih kuat, ketika hampir seluruh masyarakat Indonesia Aceh  penghuni NKRI abadi. No more War, No Redemption, No Violance.

Dengan demikian, penandatanganan MoU antar GAM dengan NKRI 15 Agustus di Helsinki adalah fakta sejaah berakhirnya permusuhan kekerasan, pertumpahan darah dan perang. Lebih berat beban setelah peristiwa penandatanganan MoU adalah menerapkan, memelihara dan mempertahankannya kesepakatan-kesepakatan tersebut dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang lebih tertib, aman, sejahtera, adil dan makmur dalam NKRI.

Validitas Mou Helsinki

Penolakan sebagaian elit politik nasional terhadap penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 antara GAM dengan tim NKRI mengisyaratkan adanya cacat hukum, invaliditas perundingan tersebut. Meskipun, pada akhirnya DPR menyetujui MoU, termasuk Keppres Presiden tentang Amnesti di abolisi atas mantan GAM, fraksi PDIP bersikukuh bahwa penandatanganan MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan sejumlah undang-undang lainnya.

Tak kalah seru, Amin Rais sebagai tokoh PAN di Muhammadiyah menuding bahwa penandatanganan MoU tanpa persetujuan DPR/MPR manandakan kekalahan pemerintah RI. Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang diusung oleh Abdurrahman Wahid , Try Sutrisno, Akbar Tanjung, Taufiq Kiemas, Norman Siregar dan Muhaemin Iskandar juga menolak MoU tersebut. Argumentasi mereka selain MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan sejumlah UU yang lain, juga cenderung mengarah pada lakernya negara berbentuk Federalistik. Ketentuan Bendera, Hymne, Partai Lokal, dan Sistem pemerintahan adalah indikator yang dipandang menyimpang.

Terhadap pandangan negatif elit-elit politik tersebut, tampaknya pemerintah, khususnya Yusuf Kalla dengan Hamid Awaludin, MenKumdam tidaklah terlalu peduli. Bahkan Presiden SBY berkali-kali menegaskan, bahwa penandatanganan MoU oleh wakil GAM dan NKRI perlu dipegang teguh dalam rangka membangun Aceh.

Eksistensi MoU  yang sedang diimplementasikan tersebut, memang sudah final sejak terjadinya penndatanganan. Namun, suara-suara elit politik yang tidak setuju akan tetap berpengaruh negatif dalam proses realisasinya. Tulisan ini dikemukakan dalam upaya menjelaskan alasan mengapa validitas MoU dipertanyakan. Kemudian berikutnya, bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menyikapi hsil-hasil perundingan tersebut secara gentlement agreement dan penuh kearifan.

Prosedur Perjanjian Internasional

Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).

Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum pula.

Bagaimana kaitannya dengan kasus penandatanganan MoU antara GAM dengan NKRI. Secara jujur, sejak inisiatif perundingan yang oleh Presiden Gus Dur tahun 2001 di Davos, Swedia, dan dilanjutkan dengan DOHA di Tokyo 2003, pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri bersikap ambigu atau tidak tegas. Sikap ambigu inilah yang menyisakan problematika lanjut atas lahirnya kesepakatan-kesepakatan MoU Helsinki. Pandangan yang menempatkan GAM bukan subjek hukum internasional, dan lebih mengakui GAM sebagai kelompok separatis. Kelompok separatis dalam khazanah ilmu politik adalah musuh negara berdaulat yang wajib dihancurkan. Dibalik pemikiran inilah penggunaan kekerasan mendapatkan pembenaran. Tentu saja, perilaku negeri seperti itu, bertentangan dengan nilai-nilai HAM.

Dapat dimaklumi mengapa pemerintah tidak setuju melaksanakan perjanjian dengan perangkat internasional. GAM buka sebjek HI, melainkan kelompok mesyarakat sebangsa. Sepertinya, jika GAM dilakukan sebagai subjek HI, seakan-akan pemerintah Indonesia akan jatuh martabatnya. Dan dipihak lain GAM meningkat derajatnya. Atas dasar pemikiran inilah, sikap tidak tegas pemerintah Indonesia terhadap GAM dengan jelas terbaca. Keengganan sebagai masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan kasus GAM dan NKRI juga didasarkan oleh persepsi tersebut.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************

Program Kompensasi BBM Menuai Bencana

Musibah meninggalnya kakek Sepuh di Demak, dan nenek Waginem di Banyuwangi Jawa Timur adalah dua korban tewas akibat pembagian kompensasi BBM. Peristiwa yang mengenaskan itu amat disayangkan terjadi ketika sebagian besar umat Islam di Indonesia, melaksanakan ibadah puasa dengan penuh khidmat dengan khusu’. Namun, karena adanya kompensasi BBM Rp 300 ribu, masyarakat miskin yang lemah itupun terdorong untuk mendatangi kantor-kantor pos di tingkat kecamatan.

Bagi masyarakat miskin yang tinggal di kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya, letak kantor Pos kecamatan tidaklah menjadi persoalan. Namun bagi mereka yang tinggal di pedesaan akan menjadi beban berat oleh karena jauhnya jarak tempuh. Di dalam dan luar Jawa, lebih di atas 60% mereka kebanyakan tinggal di desa-desa terpencil atau pulau-pulau yang terisolasi. Seperti banyak ditemukan di Kalimantan, di Sulawesi dan juga Sumatera. Sehingga ketika mereka pergi ke kantor pos kecamatan bukan perjalanan yang sederhana. Antrian panjang tanpa dimodali disiplin yang tinggi cenderung menimbulkan hura-hura dan nestapa.

Kelemahan inilah yang mengusik dan melahirkan bencana kematian dan menimbulkan ketegangan sosial. Bencana pertama, timbulnya konflik vertikal, yaitu adanya ketegangan hubungan antara masyarakat miskin dengan pejabat, khususnya petugas pendataan statistik. Di beberapa tempat, seperti Sulawesi Selatan dan juga di Banten, juga Yogya beberapa petugas BPS diusir masyarakat. Tidak ketinggalan pula konflik secara horizontal terjadi antar masyarakat itu sendiri. Perasaan iri hati tidaklah dapat disembunyikan ketika, disatu pihak masyarakat yang sungguh miskin tidak memperoleh kompensasi, sementara orang-orang yang mampu mendapatkan kompensasi. Kedua model konflik, vertikal dan horizontal akibat kelalaian pendataan aparat pemerintah dapat mendorong bencana kemanusiaan jika tidak segera dicari solusinya yang baik. Pemicu bencana sudah sangat di depan mata mengingat naiknya harga-harga bahan pokok di pasar yang tidak terkendali akan mengundang kemarahan masyarakat miskin.

Agar kebijakan pembagian dana kompensasi BBM terhadapa masyarakat miskin ke depan dapat mencegah timbulnya bencana sosial, sudah semestinya Presiden SBY dan YK, mengambil langkah strategis dengan menggunakan manajemen hukum yang sistematis.

Pertama, kehendak negara utuk menciptakan masyarakat sejahtera (Community Welfare) yang berkeadilan, khususnya masyarakat miskin tidak mungkin dilakukan dengan efektif tanpa menjunjung tinggi nilai keadilan. Karena itu, pasal 34 UUD 1945 wajib dipatuhi: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan meberdayaakn masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Karena itu, tidak mengherankan jika kebijakan SBY-YK tentang dana kompensasi BBM dipandang leap service. Bahkan sama sekali bertentangan dengan teks UUD 1945. Sebab, pemberian dana yang langsung justru tidak membantu usaha pengembangan kemandirian masyarakat secara ekonomi.

Manajemen hukum dalam konteks menciptakan kesejahteraan rakyat, suatu peraturan hendaknya mengandung i’tikad baik (Good Faith), keterbukaan (Fair Dealing). Secara teoritis, di negara manapun, penciptaan negara sejahtera diorientasikan pada upaya menanggulangi persoalan sandang pangan dengan menyediakan lapangan kerja dan mencegah pengangguran. Kebijakan pemerintah untuk membebaskan beban masyarakat dari beban biaya pendidikan (Education). Pembebasan masyarakat miskin dari biaya kesehatan (Health), bantuan negara terhadap pemukiman (Settlement). Pembagian uang memang diakui, seperti di Inggris, Canada, Australia, disebut DOL. Namun, DOL itu diberikan hanya pada orang-orang miskin yang telah benar-benar berusaha mencari pekerjaan tetapi mereka tidak memperolehnya.

Kedua, Presiden SBY-YK perlu memprioritaskan lahirnya UU tentang anti kemiskinan. Di negara-negara Persemakmuran (Common Wealth Countries), di Inggris UU anti kemiskinan (Poverty Act) telah tersedia sejak awal abad kedua puluh. Regulasi ini sangat signifikan dibuat oleh lembaga legislasi, dengan harapan pengentasan kemiskinan bukan sekedar dilakukan bersifat sukarela (Charity)., melainkan menjadi kewajiban negara (State Obligation).

Karena itu, menjadi sangat mudah ditebak, mengapa dana kompensasi BBM tidak sampai sasaran dan terjadi kecurangan diberbagai tempat. Salah satu sebab, karena pemerintah mengeluarkan dana kompensasi sebebsar 10 trilyun untuk 62 juta rakyat lebih bersifat sukarela (Charity). Kalau toh dalam proses pengeluarannya oleh Menteri Keuangan memperoleh persetujuan DPR, maka kesepakatan itu lebih berfungsi sebagai justifikasi yang politik semata. Sebagai upaya penjinakan masyarakat agar tidak bereaksi ketika BBM dinaikkan 1 Oktober.

Ketiga, pemerintah perlu segera menetapkan instansi yang berwewenang koordinasi dapat dilakukan dengan jelas dari tingkat pusat sampai dengan daerah. Kelemahan yang terbaca di lapangan adalah pemerintah daerah sepertinya tidak dilibatkan sejak awal sehingga, aparat desa, RK, RW sepertinya tidak tahu-menahu. Berbagai kasus yang timbul tidak mampu terjawab secara cepat oleh petugas oleh karena lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah.

Keterlibatan petugas-petugas pemerintah juga dibantu oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat menjadi penting, agar keterbukaan dan prilaku penyimpangan dapat dicegah. Penyimpangan seperti terdengar kasus di Lampung, setiap keluarga ada yang memperoleh potongan Rp 10.000,- atau Rp 30.000,- terkait dengan lemahnya pengawasan. Penyebaran distribusi dari Pos kecamatan ke desa-desa perlu segera diciptakan agar membuat masyarakat lebih dekat dan mudah. Kerjasama kemitraan antar pemerintah desa dengan kelompok LSM perlu dilibatkan. Namun, karena adanya kerja ekstra, maka pemerintah juga wajib menyediakan dana untuk pengelolaan.

Untuk mencegah hal tersebut, peran manajemen hukum dalam penciptaan masyarakat sejahtera perlu segera direspon positif oleh Presiden SBY-YK dan kabinetnya. Karena itu, UU tentang Kesejahteraan Sosial dan UU Anti Kemiskinan menjadi sangat urgen untuk diwujudkan. Agar kebijakan mengentaskan kemiskinan menjadi kewajiban negara maka parameter orang-orang miskin, prosedur standar yang harus ditempuh, dan pengawasan menjadi strategi terpadu perlu segera diformulasikan agar kebijakan kompensasi BBM tidak menimbulkan bencana.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************

SBY Dalam Program 100 Hari

Tidak terlalu mengherankan bilamana ada sebagian pakar yang menilai program 100 hari Kabinet Indonesia Baru Bersatu (KIB) tidak menggembirakan. Beberapa langkah yang dinantikan masyarakat khususnya, terkait dengan pembebasan biaya rumah sakit untuk masyarakat miskin termasuk lankah berani. Namun, kesan  supremasi politik atas hukum terlihat cukup kental. Janji-janji dalam masa kampanye, terutama dalam penegakan hukum dan perang melawan korupsi yang saat ini dinantikan masayarakat belum terbukti.

Setidaknya terdapat tiga persoalan penting yang perlu dikritisi secara konstruktif, mengapa program 100 hari KIB terkesan tidak optimis dalam membangun citra pemerintah yang baik (good governance) dan bersih (clean government).

Penangkapan Dr. Azhari dan Nurdin M. Top

Program 100 hari KIB terkait dengan keinginan menangkap Dr. Azhari dan Nurdin Top terkesan sangat rasial dan bermuatan amat politis. Memang persoalan terror bom sangat mengancam ketenangan dan keselamatan umat manusia secara menyeluruh dan juga secara hukum masyarakat Indonesia. Namun, dari segi kemampuan dan kegigihan Polri atau TNI. Teroris jauh lebih memiliki komitmen ideologis yang kuat dan cermat dalam menguasai tekhnologi informasi merupakan bukti nyata. Ketidaksebandingan antara kemampuan aparat keamanan Polri, TNI termasuk inteligen dengan teroris merupakan faktor yang meragukan kemungkinan Polri mampu menangkap Dr. Azhari dan Nurdin Top sebagai gembong teroris.

Isu penangkapan terhadap Dr. Azhari dan Nurdin Top lebih merupakan isu politik sesaat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Secara due process of law atau prosedur hukum acara, sesungguhnya tidak saja betentangan dengan aturan hukum, melainkan juga pendekatan yang dilakukan oleh Polri terlalu monolitik akan berakibat hasil akhir penyidikan tidak optimal. Pendekatan monolitik mengandung kelemahan atas subyektifitas dan tendensi untuk mendiskreditkan Islam identik dengan teroris tidak terhindarkan. Padahal dalam kejahatan teroris yang sifatnya global, mencari tersangka yang sebenarnya (the actual culpit) lain merupakan tugas penting. Sekiranya aparat kepolisian telah menetapkan Dr. Azhari dan Nurdin Top, maka tidak mustahil pelaku-pelaku terror bom yang sesungguhnya akan luput dari tanggung jawab hukum.

Sesungguhnya waktu tiga bulan yang dibebankan pada Polri tidak memadai, namun dapat ditafsirkan sebagai cara diplomatis Presiden SBY dalam mencegah timbulnya musuh dalam KIB. Bagaimanapun program 100 hari ini bukan sekedar pesimis, juga sangat tidak dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari segi kepentingan publik. Dapat dimaklumi bahwa bagaimana Polri mampu menangkap gembong teroris sekaliber Dr. Azhari, sementara Polri, TNI dan juga Inteligent saat ini sedang mengalami suasana yang tidak kompak. Dengan demikian, isu penangkapan Dr. Azhari dan Nurdin Top oleh KIB lebih terkesan apologetik terhadap fakta lemahnya aparat keamanan dan penegak hukum.

Menko Polhukam vs Supremasi Politik

Kekecewaan masyarakat, khususnya profesi hukum terhadap kebijakan program 100 hari KIB adalah terkait dengan munculnya Menko-Polhukam (Menteri Koordinator  Politik, Hukum, dan Keamanan). Masyarakat mengakui dan cukup lega ketika Presiden SBY memilih Abdur Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung, dan Awaluddin Hamid sebagai Menteri Perundang-undangan dan HAM. Sementara, Kapolri masih harus menunggu hasil evaluasi, apakah selama 100 hari terdapat kemajuan besar ataukah sebaliknya. Dapat dipastikan, segi tiga pejabat penegak hukum yang ada dalam KIB masih dipandang kurang berimbang. Sebab, kedudukan Jenderal Dai Bachtiar masih memperlihatkan spirit kepemimpinan lama. Tidak mengherankan jika ia dipertahankan justru akan menjadi persoalan internal penegakan hukum pada era KIB. Benarkah kehadiran Menko-Polhukam Widodo AS, dapat menjawab persoalan penegak hukum yang selama ini menjadi bagian vital dari upaya keluar dari krisis multi-dimensi. Nampaknya Presiden SBY yang akomodatif dengan kekuatan Partai politik telah menghasilkan pula kabinet yang tidak mencerminkan profesionalisme. Dalam konteks, penegakan hokum telah banyak usulan mengenai perlunta Menko Penegakan hukum mengingat problematika hokum dan penegakannya di Indonesia begitu kompleks. Justru dengan adanya Menko Polhukam terkesan, hokum tetap dikesampingkan dari politik dan keamanan. Bagaimana mungkin supremasi hokum dapat terbangun bilamana SDM yang mengendalikannya hanya paham keamanan, politik, tanpa hukum.

Kehadiran Jenderal Widodo AS hanya merefleksikan kompetensi pertahanan dan keamanan danmungkin politik. Tetapi, ia tidak memiliki kompetensi dalam penegakan hokum. Kenyataan ini mendorong kesanksian kita akan kemampuan Widodo AS, melakukan koordinasi dalam pebegakan hokum. Menko Polhukam menjadi tidak relevan bukan saja disebabkan karena persoalan penegakan hokum harus diletakan secara terpadu (integrated legal system) antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman. Dengan demikian, sistem penegakan terpadu sebagaimana diamanahkan able law summit III 2004, mestinya diwujudkan melalui pembenrukan Menko Penegakan Hukum. Fakta bahwa Menko politik, pertahanan, dan keamanan suatu kebijakan yang tidak proporsional.

Perlu dicatat bahwa dibalik penggabungan penegakan hukum ke dalam politik pertahanan dan keamanan adalah merupakan pengebirian atas model penegakan hokum yang mandiri, sehingga intervensi eksekutif terhadap peradilan dapat dilakukan dengan mudah. Tuntutan masyarakat atas pelanggaran HAM di masa orde baru fan juga reformasi, kasus Timor-Timur, kasus  Tri Sakti dan Semanggi, 27 Juli kantor PDI, kasus Papua, hampir semua melibatkan TNI. Bilamana diserahkan pada system peradilan yang mandiri tentu saja TNI yang terlibat tidak pernah akan luput dari proses hokum dan keadilan. Apakah dengan cara ini \kib agak kawatir dengan proses demokratisasi liberal.

Dengan demikian, agak mustahil rasanya berharap pada Widodo AS sebagai Menko Polhukam untuk mampu melaksaakan yugas penegakan hokum yang mandiri dan professional, sementara ia sendiri bukan saja tidak kompeten dalam persoalan hokum, melainkan wilayah politik dan keamanan tergolong cakupan kerja dan kewenangan yang terkesan wilayah baru (grea area). Kemungkinan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh presiden melalui tangan Menko polhukam termasuk upaya-upaya intervensi terhadap penegakan hokum sangatlah mudah dilakukan.

Permasalahan TKI berlarut-larut

Rasa pesimistik program 100 hari KIB adalah membiarkan pengiriman TKI ke luar negeri, khususnya yang menjadi tenaga-tenaga kerja kasar termasuk pembantu rumah tangga. Langkah-langkah kogkrit dari Fahmi Idris Menteri Tenaga Kerja, telah melakukan peninjauan ke Malaysia sebagai negara yang sedang melakukan amnesty (pemaafan) atas ratusan ribu pekerja Indonesia yang illegal di Malaysia. Tindakan ini memang positif, namun menjadi tidak komprehensif tanpa adanya pembenahan yang cukup sistimatis dan tegas dari kebijakan internal.

Justru yang diperlukan saat ini, bagi upaya menjawab krisis TKI yaitu melakukan penghentian sementara atau “Marotorium” untuk melakukan konsolidasi ke dalam sangat diperlukan. Bagi Menko Tenaga Kerja melakukan pembenahan atas yayasan penyelenggaraan kerja luar negeri. Selain pendekatan identitas yayasan, justru menindak tegas lembaga-lembaga Pengiriman Tenaga Kerja yang melanggar, dan bahkan telah menjadi sindikat kejahatan jual beli manusia, wanita, dan anak-anak. Citra Idonesia sebagai  pengirim TKI yang tidak birokratis akan terus menjadi beban moral. Bilamana proses penghentian dan penataan ulang system manajemen dan SDM yang cukup terdidik dipersiapkan secara sungguh-sungguh.

Mempertimbangkan tiga aspek diatas membuat kita program 100 hari  KIB dapat berjalan tidak cukup meyakinkan dapat memenuhi janji yang memuaskan masyarakat. Meskipun begitu, masih banyak waktu yang dapat dipergunakan dalam memenuhi janji masyarakat, asalkan Prsiden SBY dengan KIB nya tidak bosan untuk mendengar dan megambil saran-saran terbaiknya.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

***