HGU 75 Tahun Bisa Timbulkan Konflik

SEMARANG – Hak guna usaha (HGU) sampai 75 tahun, dinilai bisa menimbulkan konflik. ”HGU selama 25 tahun saja bisa menimbulkan persoalan di lapangan, apalagi 75 tahun,” tandas Kepala Program LBH Semarang Siti Rahma Mary Herwati.

Dia menyatakan hal itu saat menjadi salah satu pembahas dalam ”Uji Sahih Draf Amandemen Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960” di Gedung B lantai V Pemprov, Selasa (9/5). Acara yang dibuka Wagub Ali Mufiz MPA itu menghadirkan narasumber dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jawahir Thontowi PhD, Masyud Asyhari MKn, dan Sembiring SH.

Yang diujisahihkan adalah naskah akademik penyempurnaan UUPA yang ditangani Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) bekerja sama dengan UII Yogyakarta. Salah satu isi naskah itu menyebutkan, HGU bisa memiliki jangka waktu 75 tahun dengan syarat dievaluasi 25 tahun sekali.

Menurut Rahma, HGU 75 tahun justru akan menambah penderitaan petani. Pada umumnya, perizinan HGU dimanfaatkan untuk perkebunan.

Kenyataan di lapangan, kata dia, perkebunan mengakibatkan petani yang tinggal di sekitar tempat itu justru miskin. Mereka tidak memiliki akses sehingga kualitas hidupnya rendah.

Selain persoalan HGU, menurut dia, hal lain yang perlu mendapat pengaturan dalam UUPA adalah pembatasan terhadap hak menguasai negara (HMN), sanksi pidana terhadap pelanggar HGU/HGB/HP, mekanisme penyelesaian konflik agraria, serta perlindungan hukum bagi masyarakat hukum adat terhadap hak atas tanah. Juga perlindungan hukum bagi masyarakat terkait dengan pembebasan tanah, serta kepastian hukum terhadap tanah-tanah masyarakat.

Petugas PPNS

Kakanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jateng Ir Bambang S Widjanarko MSP, mendukung gagasan DPD terkait pembentukan petugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang sumber daya alam (SDA) atau pertanahan.

Sebab, menurut Bambang, yang juga menjadi pembahas, perlu penanganan cepat dan tuntas pelanggaran hukum atas tanah. Pelanggaran itu kebanyakan pada pemalsuan data, penelantaran tanah, perusakan lingkungan, dan penyerobotan tanah.

Menurut Jawahir Thontowi, perlu political will dari penyelenggara kebijakan dalam menerapkan aturan agraria. Jika semua pihak memiliki keyakinan sama, UU Agraria itu nantinya akan menjadi lex generalis.

Sementara Ali Mufiz berharap, setelah revisi UUPA, regulasi itu akan menjadi payung hukum bagi semua peraturan yang berkait dengan persoalan tanah.

Pemprov menaruh harapan, penyempurnaan tetap memperhatikan aspek normatif, budaya, dan pertumbuhan ekonomi.

Pihaknya menginginkan, setelah direvisi, UUPA bisa menjadi rujukan penyelesaian masalah yang berkait dengan tanah. (H7,G7-62m)

Source: Click Here