Kedudukan Antasari Azhar (AA) sebagai tersangka kematian Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran, Sabtu, 14 Maret 2009 memiliki spectrum, tidak saja persoalan hukum, tapi juga bermuatan politis dan ekonomi. Pernyataan Jisman Panjaitan, Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI, bahwa AA sebagai otak pembunuhan “intellectual dader” mengejutkan banyak pihak. Goncangan terapis yang digunakan pihak kejaksaan dapat melemahkan nyali ketegaran KPK perang melawan korupsi.
Pesan singkat atau sms (short message service) bernada mengancam Nasrudin sebelum wafat, dijadikan dasar argumen Andi Syamsudin (adik korban) yang membenarkan sangkaan kepolisian dan kejaksaan. Persoalan cinta segitiga antara AA, korban, dengan Rany, sebagai cady golf telah memantik konflik tertutup (Latent Conflict) menjadi terbuka (manifest confilct).
Tanpa berpretensi kerja keras professional proses penyelidikan dan penyidikan polisi dan kejaksaan terkesan begitu cepat. Pelaku pembunuhan, Heri Santosa, Fransiskus, Daniel, Sei (masih buron), dan Edo sebagai keamanan dengan mudah memberi pengakuan membunuh Nasrudin. Konon perintah membunuh Nasrudin mengandung misi “tugas negara”, karena ia akan mengacaukan Pemilu membuat pelaku pembunuhan status ekonomi lemah.
Benarkah para pelaku pembunuhan termasuk barang-barang bukti, KTP, speda motor, keterangan saksi, keterangan keluarga korban mengindikasikan adanya kesesuaian dengan kesembilan tersangka? Suatu jawaban yang memerlukan kerja keras polisi dan jaksa dalam pemeriksaan di pengadilan. Jika prosedur hukum acara pidana dan penerapan asas-asas legalitas, kehati-hatian serta asas keadilan, maka fakta-fakta hukum boleh jadi bicara lain. Tapi, dapat diduga jika dipaksakan terbukti di pengadilan Antasari bersalah, maka sanksi hukuman akan jauh lebih ringan dibandingkan dengan pelaku lapangan.
Apakah sesederhana itu kejahatan pembunuhan berencana dapat diungkap. AA sebagai Ketua KPK, William Wizar mantan Kapolres Jakarta Selatan, dan Sigit Haryo, seorang pengusaha yang cermat menjadi ragu untuk dapat dipahami. Pengalaman mereka selama ini terkait dengan penegakan hukum dan berbagai modus operasi kejahatan mestinya tidak segampang itu. Suatu kategori kejahatan pembunuhan berencana (pasal 340), dilakukan bersama-sama (pasal 55) Kitab Undang Undang Hukum Pidana dengan melibatkan pejabat tinggi Negara meski biasanya tidak mudah diungkap. Rekam jejak AA dalam profesi jaksa selama 20 tahun, bukanlah orang ideal menjadi ketua KPK, memposisikan AA sebagai otak pembunuhan agak diragukan.
Namun, AA yang tidak memperlihatkan sikap melawan (resistance), justru sikap kooperatif memohon dinonaktifkan sebagai Ketua KPK ibarat kemenangan musuh tanpa perlawanan. Spektrum politis dugaan AA, sebagai otak dibalik pembunuhan Nasrudin telah menenggelamkan isu-isu politik nasional signifikan.
Koalisi besar partai politik menyoal kelemahan pelaksanaan pemilu untuk menyerang pemerintahan SBY-Kalla. Hak- hak politik penduduk tidak dapat menggunakan dalam pemilu legislatif 2009. Dua orang perempuan, sebagai staf kejaksaan terlibat kejahatan narkoba, di Jakarta sirna dari peredaran. Kewenangan besar KPK yang akan dikebiri DPR melalui perubahan UU menyisakan persoalan
Dugaan konflik kepentingan antara aktor penegak hukum mendapatkan pembenaran dari politik penegakan hukum pluralistik (legal pluralisme). Menurut Jaspan (1965:261) dan Daniel S.Lev (1972:281) keanekaragaman peraturan hukum, termasuk lembaga-lembaga penegak hukumnya bukan saja menyulitkan pilihan, tetapi juga mendorong timbulnya konflik kelembagaan. Konflik hukum antar cabang hukum Islam, hukum adat, dan hukum warisan kolonial juga berimplikasi pada konflik institusi hukum.
Dugaan AA sebagai tersangka mengundang penafsiran munculnya konflik dan permusuhan antar institusi hukum dapat dipahami. Pertama, KPK sebagai lembaga penegak hukum dalam kejahatan korupsi ditempatkan sebagai badan Negara begitu besar kewenangannya (Super Body). Status tersebut diakui oleh UU. No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sejak kelakuannya, kewenangan lebih KPK dirasakan telah memantik kecemburuan dan persaingan yang tidak sehat dikalangan penegak hukum. Misalnya, korupsi atau gratifikasi, dengan nilai di atas satu milyar, fasilitas modern, dan alat canggih pendeteksi kebohongan (Liar Detector), alat perekam dan penyadap juga benar merupakan bukti status KPK melebihi isntitusi hukum lainnya.
Kedua, KPK merupakan institusi publik, yang dalam pelaksanaan tugasnya tidak terlepas dari visi politik pemerintahan yang sedang berkuasa. Sehingga ketika, SBY mengeluarkan Keppres pemberhentian AA selaku Ketua KPK terbaca jelas sikap integritas dan netralitas Presiden.
Namun, kelompok LSM, seperti ICW, MADANI, dan Pusat Studi Anti Korupsi seperti kebakaran jenggot ketika AA dijadikan tersangka. Peran KPK yang telah berjalan efektif, dalam menggulung koruptor dapat berdampak melesu. Sebagaimana citra negatif ini terkena PADA Irawadi Yunus mantan Jaksa, Wakil Ketua KY yang terlibat uang suap jual beli tanah. Tidak mustahil penegakan hukum yang rasional dan birokratis, mestinya suatu lembaga KPK tidak berpengaruh.
Karena persepsi terhadap kebijakan korupsi belum merata, maka dalam penerapan hukum secara tegas, tanpa pandang bulu yang diperankan KPK berimplikasi dapa timbulnya permusuhan bersama. Ketika Rusdihardjo, mantan Kapolri dan juga mantan duta besar RI di Malaysia diseret maju ke meja hijau dan Sujitno Landung turut terkubur karirnya di Kejaksaan Agung, seperti Urip Tri Gunawan, Kemas Yahya Rahman. Resiko tinggi ini juga harus dihadapi ketika Al Amien Nasution dari PPP, Yusuf Emir Faisal dan Abdul Hadi Jamal.
Ketiga, gerakan KPK perang melawan korupsi melahirkan konflik, belum terumus dalam grand design penegakan hukum berpadu. Bidikan KPK terhadap para koruptor sebagai subyek hukum pribadi terkadang disalah artikan. Nilai-nilai budaya masyarakat, seperti paternalistik, budaya upeti, dan kekeluargaan masih berlaku dominan, sehingga urusan pribadi dengan kelembagaan tidak dapat dipisahkan. Kesalahan individual dilakukan oknum penegak hukum dan menjadi pergunjingan masyarakat terkadang dimaknai sebagai penodaan citra negatif lembaga. Sehingga dalam konteks ini AA sebagai mantan Jaksa Senior dipandang tidak layak atau bahkan dicap sebagai destroyer.
Terakhir, lahirnya perseteruan terhadap KPK dikaitkan dengan berbagai penangkapan atas oknum pejabat Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintahan, dan niat baik DPR. Sekilas pandang sikap arogansi, ada kecenderungan over acting dan kurang mawas diri tidak tebang pilih menjadi bumerang. Selain itu, kelemahan KPK yaitu pengendalian diri, kebencian petugas KPK terhadap koruptor, dan kurang arif melakukan pendekatan kelembagaan menjadikan faktor psikologis munculnya permusuhan. Kecenderungan penghinaan atas parlemen contempt of parliament hampir timbul ketika petugas KPK menggeledah ruangan anggota-anggota DPR.
Dalam kasus gratifikasi citra institusi ikut tercoreng ketika Artalita melakukan komunikasi dengan beberapa pejabat kepolisian, kejaksaan direkam dan didengar berulang kali oleh masyarakat merupakan bukti KPK kurang peduli terhadap kode etik penegakan hukum.
Gerakan perang melawan korupsi, dengan membiarkan peran KPK menjadi super body bukan saja merupakan bentuk pembiaran berlangsungnya permusuhan antara aktor penegak hukum. Tapi juga, menghadirkan Rani, cody golf menajdi sangat penting karena menajdi faktor pemicu konflik terbuka yang dapat membuka tabir pelaku pembunuhan yang boleh jadi terbukti kebenarannya di pengadilan. Namun, akan tetap the rule of law dan keadilan prosedural akan menuntun putusan hakim meringankan sanksi bagi mantan pejabat.
Penulis : Jawahir Thontowi SH., PHD
Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
***