Oleh : Jawahir Thontowi SH.,PHD.
Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Sudah lebih dari tiga tahun (7 September 2007) kasus wafatnya pejuang HAM Munir telah berlalu. Tetapi, proses peradilan dari tingkat pertama hingga pintu gerbang penegakan hukum tertinggi MA RI masih menyisakan banyak kemusykilan. Kemusykilan tersebut antara lain, MA dalam keputusan Kasasinya membebaskan Polly dari tuntutan hukum, inkracht. Di balik itu, sepertinya ada kejanggalan bahwa pihak kejaksaan melakukan PK atas putusan MA tersebut. Biasanya yang menghadirkan bukti baru adalah pihak terpidana. Dalam hal ini, justru berbeda sebab kejaksaan menemukan bukti baru, dengan menghadirkan Indra Setiawan dan Nurhaenul sebagai mantan petinggi Maskapai Garuda, sebagai bukti baru, novum, juga telah menuai kontroversi.
Memang jika kasus wafatnya Munir hanya dilihat dari pendekatan hukum murni, tanpa melibatkan adanya pendekatan lain, politik dan budaya yang telah menjadi tradisi penegakan hukum di Indonesia, maka upaya untuk mencari ada tidaknya aktor intellektual (inttellectual actor) tidaklah mudah. Akan lebih sulit lagi untuk memperkarkannya secara hukum. jika dugaan keterlibatan adalah oknum aparat kekuasaan negara, seperti BIN. Sehingga dalam konteks ini, yang diperlukan bukan saja model pendekatatan semata seperti hukum pidana dan HAM, tetapi juga perlu dilihat dari aspek budaya hukum. Continue reading