Banyak Pejabat Korupsi Bahasa

PROF. Dr. Jawahir Thontowi, Ph.D mendapat ucapan selamat dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, usai pengukuhan sebagai guru besar ilmu hukum di Kampus Terpadu UII Jln. Kaliurang Km.14 Sleman, Yogyakarta, Selasa (20/12).*

YOGYAKARTA, (PRLM).- Perbuatan korupsi yang tidak menimbulkan dosa dan merugikan keuangan negara sangat sering dilakukan oleh para pejabat dengan cara mengubah kata atau istilah. Mereka tidak menyadari jika mengubah kata atau istilah berakibat pada ketidakpastian hukum dan berdampak menjauhkan hukum dari keadilan.

“Akronim Soetta dari Ir. Soekarno dan M. Hatta, Presiden RI dan Wakil Presiden RI, yang saat ini diabadikan di bandara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Akronim Soetta, Soekarno-Hatta menjadi kabur makna dan citra positifnya,” kata Prof. Jawahir Thontowi, Ph.D saat pidato pengukuhan sebagai guru besar ilmu hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Selasa (20/12).

Dia menyampaikan contoh lain seperti curanmor atau pencurian kendaraan bermotor. Istilah curanmor menjadi permisif bagi masyarakat. Masalah timbul ketika kepastian hukum atas kejahatan pencurian menjadi hilang bagi masyarakat yang bukan penegak hukum.

Demikian halnya istilah upal atau uang palsu. Diksi bahasa upal lebih terasa bukan kejahatan atau mengesankan kejahatan tidak mudah diidentifikasi. “Penghalusan bahasa yang tampak terdengar kasar (coarseness) menjadi lebih halus dikenal sebagai eupimisme dimungkinkan. Contoh penghalusan hukum perang menjadi hukum humaniter. Tetapi ini sesungguhnya bermasalah. Dalam hukum internasional, penyingkatan bahasa dimaknai ancaman karena dapat menghilangkan kepastian hukum,” kata dia saat menyampaikan pidato guru besar dengan tema “Ilmu Hukum Berkeadilan”.

Ketua Yayasan Budhi Bakti Jabar di Yogyakarta, mengingatkan penyingkatan istilah tidak lepas dari tradisi hukum nasional yang
diterapkan secara intimidatif. “Imbasnya sangat jelas, hukum nasional Indonesia berkarakter koruptif. Karakter hukum koruptif yang menjauhkan dari keadilan,” ujar dia.

Berkaitan perkembangan hukum pasca reformasi 1998, dia menyatakan perubahan besar dalam sistem politik dan sistem hukum nasional tidak berbanding lurus bidang hukum. “Hukum tidak menjadi panglima di negeri hukum ini,” kata dia.

Arah politik pembangunan hukum nasional, menurut dia, tidak terakomodir dalam amandemen UUD 1945 menjadi salah satu faktornya. Terjadi tumpang tindih muatan undang-undang. Sedang dominasi politik menyandera supremasi hukum. “Supremasi hukum yang menuntut cara-cara yang jujur, terbuka dan bertanggungjawab tidak tercermin,” kata dia.

Dia mencontohkan kasus pasal tentang tembakau hilang dari UU Kesehatan, diusut lalu hilang. Kemudian “amplop-amplop” terbang dalam pemilihan pejabat seperti kasus pemilihan Deputi Gubernur BI.

Kasus tidak fair dan melanggar hukum diperparah dengan bebragai intervensi kekuatan asing atau pemilik modal yang juga “membeli pasal” untuk menyokong dan melancarkan invasi bisnis mereka. “Karkater pembuatan peraturan hukum korupsi dijumpai dalam pekerjaan lembaga legislatif,” kata dia. (A-84/A-147)***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/170096 ,