Hampir setiap penghujung dan awal tahun baru, masyarakat internasional merasa cemas dan khawatir atas ancaman bahaya terorisme. Pendudukan teroris di hotel Taj Mahal, Mumbai, pada 26-29 November, merupakan peristiwa yang menghantuinya. Apalagi hampir 200 orang tewas dan melukai lebih dari 500 warga sipil tak berdosa. Akibatnya, saling curiga antara warga negara India berbeda agama, dan suasana hubungan diplomasi pemerintah India dengan Pakistan turut terganggu.
Terhadap bahaya teroris tersebut, pemerintah Indonesia telah mengantisipasinya. Widodo AS, Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, 18 Desember, telah menggelar gabungan pelatihan TNI dan Polri untuk menanggulangi terorisme. Pelatihan tersebut melibatkan 357 personal gladi pos komando dan 6954 personel gladi lapangan. Suatu komitmen tinggi pemerintahan SBY untuk tak henti perang melawan terorisme.
Namun, kebijakan penanggulangan terorisme seperti itu tampaknya masih belum mampu menjawab akar masalahnya terorisme. Pengamanan dilakukan TNI dan Polri justru boleh jadi dapat menimbulkan kekerasan negara (state violence), manakala tidak dibarengi pendekatan kesejahteraan (welfare) dan kemakmuran (prosperity). Mereka yang tergolong sedang ditahan atau diadili, maupun yang telah dieksekusi mati, seperti Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra, umumnya secara sosial, ekonomi, dan pendidikan terpinggirkan.
Atas dasar fakta tersebut, ada kewajiban hukum dan moral bagi pemerintah Indonesia, untuk melihat lebih dalam akar-akar persoalan, serta motif di balik tindakan teroris tersebut. Ketimpangan sosial-politik dan hukum tersebut, acapkali menjadi ruang kosong sebagian warga negara menggunakan tindakan terorisme yang mencederai kerukunan hidup umat beragama dan perdamaian dunia.
Kesepakatan Internasional
Undang-Undang No 15 tentang Tindak Pidana Terorisme dirasakan telah bekerja efektif dalam mengurangi kuantitas dan kualitas kejahatan teroris di Indonesia. Sebagai instrumen hukum nasional, meski terdapat kekurangan UU Terorisme telah berkesesuaian dengan hukum internasional. Menempatkan kejahatan teroris sebagai kejahatan internasional (international crime). Karena dapat disejajarkan dengan pembunuhan masal etnis, agama dan ras (genocide), kejahatan perang (war crimes), kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) dan kejahatan agresi (crime against agression).
Tetapi, dalam proses hukum acara pidananya, seperti penyelidikan dan penyidikan memiliki perbedaan mendasar. Misalnya, atas dasar prinsip pre-emptive, penangkapan terhadap tersangka dilakukan tanpa bukti memadai menjadi tidak melanggar asas praduga tak bersalah. Tim Densos 88 Anti Teroris, terdiri dari Polri dan TNI telah menjadi institusi khusus cukup handal. Keterlibatan TNI diatur dalam Pasal 7 UU nomor 34 Tahun 2004 tentang Kedudukan TNI. Oleh karena, terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang membahayakan keutuhan negara, maka TNI ikut serta dalam penanganan terorisme sebagai salah tugas operasdi militer selain perang.
Perbedaan lain dengan kejahatan biasa adalah pemberlakuan prinsip jurisdiksi universal (Universal Jurisdiction), atau dasar erga omnes. Negara-negara di dunia, baik yang pernah dirugikan atau tidak oleh tindakan teroris, diwajibkan melakukan penuntutan atau mengektradisinya bila dikehendaki, termasuk pemberian bantuan hukum. Negara juga tidak diperkenankan memberikan pemaafan, impunity terhadap kejahatan kemanusiaan, termasuk pelaku terorisme (M.Cherif Bassiouni. Law Contemporary Problems. 1997: 17).
Konspirasi Melawan Terorisme
Kewaspadaan akan bahaya terorisme menuntut pemerintah Indonesia selalu aktif melakukan kerjasama tukar menukar informasi intelejen dengan penuh asing. Gerakan teroris yang berada di bawah tanah dapat melumpuhkan fasilitas teknologi moderen menjadi tidak efektif. Pusat Intelejen Amerika, CIA gagal mendeteksi secara dini, daerah-daerah vital World Trade Centre dan gedung Pentagon, dari serangan pesawat terbang teroris, suruhan Osama bin Ladin. Konsekuensinya, prosedur hukum tidak berjalan mudah, tapi justru penuh curiga.
Dugaan konspirasi dalam peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat masih menuai kontroversi. Menurut David Gray Griffin, penulis buku: The 9/11 Commission Report: Omissions and Distortion, (2005:5), serangan 11 September telah direncanakan dan diperintahkan oleh Osama bin Ladin. New York Times, 23-27 April 2004, menyatakan 56 persen masyarakat Amerika percaya pemerintah Bush menyatakan kebenaran fakta, tetapi menyembunyikan sesuatu di balik peristiwa tersebut. the Bush Administration was “mostly telling the truth but hiding something about what it knew prior to September 11.”
Di Kanada, hasil polling nasional menyebutkan sekitar 63 persen percaya bahwa beberapa individu dari pemerintahan Bush di Gedung Putih mengetahui serangan tersebut sebelumnya. Pemerintah AS sendiri yang memerintahkan serangan itu sendiri, ”the US government ordered the attacks itself”Temuan ini justru sangat populer di masyarakat Perancis, Italia dan juga Jerman..
Jika persekongkolan tersebut benar, maka menjadi masuk akal jika pembiaran serangan teroris tersebut oleh aparat keamanan AS, sesungguhnya dalam upaya mencari bukti pembenaran politis terhadap perang melawan kelompok ekstrimis Muslim. Osamah bin Ladin merupakan simbol ektrimis Muslim, yang dengan mudah dijadikan kambing hitam, scape-goat, untuk dipergunakan sebagai pemantik pernyataan perang melawan terorisme bagi ekstrims Muslim di negara manapun yang mendukungnya.
Karena, Resolusi Dewan Keamanan PBB telah menjatuhkan sanksi militer terhadap Afganistan dan Irak. Sampai kini, negara yang dulu berdaulat penuh prahara tanpa kedamaian. Pemerintahan Afganistan dipersalahkan tidak mau menyerahkan Osama bin Laden ke pemerintahan Amerika Serikat. Sedangkan, Saddam Husain, rejim pemerintahan Irak telah memberikan dukungan fasilitas dan pendanaan, terhadap pelaku teroris.
Ancam Suasana Perdamaian
Agar penanggulangan kejahatan teroris dapat berfungsi menekan timbulnya ancaman kerukunan hidup antara umat beragama dan perdamaian antara negara tetangga, maka sudah sepantasnya pemerintah Indonesia mengembangkan pendekatan lebih komprehensif, selain pengunaan pendekatan keamanan dan petahanan.
Pertama, pemerintah Indonesia dalam perang melawan terorisme harus berupaya mencegah terjadinya ruang kosong penegakan hukum yang tidak berkeadilan. Terorisme sebagai fenomena global, timbul akibat peran negara mengabaikan keadilan masyarakat lemah.
Dalam suasana masyarakat dunia sedang merayakan hari raya Natal dan tahun Baru, menjadi sangat signifikan ketika pencegahan penaggulangan kejahatan terorisme diorientasikan pada upaya menekan timbulnya ketidak adilan sosial, ekonomi dan politik masyarakat tertindas.
Kedua, pemerintah Indonesia perlu menindak dengan tegas atas penyebar luasan informasi yang dapat mengeruhkan hubungan harmonis dan kerukunan hidup umat beragama. Penghinaan dan pelecehan atas identitas Islam, seperti atas jilbab, Al-Qur’an, gambar kartun Nabi Muhammad, telah dijadikan obyek penistaan di internet. Seperti di AS, Australia, Canada, Inggris, Jerman, Belanda dan Perancis. Malah di Perancis, pelarangan terhadap siswi-siswi untuk tidak memakai jilbab juga sempat menjadi kontroversi.
Ketiga, pemerintah Indonesia perlu mengambil pelajaran berharga dari peristiwa teroris bom di India. Terutama, dalam menerapkan kebijakan hubungan diplomasi dengan negara-negera tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura. Pelaku teroris bom di Indonesia, umumnya telah mengenyam kehidupan sosial keagamaan di Malaysia, sejak setelah mereka kembali dari kamp-kamp Afganistan tahun 1980-an. Dr. Azhari, Nurdin Top warga Malaysia yang memberikan kontribusi sognifikan bagi lahirnya kader-kader teroris. Hubungan Indonesia dengan Malaysia juga dapat menjadi lebih sensitif ketika kasus TKI, masyarakat di wilayah perbatasan tidak memperoleh perhatian khusus.
Tali temali hubungan warga negara, telah menjadi persoalan hubungan kedua negara. Dalam faktanya, meski peperangan antara Pakistan dengan India tidak terjadi, ketegangan hubungan diplomasi tidak dapat dihindarkan. Pemerintah Pakistan menolak menyerahkan warga negaranya, sebagai pendukung At-Thoiba. Konon dulu memiliki jaringan dengan Al-Qaida sebagai salah penyebabnya.
Pemerintah Pakistan memiliki hak untuk menahan dan mengadili sendiri para pelaku di negaranya masing-masing. Adanya prinsip nasionalitas aktif yang syah dalam hukum internasional merupakan argumen hukum nasional Pakistan lebih diutamakan daripada hukum internasional.
Singkat kata, dalam mengakhiri dan menyambut tahun baru 2009 yang rukun dan damai, sudah sepantasnya Presiden SBY menekankan pentingnya pendekatan kesejahteraan dan kemakmuran, selain keamanan dan pertahanan, baik ancaman yang tuimbul dalam dan luar negeri. Agar ruang kosong ketidakadilan sebagian masyarakat yang lemah tidak menjadikan sebagai alasan pembenar tindakan terorisme.
Penulis : Jawahir Thontowi SH., PHD
Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
******************