SEJARAH 1965 BISA TERULANG?

ISTIQLAL (18/7/99) # SEJARAH 1965 BISA TERULANG?

Oleh: Alam Tulus

Dr Jawahir Thontowi, pakar antropolog hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogya, mengatakan, bila kasus Soeharto tidak dibuktikan di
pengadilan, maka sejarah tahun 1965 bisa terulang. Hanya dimensi dan
bentuknya yang berbeda.
Setelah Bung Karno jatuh, kata Jawahir, tidak diikuti dengan
proses peradilan. Dampaknya. Hingga kini masyarakat tak pernah punya
kepastian hukum, apa, dimana, dan bagaimana posisi Bung Karno yang
sebenarnya ketika itu. Semuanya tidak jelas.
Dalam diskusi “Kekerasan dalam budaya Hukum Indonesia”, di
Fakultas Hukum UII Yogyakarta, kemarin, Jawahir menyebutkan akibat tidak
adanya kepastian hukum itu, berbagai pemikiran, paham dan ideologi yang
dulu dikembangkan Bung Karno, oleh pemerintah Orde Baru sering dinilai
menyesatkan.
Tapi, kini banyak yang menilai pemikiran Bung Karno itu layak
diterapkan. Ini bisa kita lihat dari munculnya kembali romantisme masa
lalu, yang ditandai dengan maraknya penggunaan simbol-simbol yang
dipergunakan Bung Karno. Bahkan dalam pemilu kali ini banyak parpol
memanfaatkan figur Bung Karno untuk menarik simpati massa, tandasnya.
Jawahir melihat bila Soeharto tidak diadili, pengulangan sejarah
akan terjadi lagi di masa mendatang. Bukan mustahil di masa mendatang, dia
muncul kembali sebagai tokoh yang diidolakan masyarakat.
Peristiwa kejatuhan Bung Karno dan Soeharto ada kesamaan. Yaitu
keduanya jatuh dari kursi kepresidenan akibat munculnya aksi mahasiswa.
Dan pemicu utamanya adalah kondisi ekonomi yang sakit dan kritis.
Melihat kenyataan seperti itu, lanjutnya, penangangan hukum
terhadap Soeharto harus dilaksanakan sesegera mungkin. Terlepas dari
terbukti atau tidaknya kesalahan itu di pengadilan nanti, tapi kepastian
hukum seperti ini amat diperlukan bagi generasi mendatang, demikian
Jawahir.
Mencermati penilaian Jawahir tersebut timbul beberapa pertanyaan:
Benar kah sebab kejatuhan Soekarno dan Soeharto, yaitu sama-sama akibat
munculnya mahasiswa? Mengapa kejatuhan Bung Karno tidak diikuti dengan
penyeretannya ke pengadilan? Mungkinkah masih akan ada yang mengidolakan
Soeharto di kemudian hari, bila Soeharto tidak sampai diadili?
Marilah kita coba menjawabnya.

SAMA DAN TAK SAMA
Menurut Jawahir, peristiwa kejatuhan Bung Karno dan Soeharto ada
kesamaan. Yaitu keduanya jatuh dari kursi kepresidenan akibat munculnya
aksi mahasiswa. Benarkah sepenuhnya sama proses jatuhnya kedua presiden
itu? Jika hanya dilihat secara sepintas memang ada kesamaan, yaitu
sama-sama mahasiswa yang muncul. Tetapi apakah kemunculan mahasiswa itu
akibat yang sama, atau berbeda dan tidak sama?
Yang jelas mahasiswa yang berperan menjatuhkan Suharto dari
kepresidenan adalah mahasiswa yang mandiri, yang didukung oleh rakyat.
Dalam gerakannya, mahasiswa ini sering berhadapan dengan ABRI. Berbeda
dengan mahasiswa yang turut menjatuhkan Presiden Sukarno dari
kekuasaannya. Mereka didukung oleh militer dan malah militer menjadi
pembinanya. Hal itu dengan jelas dikemukakan Oei Tjoe Tat dalam memoarnya
yang terbit pada 1995. Antara lain Oei Tjoe Tat mengatakan: “Terlalu naif
untuk tidak bisa memahami bahwa para mahasiswa/pemuda ketika itu memang
telah dijadikan alat belaka oleh pihak militer untuk mendongkel Bung
Karno, walaupun mereka sendiri sebenarnya penuh idealisme, tapi di lain
pihak mereka belum matang politik dan tidak berpengalaman.
Hal ini belakangan terbukti, bahwa cukup banyak mahasiswa
demonstran yang ikut-ikutan di tahun 1965/1966 itu, kemudian menyesal dan
beroposisi terhadap kekuasaan yang mereka sebelumnya dukung. Apa yang
terjadi dalam tahun-tahun 1965/1966 sampai sekarang memang belum belum
berada dalam sorotan yang benar.
Bermimpi jika orang mengira, demonstrasi-demonstrasi
KAMI/KASI/KAPPI berlangsung spontan, karena kekuatan dan wawasan sendiri
tanpa ada dalang yang mengatur dibelakang, tanpa perlindungan, tanpa
pembinaan golongan yang pegang bedil” (hal: 321-322).
Jadi, sama munculnya mahasiswa, tapi yang menyebabkan munculnya
mahasiswa itu berbeda. Di rahun 1965/1966 dimunculkan oleh yang pegang
bedil, sedang di tahun 1998 digerakkan oleh hati nuraninya.

MENGIDOLAKAN SOEHARTO?
Dr Jawahir mengemukakan, bukan mustahil bila Soeharto tidak
diadili, dia muncul kembali sebagai tokoh yang diidolakan masyarakat.
Malah bila Soeharto tidak sampai diadili, tentu sementara orang akan
menganggap Soeharto adalah di jalan yang benar selama berkuasa 32 tahun.
Orang-orang itu tetap akan mengidolakan Soeharto.
Persoalannya menjadi lain bila Soeharto diadili. Segala kejahatan
kemanusiaannya akan terungkap. Dengan demikian hanya preman-preman yang
akan terus mengidolakannya.
Memang benar, bahwa kemungkinan untuk kemungkinan munculnya
neo-Soehartois lebih kecil, bila Suharto sampai diadili dan dibuka semua
bentuk kejahatan yang dilakukannya. Jika muncul juga neo-Soehartois di
kemudian hari, maka rakyat banyak tentu akan memencilkan mereka.
Bila hingga kini Soeharto juga belum diadili, karena yang memegang
kekuasaan masih orang-orang Soeharto. Soeharto jauh-jauh hari sebelum
lengser sudah menyatakan tidak mau sampai diri dan keluarganya diadili.
Hal itu dengan jelas dikatakannya kepada Mashuri, mantan Menpen dan Wakil
Presiden Hamengku Buwono IX diwaktu lalu. Hal itu diterangkan Mashuri
kepada majalah Independen Maret 1996. Lebih lengkap sbb.:
“Suatu kali saat masih menjadi menteri saya menghadap Soeharto.
Dalam kesempatan ini secara tidak langsung saya mengingatkan beliau agar
tidak terus-terusan jadi Presiden. Tapi ternyata ia nggak senang. Dan hal
yang sama juga pernah dialami Sultan (maksudnya Hamengku Buwono IX). Nah,
sejak itu saya dan juga Sultan dianggap mau mendongkel. Kemudian
pelan-pelan saya pun mulai disingkirkan.
Pernah juga Soeharto menyatakan bersedia mundur, tetapi dengan
syarat tak ada tuntutan apa-apa terhadap dia dan keluarganya. Tapi,
ternyata Sultan nggak mau comitted dengan syarat tersebut. Dia sudah nggak
percaya lagi pada Soeharto. Akibatnya Sultan mengundurkan diri, tak mau
lagi dipilih jadi Wakil Presiden.”
Mashuri tidak menjelaskan mengapa Soeharto mengemukakan syarat
demikian untuk bersedia mundur. Tentu Soeharto telah merasa bahwa dosa tak
berampun telah dilakukaknnya kepada rakyat di masa ia berkuasa, di
antaranya pembantaian massal yang jutaan terhadap massa anggota dan
simpatisan PKI di tahun 1965/1966; kudeta merayap yang dilakukannya
terhadapPresiden Soekarno; keserakahan keluarganya dengan menggunakan
fasilitas kedudukannya Soeharto untuk menjadi konglomerat dan sebagainya.
Jika Soeharto merasa tidak berdosa kepada rakyat, tentu ia tidak perlu
mengemukakan syarat,” dirinya dan keluarganya tidak akan dituntun”.

KENAPA BUNG KARNO TAK DIADILI SOEHARTO?
Mengapa Bung Karno sampai tidak diadili oleh Soeharto, padahal
Soekarno sudah dicap sebagai “Gestapu Agung” dan sudah berada dalam
genggam kekuasaan Soeharto sepenuhnya?
Bung Karno sampai tidak diadili Soeharto, bukan karena Bung Karno
menolak diadili, seperti syarat yang diajukan Soeharto bila ia tidak jadi
presiden lagi. Malah bagi Bung Karno lebih cepat dirinya diadili oleh
Suharto lebih baik, karena dengan melalui pengadilan ia akan bisa
membongkar siapa dalang G30S yang sesungguhnya. Dari mimbar pengadilan itu
tentu akan lahir “Indonesia Menggugat II”. Yang pertama “Menggugat”
kolonialisme Belanda.
Bagi Soeharto mengadili Soekarno sama dengan bunuh diri. Karena
itu dengan berbagai dalih, persoalan pengadilan terhadap Soekarno
didiamkannya saja. Soeharto sudah bisa memperkirakan bahwa bila Soekarno
diadili, maka melalui pengadilan itu ia akan menelanjangi rencana jahat
dirinya, untuk menggulingkan Soekarno dari kekuasaannya.
Dengan mengikuti gaya Bung Karno dalam “Indonesia Menggugat”,
yakni menggugat kolonialisme Belanda, maka dalam “Indonesia Menggugat Orde
Baru” beliau akan memperjelas apa yang secara tertulis beliau sampaikan
pada MPRS, yaitu pelengkap Nawaksara 1966. Yaitu ada tiga faktor yang
menyebabkan terjadinya peristiwa G30S: 1. Pimpinan PKI telah masuk
perangkap; 2. Neo-kolonialisme secara licik telah melancarkan subversif;
3. Terdapat unsur tertentu yang telah melakukan hal-hal yang salah.
Tentang hal yang pertama tentu akan beliau kemukakan, bahwa
pimpinan PKI DN Aidit telah terperangkap dengan isu Dewan Jenderal hendak
melakukan kup sekitar hari ulang tahun ABRI (5 Oktober 1965). Diperkirakan
oleh pimpinan PKI, bila kup itu sampai terjadi dan berhasil, kekuasaan
Presiden Soekarno akan tumbang, sekaligus merupakan pukulan berat bagi
PKI.
Untuk menghindari pukulan itu timbul “ide mendahalui” daripada
“didahului”. Tetapi sebelum ide pimpinan PKI “mendahalui” dijalankan,
ternyata pihak yang hendak melakukan kup “telah mendahalui” PKI, dengan
menyusupkan agennya ke dalam Biro Khusus PKI.
Penyusupan agen luar ke dalam Biro Khusus PKI tidak diketahui oleh
pimpinan PKI, maka dengan mudah oleh sang agen dibelokkan apa yang menjadi
rencana PKI, sehingga yang terjadi ialah apa yang direncanakan boss-nya si
agen. PKI masuk dalam perangkap. Ide mendahalui dari pimpinan PKI, adalah
ide dari sang agen.
Tentang hal yang kedua tentu oleh Bung Karno akan dibeberkan
rencana neo kolonialisme (Inggris, Amerika) untuk menggulingkan
kekuasaannya. Baik melalui membantu kaum pemberontakan PRRI/Permesta.
maupun mendirikan proyek Nekolim: Malaysia. Juga akan dijelaskan adanya
persekongkolan neo-kolonialisme dengan orang tertentu di Indonesia.
Juga akan dibongkar kasak-kusuk Dubes AS Howard P Jones serta
atase militer AS Kolonel Benson pada MBAD, yang tujuannya untuk
mempengaruhi agar MBAD menolak rencana Presiden Soekarno untuk membentuk
kabinet Nasakom. Satu kegiatan subversif untuk mengantarkan kekuasaan
Soekarno ke bara api, seperti yang dikemukakan Frank Wisner (Deputi
Direktur Perencanaan) kepada Kepala Divisi Timur Jauh pada 1956.
Presiden Soekarno tentu juga akan membuka kembali “dokumen
rahasia” yang beliau temui pada tahun 1965, yang telah beliau sampaikan
pada Rapat Para Panglima Daerah Militer. Dokumen Rahasia itu berisi
rencana untuk membunuh Presiden Soekarno, Dr Subandrio, dan Letjen Ahmad
Yani sebelum Konferensi Asia Afrika II dimulai. Jika rencana itu gagal
akan dilakukan limited attack (serangan terbatas) yang akan mendapatkan
bantuan dari “kawan-kawan mereka di Indonesia”. Jika rencana limited
attack itu gagal juga, akan dipakai cara lain, yaitu dengan jalan membuka
rahasia Presiden Soekarno, Dr Subandrio, dan Letjen Ahmad Yani, terutama
rahasia-rahasia pribadi.
Tentang hal yang ketiga, beliau akan jelaskan adanya sementara
perwira tinggi Indonesia yang berusaha menyabot pengganyangan Malaysia
dengan cara diam-diam (tanpa sepengetahuan pemerintah RI), yakni melakukan
perundingan dengan malaysia. Usaha menyabot pengganyangan Malaysia
diorganisasi oleh kelompok Soeharto-Ali Murtopo-Yoga Sugama. Usaha
penyabotan itu telah dimulai sejak tahun 1964. Karena mereka tak setuju
dengan politik luar negeri Presiden Soekarno. Kelompok penyabot ini
jugalah yang berperan dalam peristiwa G30S ini.
Besar kemungkinan, bila sampai lahir Indonesia Meggugat II, yang
berisi gugatan terhadap Orde Baru, akan beliau tekankan bahwa jenderal
Soeharto lah yang bertanggungjawab atas terbunuhnya Jenderal Ahmad Yani
cs. Sebab, beberapa jam sebelum operasi G30S dilancarkan, Jenderal Suharto
telah diberitahu Kolonel Latief, bahwa sebentar lagi akan dilakukan opersi
terhadap dewan jenderal yang akan melakukan kup. Ternyata Jenderal Suharto
tidak melarang atau mencegah kelompok perwira kolonel Latief meneruskan
rencana operasinya. Malahan dengan tenang Soeharto pergi tidur.
Itulah latar belakangnya maka Bung Karno tidak sampai diadili ke
pengadilan oleh Soeharto.
Jelas kiranya, ada perbedaan antara tahun 1965 dengan tahun 1998.
Di tahun 1965 Bung Karno tidak terus diajukan ke pengadilan, karena
Suharto takut melalui mimbar pengadilan, Bung Karno akan membongkar usaha
Soeharto untuk menggulingkannya dari kekuasaan. Pada tahun 1998/1999 ini
Soeharto juga belum diseret ke pengadilan, karena yang berkuasa masih
orang-orang Soeharto. Dan Soeharto sejak lama memang berusaha
menghindarkan diri dari keluarganya jangan sampai diseret ke pengadilan
setelah tidak berkuasa lagi.
Kejatuhan Bung Karno bukan arena munculnya mahasiswa, melainkan
karena mahasiswa itu dapat dijadikan alat oleh pihak militer, yang ingin
menggulingkan Soekarno dari kekuasaan dan menegakkan rezim militer. Sedang
kejatuhan Soeharto, benar disebabkan oleh munculnya mahasiswa yang
didukung penuh oleh rakyat yang sudah muak melihat kekuasaan Soeharto.
Benar, bila Suharto tidak sampai diadili, maka
pengikut-pengkutnya, yang diuntungkan oleh kekuasaan Soeharto akan terus
mengidolakan Soeharto. Sistem fasisme akan terus mereka tegakkan. Mereka
anggap itu adalah kebenaran.
Untuk Indonesia baru yang demokratis, Soeharto memang harus
diseret ke pengadilan seperti yang diharapkan Dr Jawahir Thontowi
tersebut.***

Sumber: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1999/07/18/0035.html