Membingkai Keistimewaan Yogyakarta

Lahirnya Undang-Undang Keistimewaan menjadi harapan untuk mengakhiri ketidakpastian payung hukum  keistimewaan. Berbagai hal coba diatur. Dari soal pengisian gubernur –wakil gubernur hingga proses transisi. Semuanya diupayakan agar ”sidang rakyat” lima tahunan tak terus berulang.

Boleh jadi, tahun 2008 akan menjadi tahun terakhir bagi Sultan Hamengku Buwono (HB) X menjabat Gubernur DI. Yogyakarta. Pasalnya, dalam berbagai kesempatan, Raja Keraton Yogyakarta ini menegaskan tidak lagi bersedia menjadi Gubernur pasca 2008. “Dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia lagi menjabat Gubernur DIY,” ujar HB X dalam acara “Malam Bhakti Ibu Pertiwi” di Pegelaran Keraton Yogyakarta, Sabtu 7 April lalu. Sontak, masyarakat Yogya kaget. Pernyataan tersebut jelas memantik perdebatan lama soal keistimewaan Yogyakarta yang tak kunjung usai.

Dilihat dari regulasi, perdebatan ini muncul karena mekanisme pengisian jabatan gubernur di Yogyakarta tak kunjung tuntas. Regulasi yang ada, misalnya UU 32/2004, belum memberi kejelasan hukum bagi keistimewaan, terutama aspek politik dan pemerintahannya. Tiadanya regulasi ini membuat banyak pihak mencari solusi dengan membuat Naskah akademik berikut rancangan undang-undang keistimewaan (RUUK) Yogyakarta, seperti Tim Pemerintah Provinsi DIY, Tim Jurusan Ilmu Pemerintahan-Universitas Gadjah Mada (JIP-UGM), dan Tim Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Pilihan HB X untuk tak lagi memangku jabatan Gubernur jelas memberi “angin baru” dalam semesta pembicaraan keistimewaan, terutama soal mekanisme pengisian jabatan gubernur. Selain itu, pilihan tersebut menegaskan sinyal jati diri Keraton yang selalu dinamis-responsif dengan arus zaman. ”Pernyataan Sultan relevan dengan kondisi saat ini. Selain itu, ini memungkinkan munculnya model baru pengisian jabatan Gubernur di masa datang,” ujar Jawahir Thontowi, Ketua tim Perumus Naskah Akademik DPD RI.

Meretas Jalan Menjadi Gubernur

Dahlan Thaib, dari Tim Perumus RUUK Pemprov DIY, menyatakan, substansi penting RUUK terletak pada mekanisme kepemimpinan daerah. “Gubernur harus dijabat Sultan, sedangkan Wagub adalah Paku Alam,” jelas Asisten I Pemerintahan Provinsi DIY saat dihubungi Flamma via telepon. Dahlan mengaku, draf RUUK Tim Pemprov DIY telah disiapkan selama setahun, mulai tahun 2004, dan saat ini sudah masuk ke Depdagri.

Kini, walau Sultan HB X sudah menyatakan ketaksediaannya menjabat gubernur, Dahlan bersikukuh tidak akan merevisi draf RUUK yang dibuat timnya. “Kita lihat aja. Tim tidak melakukan revisi lagi, tetap sebagaimana format lama yang sudah ada di Degdagri,” tandasnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Yogya ini mengacu pada prinsip kehendak rakyat adalah hukum tertinggi. “Tidak perlu ada pilkada di DIY, karena yang harus berjalan adalah penetapan,” tegasnya. “Kalau rakyat mau, Sultan tetap jadi Gubernur,” imbuh Dahlan.

Yang jadi soal, opini masyarakat perihal KY ini beragam. Ini terungkap, misalnya, dari hasil Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta bersama Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) UGM, medio April lalu di Bantul, Kulonprogo, dan Gunung Kidul. Terutama soal cara pengisian jabatan gubernur dan wagub, muncul setidaknya tiga pendapat. Kelompok pertama menghendaki penetapan Sultan sebagai gubernur. Kelompok kedua menghendaki gubernur dipilih rakyat, tapi calonnya tetap berasal dari Keraton. Kelompok ketiga menghendaki pemilihan gubernur secara langsung.

Berbeda dengan Tim Pemprov, Tim Naskah Akademik dan RUUK dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merumuskan bahwa pasangan gubernur dan wagub D.I.Yogyakarta dipilih secara demokratis berdasarkan peraturan yang berlaku. RUUK versi Tim DPD juga bukan UU baru seperti Tim Pemprov, namun sebatas amandemen terhadap UU No. 3/1950 Pembentukan DIY.

Dalam rumusan RUUK DPD, pasangan cagub-cawagub diajukan partai politik dan/atau gabungan partai politik, serta membuka pintu bagi calon independen. Soal calon independen, draf usulan DPD sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu yang memberi kesempatan calon perseorangan untuk mengikuti proses Pilkada.

Anggota Tim Perumus RUUK DPD, Hestu Cipto Handoyo menjelaskan, sebelum cagub-cawagub mendaftarkan diri ke KPUD, dia harus menyampaikan visi-misi ke-Yogyakarta-an di hadapan Sultan dan Pakualam sebagai Hamengkoni Ageng. Penyampaian ini bersifat sosialisasi. Cagub-cawagub juga diharuskan memahami karakter keistimewaan DIY. Setelah itu, cagub-cawagub ditetapkan KPUD sebagai pasangan calon tetap, untuk kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat. “Tata cara persetujuan ini nantinya akan diatur dalam perdais,” jelas Dekan fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Rekrutmen terbuka berdasarkan regulasi juga dipilih Tim JIP-UGM. Pasangan cagub-cawagub diajukan partai dan atau gabungan partai politik. Untuk diketahui, rumusan JIP ini tidak menyinggung soal calon independen. KPUD lantas melakukan pemeriksaan kesehatan dan administrasi. Setelah itu, cagub-cawabub dinilai paradhya, lembaga keistimewaan yang dipimpin Kasultanan dan Pakualaman versi RUUK JIP. “Parardhya memberi penilaian pada perorangan dan bukan pada pasangan,” tandas Cornelis Lay, Ketua Tim Ahli Penyusunan RUUK JIP-UGM Yogyakarta, dalam Diskusi Nasional Kompas, 7 Agusustus 2007, di Hotel Santika.

Bedanya, setelah melewati seleksi kesehatan dan administrasi, cagub-cawagub kemudian dinilai parardhya, sesudah memenuhi syarat kesehatan dan administrasi secara umum dari KPUD. Dalam naskah akademik JIP, parardhya punya kewenangan untuk menerima maupun menolak cagub-cawagub tersebut.

Gubernur dan Wagub DIY adalah Gubernur dan Wagub sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Fungsi, hak dan kewajibannya sama dengan daerah lainnya. Yang membedakan, demikian naskah akademik RUUK JIP, proses untuk menghasilkan calon-calon gubernur dan wagub ditentukan oleh persetujuan atau penolakan parardhya dengan alasan­ alasan atau indikator yang telah dirumuskan secara jelas dan tegas dalam dokumen publik yang sebelumnya telah disosialisasikan.

Kewenangan Lembaga Keistimewaan

Aspek penting yang diatur dalam RUUK baik DPD maupun JIP adalah lembaga keistimewaan berikut kewenangannya. Seperti disebut di atas, dalam RUUK Tim JIP nama lembaga pemangku keistimewaan adalah parardhya keistimewaan. Pembentukan lembaga ini diinspirasi bersatunya kepemimpinan dua pemerintahan di masa lalu, Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam.

Secara garis besar, parardhya keistimewaan bertugas merumuskan arah umum kebijakan mengenai kebudayaan, pertanahan, dan penataan ruang. Institusi ini juga memberi arahan kepada pemerintah daerah pada awal tahun perumusan masa sidang DPRD DIY. “Sultan dan Paku Alam memiliki hak dan kewajiban serta kewenangan,” ujar Cornelis. Ini terutama terkait dengan status institusi ini sebagai institusi publik, simbol kebudayaan, dan simbol pemersatu.

Naskah Akademik Tim JIP menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi pemangku parardhya keistimewaan. Parardhya Keistimewaan adalah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang secara sah bertahta di Kesultanan dan Pakualaman. Tata-cara penetapan Sultan dan Paku Alam sepenuhnya menjadi kewenangan Kesultanan dan Pakualaman sesuai dengan Paugeran. Jika Sultan dan Paku Alam berhalangan sementara, tugasnya sebagai Parardhya bisa digantikan pendamping yang ditunjuk Kesultanan dan Pakualaman. Namun, jika salah satu atau kedua-duanya berhalangan tetap, tugas sebagai Parardhya dilakukan oleh pengganti yang ditetapkan sesuai dengan Paugeran di masing-masing institusi.

Berbagai hak dan kewajiban Parardhya Keistimewaan yang melekat pada posisi dan kedudukan tersebut dirumuskan berdasarkan tatacara di Kesultanan dan Pakualaman yang diselaraskan dengan sistem politik nasional. Sebagaimana dirumuskan JIP, Parardhya memiliki sejumlah kewajiban, antara lain, melakukan kodifikasi tatacara penggantian Sultan dan Paku Alam di lingkungan Kesultanan dan Pakualaman untuk dijadikan dokumen publik, merumuskan arah umum kebijakan menyangkut budaya, tanah dan tata ruang, mengklasifikasi tanah Kesultanan dan Pakualaman untuk didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional,  merumuskan tata-hubungan antara Sultan dan Paku Alam sebagai satu kesatuan kelembagaan serta menetapkan mekanisme pengambilan keputusan oleh Parardhya. Sebagai catatan, Mekanisme dan prosedur pengambilan keputusan ini merupakan dokumen publik.

Sebagai pemimpin Parardhya, Sultan dan Paku Alam dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, terlibat dalam kegiatan bisnis yang terkait dengan fungsi-fungsinya, serta membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok ataupun kroni tertentu. Larangan dimaksudkan untuk menjamin kewibawaan Parardhya Keistimewaan sebagai institusi publik, Sultan serta Paku Alam sebagai pejabat publik dan menjamin tetap terjaganya posisi Sultan dan Paku Alam sebagai pengayom seluruh masyarakat Yogyakarta. Selain itu, larangan ini juga menjamin Sultan dan Paku Alam tetap menjadi milik seluruh warga Yogyakarta.

Adapun Tim DPD, sebagaimana ditulis di draf naskah akademik, lembaga pemangku keistimewaan tersebut disebut Hamengkoni Agung. Lembaga ini dipimpin”Dwi Tunggal” Daerah Istimewa Yogyakarta, Hamengku Buwono dan Paku Alam. Keduanya berfungsi memelihara, melindungi dan mempersatukan keanekaragaman budaya, adat istiadat, dan agama. Menurut Jawahir, Hamengkoni Agung berkedudukan sebagai badan atau subyek hukum yang mengemban hak dan kewajiban, baik urusan internal Kasultanan dan/atau Puro Pakualaman maupun urusan publik terkait keistimewaan.

Hamengkoni Agung mempunyai hak prerogatif untuk memberikan persetujuan cagub-cawagub, melantik gubernur dan wagub atas nama Presiden, persetujuan perdais, pengawasan terhadap pelaksanaan wewenang yang bersifat istimewa, dan kegiatan seremonial resmi kenegaraan. Hestu menambahkan, Hamengkoni Agung juga punya kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap cagub.

Rumusan RUUK versi DPD tidak melarang Sultan maupun Pakualam untuk berpolitik atau berbisnis sepanjang tidak memanfaatkan kedudukannya sebagai Hamengkoni Agung. Jawahir mengatakan, sebuah undang-undang sebaiknya tidak mencantumkan klausul yang membatasi hak asasi politik dan ekonomi seseorang. “Kalau ingin berpolitik, silahkan masuk ke parpol, misalnya. Tapi jangan membawa-bawa keraton. Ini untuk mencegah timbulnya konflik figur,” tegas Jawahir.

Mekanisme Transisi

Jika regulasi keistimewaan sudah disahkan, perubahan sosial di berbagai level menjadi tak terhindarkan, ”karena itu, perlu disiapkan mekanisme transisi,” ujar Cornelis. Baik tim JIP-UGM maupun tim DPD RI memandang perlunya skenario transisi.

Menurut Cornelis, Tim JIP membayangkan bahwa dalam rentang 5 tahun ke depan, ada masa transisi yang dipimpin Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX yang punya tugas dan kewenangan baik sebagai gubernur-wagub maupun sebagai Sultan atau PA untuk menyiapkan berbagai hal.

Dengan kata lain, Tim JIP Fisipol UGM mengusulkan agar selama proses transisi, jabatan gubernur-wagub DIY tetap dijabat HB X dan Paku Alam IX. Untuk itu, Presiden perlu menetapkan kembali Sultan HB X dan PA IX sebagai Gubernur dan Wagub untuk lima tahun ke depan. Sebagai gubernur-wagub dan penguasa Kesultanan-Pakualaman, Sultan dan Paku Alam di samping menjalankan tugas sebagai gubernur-wagub, juga mempersiapkan transisi ke arah Keistimewaan yang baru.

Sebagaimana dirumuskan Tim JIP, pada periode transisi, HB X dan Paku Alam IX sebagai penguasa Kesultanan dan Pakualaman memiliki tugas seperti mempersiapkan tata-cara penggantian Sultan dan Paku Alam di lingkungan Kesultanan dan Pakualaman yang dijadikan rujukan bagi proses pergantian kepemimpinan dalam Kesultanan dan Paku Alam dan menyiapkan tata-cara penyeleksian, penetapan, serta syarat­-syarat yang diperlukan cagub-cawagub sebagai rujukan Parardhya Keistimewaan dalam menerima atau menolak cagub-cawagub.

Sebagai gubernur-wagub masa transisi, HB X dan Paku Alam IX memiliki berbagai tugas seperti mempersiapkan birokrasi, menyiapkan kerangka umum dan arah penataan kelembagaan pemerintahan DIY, regulasi terkait politik pemerintahan, menyiapkan mekanisme konsultasi antara gubernur-wagub dengan parardhya serta antara DPRD dan parardhya.

Sementara dalam rumusan Tim DPD, sebagaimana tertulis dalam draf RUU DIY Adendum/perubahan atas UU 3/1950, mengusulkan agar sebelum gubernur dan wagub dipilih secara langsung dan masa jabatan gubernur dan wagub sudah berakhir, Presiden menetapkan Pejabat gubernur dan wagub atas persetujuan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Langkah berikutnya, selambat-lambatnya satu tahun setelah pejabat gubernur dan wagub ditetapkan, pemilihan gubernur-wagub diselenggarakan. Selain itu, pada saat berlakunya undang-undang KY ini, segala peraturan perundang-undangan yang masih mengatur wewenang yang bersifat istimewa tetap berlaku sepanjang belum diganti berdasarkan ketentuan undang-undang.

Tata Kelembagaan

Soal hubungan kelembagaan, Tim JIP merumuskan, Wakil pemerintah pusat di pemerintah Provinsi DIY adalah Gubernur sebagai Kepala Wilayah Administratif, merujuk pada Integrated Prefectoral System sebagaimana diatur regulasi. Dengan demikian, terdapat hubungan kewenangan yang besifat hirarkis antara presiden dengan gubernur. Presiden berwenang memberikan instruksi kepada gubernur, termasuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap institusi pemerintahan yang ada di daerah serta menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Untuk keperluan ini, gubernur diberi sumberdaya staf dan keuangan oleh pusat. sebagai kepala daerah otonom. Bersama DPRD, gubernur menjalankan urusan daerah otonom dan urusan-urusan yang dinyatakan Undang­-undang sebagai substansi keistimewaan Yogyakarta.

Sementara itu, hubungan parardhya dengan pemerintah nasional bersifat koordinatif. Artinya, parardhya memiliki kewenangan terbatas-strategis pada urusan-urusan yang dinyatakan sebagai substansi keistimewaan Yogyakarta, ”bukan hubungan kewenangan hirarkhis,” tulis Tim JIP.

Selain itu, Tim JIP menambahkan, pada prinsipnya, hubungan Pempov DIY dengan pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebagaimana diatur Undang-­undang tentang pemerintah, kecuali urusan yang dinyatakan sebagai substansi keistimewaan. Dalam hal ini, seluruh kebijakan, yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan Sultanaat Grond (SG) dan Pakualamanaat Grond (PG) di tingkat Kabupaten atau Kota harus mengacu pada arah kebijakan umum yang ditetapkan Parardhya dan Perdais Provinsi DIY.

Semua kebijakan terkait SG dan PG yang akan diambil kabupaten/kota harus dikonsultasikan dengan parardhya. Jika ada kebijakan kabupaten/kota bertentangan dengan kebijakan yang digariskan parardhya serta Perdais Provinsi yang telah disetujui parardhya, maka parardhya memiliki kewenangan membatalkan kebijakan yang ada. Pembatalan ini secara administratif dilakukan pemerintah provinsi.

Hubungan kewenangan antara Gubernur dan DPRD adalah sebagai institusi eksekutif dan legislatif sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemerintah daerah. Menurut Tim JIP, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi DIY, Gubernur melakukan konsultasi secara regular dengan parardhya. Untuk urusan-urusan di luar substansi keistimewaan, konsultasi dilakukan secara suka-rela. Sementara untuk urusan-urusan yang menjadi substansi keistimewaan, konsultasi merupakan kewajiban Gubernur.

Terkait urusan keistimewaan, proses perumusan kebijakan di DPRD DIY mengacu pada kebijakan parardhya yang disampaikan pada pembukaan masa sidang DPRD DIY. Dalam proses kebijakan yang terkait urusan keistimewaan, DPRD DIY wajib melakukan konsultasi dengan parardhya. “Setiap Perdais menyangkut kebudayaan, SG, PG dan penataan ruang belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat kecuali telah mendapat persetujuan parardhya,” tulis Tim JIP.

Terhadap isu hubungan kelembagaan dalam konteks KY, Jawahir Thontowi menjelaskan, pada prinsipnya, instrumen hukum yang hendak diberlakukan adalah tidak mencampurkan wilayah publik yang telah diatur UU 32/2004 termasuk Pilkada, Gubernur dan DPRD. Kenapa? “Karena ini urusan politik keseharian,” terang Jawahir. Jadi, lanjut pakar hukum asal UII Yogyakarta, urusan publik akan diserahkan kepada Gubernur dan DPRD, sebagaimana dalam UU 32/2004.

Dalam waktu tertentu, kata Jawahir, lembaga Hamengkoni Agung yang memiliki status sebagai badan atau subyek hukum, dapat berfungsi melakukan pengawasan terutama menyangkut kebijakan pendidikan, pemanfaatan tanah maupun tata ruang. Agar tidak bertabrakan dengan sistem hukum nasional, misalnya regulasi soal tanah, diperlukan instrumen hukum dalam konteks keistimewaan yang disebut perdais. Intinya, Jawahir menegaskan, “kita tidak hendak menempatkan Sultan sebagai simbol semata, tapi juga memainkan peran menuju social and economic welfare bagi rakyat,” lanjutnya.

Antisipasi ketiadaan Regulasi

Baik versi DPD maupun Tim JIP berupaya memberi kepastian bagi substansi dan pengaturan KY melalui regulasi. Semua pihak berharap, agar RUUK yang kini telah diinisiasi bisa menjadi perhatian pemerintah pusat, baik eksekutif maupun legislatif. Bambang Purwoko, anggota tim JIP-UGM, membayangkan jika sebelum 2008 belum ada regulasi, siklus sidang rakyat lima tahunan akan berulang lagi. Suatu proses popular namun sebenarnya tidak memiliki dasar regulasi yang kuat. ”Dan besok lebih kompleks lagi karena Sri Sultan sudah tidak bersedia dipilih menjadi gubernur,” tandasnya.

Bagaimana jika regulasi tak kunjung ditetapkan? “Kita sudah antisipasi dalam bentuk perpu,” terang Jawahir. Sementara itu, bagi Bambang Purwoko, tanggung jawab JIP hanya sebatas meramu dan menyajikan secara komprehensif naskah akademik dan RUUK Yogyakarta. Wewenang untuk mengadvokasi terutama agar masuk dalam program legislasi naional maupun proses politik di DPR RI sepenuhnya berada di tangan Depdagri. ”Kami masih husnudhon dengan Depdagri dan Presiden terhadap usaha-usahanya bahwa nanti bisa gol. Jadi kami belum berpikir kalau gagal (alternatifnya—red) seperti apa,” kata Bambang sambil menambahkan bahwa pemerintah nasional punya kewajiban untuk menyelesaikan masalah ini. ”Jangan biarkan masalah ini berlarut terus,” ujarnya.

M. Zainal Anwar dan Ashari Cahyo Edi

 

Tabel Isu Strategis

 

Isu Strategis DPD RI JIP-UGM
Calon Gubernur dan wagub Seluruh Masyarakat yang memenuhi syarat regulasi termasuk keluarga keraton dan pakualaman Seluruh Masyarakat yang memenuhi syarat regulasi,

Termasuk keluarga dan kerabat dari lingkungan Kesultanan dan Pakualaman, kecuali dalam jabatannya sebagai Parardhya

Mekanisme pengisian Jabatan Gubernur-Wagub Pemilihan Langsung Pemilihan Langsung
Pola Rekrutmen calon berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dilakukan sesuai regulasi
Pengajuan calon Parpol dan atau gabungan parpol, calon independen, Parpol dan atau gabungan parpol
Nama Lembaga Keistimewaan Hamengkoni Ageng Parardhya Keistimewaan
Hak Politik dan Ekonomi Lembaga Keistimewaan Keluarga Keraton boleh berbisnis dan berpolitik tetapi tidak menggunakan smbol-simbol keraton Pemimpin Parardhya dilarang  berbisnis dan berpolitik

Sumber: Naskah Akademik dan RUU Keistimewaan Yogyakarta JIP-UGM dan DPD RI

[Flamma Edisi 28 index]

Source: Click Here