RESHUFFLE VERSUS KABINET RESOLVABLE

Secara teologis, menteri-menteri yang tidak terpakai lagi mestinya mengucapkan syukur alhamdulillah atas tugas yang telah diembannya Sebaliknya mereka yang terpilih menjadi menteri untuk salah satu departemen selain bersyukur, dalam waktu yang sama pula mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Jabatan merupakan musibah atau ujian bilamana tidak dilaksanakan secara baik, benar dan adil. Bencana sekalipun tidak dapat dicegah jika penempatannya tidak berdasarkan kompetensi, keahlian dan kemahiran.

Karena itu, bagi menteri-menteri yang terpilih, peganglah amanat dan janji sebaik mungkin, agar hasil pergantian jabatan (reshuffle) di tengah jalan dapat memberikan jalan keluar (resolvable) yang memihak kepentingan bangsa. Tidak terkecuali rasa penghormatan kepada Presiden SBY dan wakilnya yang telah berani melakukan tindakan reshuffle meski belum tentu resolvable.

Problematika yang dihadapi pada masa lalu, sejatinya bukan sekedar orang (person) yang menjabat dalam suatu departemen. Tetapi, lebih ditentukan oleh desain besar sistem KIB yang dalam penentuan menteri diintervensi partai politik. Sehingga kemandirian Presiden dalam Sistem Presidensial untuk menempatkan menteri-menteri sebagai pembantunya tidak memenuhi tuntutan profesionalisme. Tarik ulur kepentingan partai politik yang harus diakomodasi oleh Presiden menghasilkan kabinet pelangi yang kontra produktif.

Timbulnya KIB yang berspektrum pelangi menandakan kompromi antara Presiden dengan partai politik begitu kental. Sementara prinsip Zaken Kabinet sebagai konsekuensi dari sistem Presidential tidak dimplementasikan. Maklumlah, Presiden memperoleh legitimasi kuat dari rakyat (67%). Tetapi, tidak didukung partai besar di parlemen atau DPR. Persoalannya adalah apakah tindakan Presiden SBY melakukan reshuffle akan berdampak pada posisi kabinet yang resolvable?

Ujian terberat keberanian Presiden SBY yang dipertaruhkan dalam 2,5 tahun masa kepemimpinannya adalah membangun citra yang baik dalam pergantian posisi tersebut. Dalam konteks penegakan hukum, pergantian posisi kabinet SBY akan dirasa resolvable, atau memecahkan persoalan, jika isu-isu besar hukum, politik dan ekonomi yang terus menjadi sasaran publik dan mendesak dapat terpenuhi.

Pertama, pergantian kabinet yang dimaknai sebagai resolvable yaitu mengganti pejabat-pejabat yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau perbuatan melawan hukum. Beberapa pejabat Negara yang terlibat dalam pencairan uang Tommy yang ada di bank Inggris yang notabene “uang haram”, dicurigai atau patut diduga mengandung unsur kesengajaan membantu dalam melakukan tindak kejahatan. Karena secara hukum, membantu seseorang dalam melakukan tindak kejahatan dianggap sebagai suatu perbuatan pidana. Pemberhentian mereka juga sangat tepat, sebab membiarkan mereka tetap bercokol dalam jajaran KIB akan mencederai citra dan kinerja KIB.

Hasrat kekuasaan KIB untuk membangun pemerintah yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government) akan tercapai jika “lidi sapu kekuasaan” tidak kotor dan juga tidak sombong dengan ke”cerdikan”nya. Mereka diibaratkan penumpang kapal karam yang dengan sengaja membiarkan air masuk dengan derasnya supaya kapal segera tenggelam. Bangsa kita yang sedang terancam bencana kejahatan korupsi yang harus segera diselamatkan, agar tangan-tangan jahil, tidak menenggelamkan negeri ini ditengah derasnya globalisasi.

Tidak kalah pentingnya, pergantian menteri juga ditujukan pada menteri-menteri yang tidak memperlihatkan geliat reformasi. Begitu besar jumlah anggaran kemiskinan periode SBY-JK telah dianggarkan sebesar 320 trilyun, tetapi jumlah kemiskinan masih berkisar 32 juta jiwa (Kedaulatan Rakyat: 6 Mei 2007). Angka tersebut menunjukkan kegagalan KIB menekan angka kemiskinan. Sementara alokasi anggaran untuk kenaikan tunjangan pejabat dan fasilitas lainnya juga tidak dapat dikendalikan.

Kedua, pergantian posisi kabinet akan bermakna resolvable jika beban yang diderita puluhan ribu masyarakat di Porong Sidoarjo Jawa Timur segera terjawab. Setidaknya bagi masyarakat di kelurahan Siring, Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo, dll yang menderita akibat bencana luapan lumpur Lapindo. Memang tidak salah jika PT Lapindo Berantas Inc, selama ini sebagai subjek hukum yang dimintai pertanggung jawaban hukum untuk mengganti kerugian yang diderita masyarakat, baik materiil maupun imateriil. Namun pemerintah SBY-JK, secara moral dan politik, juga dapat dipandang salah manakala reaksi negatif dari korban yang telah melakukan tindakan-tindakan mengganggu ketertiban umum dibiarkan.

Sebagai badan hukum, PT Lapindo secara teknologis melakukan kelalaian dalam pemasangan pipa dan penggalian melebihi batas yang tidak diperkenankan Ini sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Namun, apakah pantas bencana yang tidak dapat diramalkan akibatnya, seluruh kerugian masyarakat dapat dibebankan pada PT Lapindo?

Adanya keterkaitan penyebab antara kelalaian PT Lapindo dengan force mayor atau keadaan memaksa, seperti bencana alam, mestinya secara yuridis dapat menghilangkan tanggung jawab. Perselisihan antar masyarakat korban Lapindo dengan pengusaha di satu pihak, dan tim penanggulangan bencana Lapindo dan pemerintah di pihak lain, akan selalu mengancam kepentingan dan ketertiban umum jika Presiden SBY-JK gagal dalam menjawab persoalan keselamatan dan keamanan masyarakat Porong.

Intervensi Presiden SBY-JK terhadap kasus Porong bukan sekedar mendesak untuk dibuat kebijakan darurat. Tetapi, juga merupakan kewajiban moril (moral obligation) untuk dilakukan. Hanya dengan kemauan  politik yang tinggi (high political will) pemerintah, persoalan korban bencana, evakuasi pemukiman kembali (resettlement), kompensasi akan meredam sengketa untuk sementara, meskipun bencana tersebut akan berlangsung sekitar 36 tahun ke depan. Karena itu, sudah sepantasnya kehadiran UU Penanggulangan Bencana menjadi instrumen yuridis bagi Menteri Sosial untuk menjawab bagian potensial krisis Lapindo tersebut.

Ketiga, pergantian posisi kabinet akan berimbas pada proses pencitraan kembali KIB, sekiranya SBY menempatkan SDM yang berani, bersih dan kompeten dalam penegakan hukum. Secara khusus, aroma tebang pilih atas penegakan hukum kejahatan HAM dan Korupsi  yang diskriminatif masih dirasakan pada 2 tahun lalu.

Misalnya, kejahatan HAM berat terkait dengan kasus trisakti 1998 tidak pernah tersentuh. Bahkan DPR RI dalam keputusannya menyatakan kasus Tri-Sakti bukan termasuk kejahatan HAM. Penghilangan nyawa aktifis HAM, almarhum Munir yang tidak terlepas dengan kasus kejahatan politik, aktor intelektual, the actual culprit sepertinya dapat lari dari tanggung jawab hukum. Upaya untuk menutupi oknum oknum aparat BIN yang terlibat tidak tersentuh hukum (untouchable by law) telah tampak jelas ketika Indra Setiawan dan Nurheini Ainil atau mantan pejabat negara dijadikan tersangka baru.

Tidak kalah pentingnya, keragu-raguan akan realisasi perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dengan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Bali. Upaya-upaya yang kongkrit untuk mengembalikan tersangka atau penjahat ekonomi negara seperti koruptor adalah bagian penting dari tuntutan reformasi.

Itulah sebabnya, selain posisi perjanjian ekstradisi yang penuh kejanggalan, mengingat perlunya ratifikasi oleh kedua negara, bukankah justru setelah ratifikasi dilakukan, objek perjanjian ekstradisi sudah sebagian tidak dapat dipenuhi? Mengingat koruptor-koruptor Indonesia kelas kakap yang berada di Singapura (seperti Bambang Sutrisno, Adrian Kiki Ariawan, Sudjiono Timan dan Samadikun Hartono) telah melarikan diri ke negara-negara lain.

Kelemahan inilah yang mestinya harus segera dilakukan oleh Presiden untuk antisipasi dan segera meninstruksikan agar Jaksa Agung yang baru, Polri, dan juga Meteri Luar Negeri dapat melakukan negosiasi agar tersengka-tersangka koruptor buronan Indonesia dapat dicekal di Singapura. Tentu saja syarat kredibilitas dan daya tawar diplomasi pemerintah Indonesia mutlak di perlukan. Termasuk parlemen kedua negara segera meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut.

Bilamana ketiga tuntutan di atas dapat terpenuhi dalam konteks reshuffle menuju resolvable, maka ucapan yang patut dikemukakan adalah salut dan selamat atas keberanian SBY. Dengan catatan, bahwa SBY dan seluruh jajaran birokrasi pemerintahan dan DPR – DPD RI sejak melakukan reshuffle mampu merespon isu-isu fundamental penegakan hukum yang memihak pada kepentingan umum (public interest), Terutama terhadap isu-isu kasus Lapindo, korupsi, dan pelanggaran HAM sebagai kejahatan luar biasa.

Penulis : Jawahir Thontowi SH., Ph.D

Direktur Center for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

******************